6. Sepulang Bulan Madu

1466 Kata
Jika ada penghargaan dengan nominasi bulan madu terburuk, maka Emma dengan senang hati akan menerimanya. Yah, Emma menghabiskan masa bulan madunya sendirian di vila besar Raven. Bahkan, Raven tak pernah menghubunginya. Erik hanya akan sesekali memberitahunya bahwa Raven belum bisa kembali dan memintanya untuk tetap tinggal. Dan hari ini, genap sudah tiga hari masa bulan madu Emma dan Raven. Emma melewati hari dengan biasa-biasa saja. Ia mendapatkan fasilitas luar biasa di vila tersebut karena semua pelayan sudah menyediakan semua yang ia butuhkan. Apalagi makanan. Entah bagaimana, semua makanan disajikan sesuai dengan seleranya. Padahal Emma sama sekali tidak memesan. Dan sore itu, Emma baru saja mandi. Ia mengikat lingkaran handuknya erat-erat sebelum meninggalkan kamar mandi. Tak ada Raven di kamar, jadi ia bisa bersantai ketika mengganti pakaiannya di kamar. Seharusnya Raven tak ada! Emma membelalak ketika ia masuk ke kamar dan mendapati Raven ada di atas ranjang mereka! Raven tersenyum miring padanya seperti biasa. Dan Raven terlihat begitu tampan. Pria itu menarik lengannya yang semula ia jadikan bantal lantas segera bangun. "Kamu ... kamu udah datang?" Emma gelapagan. Air yang menetes dari ujung rambutnya terasa semakin dingin saja. "Ya, aku kembali, Emma," jawab Raven seraya berdiri. "Kenapa kamu mandi sendiri alih-alih menunggu suami kamu datang?" Raven mendekat dan Emma mencengkeram bagian atas handuknya. Raven memamerkan senyuman menakutkan di hadapan Emma yang mulai gugup. Apalagi tangan Raven dengan cepat menjangkau pinggang Emma yang hanya dibalut selembar handuk putih. "Kamu segar sekali abis mandi," puji Raven. Ia membelai pipi Emma dengan punggung tangannya. Emma memukul d**a Raven kuat-kuat. "Bukannya kamu baru kembali dari pacar kamu? Lepasin!" "Apa kamu cemburu, Emma?" tanya Raven. Pria itu memiringkan kepalanya ketika Emma menarik dirinya ke belakang. Jika ia melepaskan pegangannya, sudah pasti istrinya itu akan menghempas lantai. Entah apa yang membuat Emma begitu takut dengan sentuhannya, tetapi ia begitu suka dengan ekspresi takut Emma. "Nggak usah ngawur. Buat apa aku cemburu?" Emma bicara dengan nada mencela kali ini. "Aku nggak suka sama pernikahan kita! Aku juga nggak suka sama bulan madu kita dan aku juga nggak suka sama kamu. Jadi, nggak usah mikir sembarangan." "Ehm ... begitu?" Raven mendesahkan napas pendek. "Padahal, aku bisa melanjutkan malam kita yang tertunda jika kamu menginginkannya sekarang. Mumpung badan kamu sudah separo terbuka begini. Ayo, Emma, memohon sama aku. Aku bisa puaskan kamu." Emma mendengkus. "Hanya dalam mimpi kamu, Raven. Kamu punya pacar, seharusnya kamu nggak bermain-main seperti ini. Aku juga tahu kamu nggak suka sama aku, kamu hanya ingin balas dendam sama aku. Jadi, hentikan. Kamu mau pernikahan kita hanya dijadikan sebagai pertunjukan di depan umum, bukan? Oke, kita bisa bersandiwara di luar, tapi di kamar kita nggak perlu begini." "Oke, jika itu yang kamu inginkan." Raven tak bicara banyak. Ia melepaskan pinggang Emma begitu saja hingga Emma langsung limbung dan jatuh di atas lantai. Ia tersenyum sinis pada Emma yang meringis kesakitan. "Padahal, kamu bisa jadi istri sungguhan jika kamu bilang sama aku. Tapi kamu ingin kita tetap melakukan pertunjukan saja. Oke, jangan berharap aku bersikap manis karena kamu sudah menolak aku lagi," ujar Raven. Pria itu berdiri menjulang sementara Emma masih terduduk di lantai dengan lengan tertekuk sebagai tumpuan. "Aku benci sama kamu! Aku benci pria yang selingkuh. Kalau mau tidur, sana kamu tidur saja sama Kalisa! Atau siapapun itu. Aku nggak peduli!" teriak Emma. Raven bergeming di tempatnya berdiri. Ia hanya menatap dingin Emma lalu meninggalkan kamar. Emma mendesis seraya mengecek sikunya yang nyeri karena baru saja terbanting ke lantai. Sungguh, ini adalah awal pernikahan yang buruk. *** Malam itu adalah malam pertama bagi Emma dan Raven untuk makan berdua di ruang makan. Berbeda dengan sebelumnya, para pelayan menyajikan banyak makanan di atas meja. Namun, Emma tidak berselera makan kali ini. Apalagi ketika ia melirik Raven, pria itu benar-benar terlihat marah padanya. Kenapa Raven harus marah? Seharusnya ia yang marah pada Raven. Pria itu meninggalkannya demi wanita lain di malam pertama mereka! Dan baru kembali setelah tiga hari. Padahal ini adalah bulan madu mereka! "Kita pulang ke rumah malam ini," tutur Raven di tengah keheningan mereka. "Kenapa harus malam ini? Kenapa tidak besok pagi saja?" tanya Emma. "Kamu nggak perlu tanya. Kamu hanya harus menurut," jawab Raven ketus. Emma mencebik. Yah, hanya itu yang perlu ia lakukan. Seharusnya ia tadi tak perlu bertanya, batinnya. "Besok pagi kita harus mengunjungi orang tua kita. Orang tua aku dekat dari rumah, kita ke sana lebih dulu baru ke rumah orang tua kamu," ujar Raven. Emma mengangguk saja. Ia tak mau berdebat dengan Raven. Bukankah ia hanya harus menurut? Raven mengangkat dagunya karena Emma tidak memberikan respon. Ia meneguk air minumnya lalu melanjutkan. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kalau mereka bertanya?" "Ya, jangan khawatir. Aku hanya perlu bilang kalau kita bersenang-senang selama tiga hari di sini," jawab Emma jengkel. "Bagus. Bukankah itu juga tidak salah? Kamu pasti senang berada di vila ini," ujar Raven. Ia menepuk bahu Emma beberapa kali. "Kamu juga bakalan suka dengan rumah kita." Rumah kita. Emma menelan keras. Yah, ia akan dibawa pulang ke rumah Raven. Ia penasaran seperti apa rumah Raven? Pasti besar dan mewah seperti ini. Itu tidak perlu dipertanyakan. Yang membuat ia penasaran adalah, apakah Raven akan memperlakukan dirinya sebagai seorang istri ataukah Raven akan tetap menemui pacarnya nanti? Menyebalkan! Rasanya, Emma tak butuh banyak jawaban dari Raven. Karena ketika mereka tiba di rumah, Raven hampir tidak mengindahkan keberadaan Emma. Bahkan ketika mereka ada di kamar berdua saja. Raven mungkin sudah sakit hati dengan kejadian sore tadi, pikir Emma. Namun, ia juga tak mau memohon pada Raven agar dipuaskan. Ia tak ingin takluk di bawah kaki Raven. "Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Raven ketika Emma duduk di tepi ranjang. Raven baru saja berganti dengan baju tidur yang sama persis motifnya dengan kepunyaan Emma. "Kamu nggak boleh tidur di ranjang aku." "Apa? Jadi, aku tidur di mana?" tanya Emma kaget. Jika ia diberikan kamar terpisah dengan Raven, ia akan baik-baik saja, pikirnya. Mungkin itu lebih baik. Raven mengambil satu bantal lalu melemparkannya ke sofa panjang yang ada di sisi ruangan. "Kamu tidur di sana. Kamu hanya boleh tidur di ranjang, jika kamu memohon sama aku. Dan kamu tahu apa yang akan terjadi jika kita tidur berdua di sini." "Tapi ... itu sempit, aku nggak bisa tidur di sana," gerutu Emma. "Kalau begitu, kamu harus memohon," kata Raven datar. Emma mengumpat dalam hati. Daripada ia memohon pada Raven, lebih baik ia tidur di sofa itu. Dengan kesal, Emma menarik selimut Raven. "Aku nggak bisa tidur tanpa selimut." Raven menahan senyumnya ketika ia duduk di tepi ranjang sembari menatap Emma yang bersungut-sungut dengan memeluk selimut besar itu. Apalagi, ketika Emma mencoba membaringkan tubuhnya di sofa. Istrinya itu membolak-balik tubuhnya seolah mencari posisi yang nyaman untuknya berbaring. "Aku masih bisa berubah pikiran jika kamu mau memohon padaku, Emma," kata Raven. Emma mengacungkan jari tengahnya pada Raven tanpa menatap pria itu. Ia sudah dongkol setengah mati karena diperlakukan seperti ini. Raven menikahi di saat ia memiliki pacar. Dan kini, ia juga harus tidur di tempat sempit ini. "Dasar keras kepala," gumam Raven. *** Hari demi hari berlalu, Emma sudah kembali bekerja. Begitu juga dengan Raven. Bahkan, Raven tampak sangat sibuk. Emma masih tidur di sofa sempit itu kecuali ketika Raven pergi ke luar negeri atau menginap di luar. Emma mencoba tak peduli, toh, Raven mungkin sedang bersama dengan Kalisa. Dan hari ini, Emma merasa begitu lelah. Ia tidak pernah begini sebelumnya. Ia menarik kardigannya lebih rapat karena tubuhnya terasa dingin. "Emma, kamu sakit?" tanya Ria, teman siarannya. "Kayaknya aku nggak enak badan. Aku capek banget, dari tadi pusing sama mual rasanya," jawab Emma yang dengan malas-malasan berjalan menuju pintu keluar radio. Ria terkikik seraya menarik lengan Emma. "Apa kamu udah hamil?" "Apa?" Emma terkesiap dengan pertanyaan Ria. "Bukannya kamu belum datang bulan? Kamu juga abis nikah. Apa malam-malam kamu dengan Raven begitu panas hingga kamu secepat ini hamil?" goda Ria sembari memeluk lengan Emma. Emma merasa dunianya jungkir balik seketika. Itu benar, ia belum mendapatkan tamu bulanan. Namun, jika benar ia hamil, itu artinya masalah besar akan datang. Ia dan Raven tidak pernah tidur bersama. Tak mungkin ia tiba-tiba hamil. "Emma, kamu kok bengong sih?" tanya Ria. "Nggak, Ri. Aku mau pulang duluan. Aku ... aku cuma kaget," ujar Emma. "Aku maklum. Kamu kan pengantin baru. Nggak papa kalau kamu hamil, yang penting kan kamu udah nikah dan bersuami," ujar Ria. Ria tak mengerti, batin Emma. Jika ia hamil, sudah pasti ia tidak hamil dengan suaminya. Lalu dengan siapa? Emma mulai berpikir keras dan teringat dengan malam anehnya di hotel. Jax. Apakah gara-gara malam itu ia mendadak berbadan dua? "Semoga ini cuma hormon. Gue bisa gila kalau beneran hamil sama cowok lain. Gimana kalau Raven tahu?" Emma tak membuang waktu, ia memutuskan untuk mampir ke sebuah apotek kecil lalu membeli tespek. Ia berharap tak akan melihat dua garis menakutkan nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN