3. Aku & Kamu

1546 Kata
Aku dan kamu ibarat bulan dan bintang yang terpenjara dalam malam. Kita beredar di poros yang sama tapi mustahil untuk bersama. ______________&&&______________ "Kamu jangan mengharapkan apapun dari pernikahan ini!" Tegas Galih seraya mencengkeram kuat lengan Hasna hingga gadis itu mengaduh. Tak peduli ekspresi kesakitan Hasna Galih semakin memberikan tatapan tajamnya. Menghujam tepat ke dalam manik mata gadis itu. "Memang apa yang pantas Nana harapkan dari pria dingin dan kasar seperti Abang?" Hasna membalas tatapan tajam Galih tanpa menghiraukan rasa sakit di lengannya. "Kamu yang memulai semua ini, sejak awal aku sudah memberikan dirimu pilihan. Asal kamu tahu, kamu bukan gadis kriteriaku jadi jangan berharap usahamu untuk menggodaku berhasil. Meskipun kamu telanjang di hadapanku. Tidak akan pernah membuatku sudi menyentuh tubuhmu!" Galih menyunggingkan senyuman sinis lalu menghentakkan lengan Hasna dengan kasar hingga gadis itu jatuh terduduk di tepi ranjang. "Asal Abang tahu. Nana pun menerima pernikahan ini karena terpaksa. Lagian Abang juga bukan pria idaman Nana. Jadi mulai detik ini anggap saja kita tidak ada hubungan apa-apa. Kita sama-sama bebas. So, nggak ada yang perlu kita bahas lagi." Balas Hasna tegas meskipun dalam hati ia merasakan sakit yang teramat dalam kala menyadari tidak ada harapan dalam pernikahan mereka. Harusnya sejak awal Ia sadar jika dirinya dengan sukarela menyerahkan diri dalam lubang buaya. Hasna tak menyangka jika pria yang baru kemarin menyandang status suaminya tersebut adalah pria yang kasar. Galih yang hendak melangkah pergi seketika menoleh. Menatap kembali ke dalam manik hitam milik Hasna yang menyiratkan luka. Galih mendekati Hasna lalu sedikit menunduk. Ia raih dagu Hasna untuk semakin memperdalam tatapan mereka, mengintimidasi gadis itu untuk tunduk pada keinginannya. "Gadis pinter." Ucapnya singkat lalu menarik jemarinya dari dagu Hasna. Menjauh dari tubuh Hasna yang tengah terbakar amarah. Tak acuh, Galih melepaskan kacamata yang bertengger nyaman dari hidung mancungnya. Meletakkan di atas nakas lalu menuju kamar mandi. "Lihat saja Galih. Gue hanya butuh waktu sebentar saja untuk membuat lo bertekuk lutut memohon cinta gue dan diwaktu itu tiba, gue pastikan lo tidak akan pernah menemukan gue bahkan bayangan gue sekalipun." Janji hati Hasna penuh keyakinan sambil menatap punggung Galih yang menghilang dari pandangannya. Dengan berulang kali menyebut istighfar dalam hati Hasna merapikan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam tas ransel miliknya. Hasna benar-benar tidak berniat mempermainkan ikatan suci pernikahan meskipun pernikahan itu tanpa dilandasi rasa cinta. Hasna hanya berharap pernikahannya bisa berjalan normal dan wajar. Ia kira kebersamaan mereka nantinya akan melahirkan rasa saling mencintai tapi kenyataannya ia harus menerima rasa sakit bahkan di hari pertama pernikahan mereka. Pipi Hasna seketika memanas saat menatap lingerie yang semalam ia kenakan. Ide gila yang ia lakoni karena mengikuti saran dari mama mertua dan adik iparnya. Bahkan semalam ia bertingkah laku layaknya wanita jalang hanya demi menarik perhatian pria dingin dan kasar itu. Hasna bisa mentolerir jika Galih bersikap kasar dalam ucapan tapi tidak untuk sikap kasar secara fisik. Perlakuan KDRT dari Galih membayang di benak Hasna. Namun Hasna segera menggelengkan kepala. Mengenyahkan pikiran negatif yang mulai berspekulasi ingin menanamkan rasa kebencian di hatinya. Tidak, Hasna tidak ingin menyimpan rasa benci dan dendam pada siapapun. Bahkan terhadap Rama, mantan kekasih yang meninggalkan dirinya di hari menjelang pernikahan mereka. Sampai detik ini pun Hasna belum mampu melupakan cinta pertamanya itu. Meskipun ia tidak pernah dan tak ingin mengetahui alasan Rama meninggalkan dirinya. Galih mematung di tempat saat melihat Hasna dengan pakaian rapinya. Dengan penampilan sederhana seperti saat pertama kali mereka bertemu, celana jeans panjang berpadu t-shirt yang menampilkan lekukan tubuhnya yang padat. Bagi Galih body Hasna itu terlalu gemuk untuk ukuran wanita idamannya. Lalu pandangannya mengarah pada tas ransel di atas ranjang. Kembali ia menatap lekat Hasna yang tengah duduk di depan meja rias. Tampak dari balik cermin Hasna tengah memoles lipstik berwarna soft pink di bibirnya. Rambut lurus sebahunya ia biarkan tergerai indah. Melihat ekspresi keterkejutan Galih gadis itu melempar senyuman tipis. "Bukankah sebaiknya kita pergi. Lebih cepat lebih baik. Yah.. aku juga muak jika harus bersandiwara terus menerus di hadapan keluarga kita." Ucap Hasna sembari memutar tubuhnya untuk bisa menikmati ekspresi dingin Galih. "Oh ya, kamu tidak perlu repot-repot memberikan nafkah padaku. Meskipun aku tahu gajimu sebagai dokter spesialis jantung tak sedikit. Aku bisa menghidupi diriku sendiri. Dan satu lagi. Aku pastikan usia pernikahan kita tidak akan lama karena aku tidak ingin membuang waktuku hidup bersama pria kasar sepertimu!" Skak Hasna saat melihat Galih hendak membuka bibir untuk berbicara. "Jangan menguji kesabaranku Hasna! Ingat batasanmu!" Pekik Galih lalu berjalan cepat mendekati Hasna hendak meraih lengan Hasna tapi dengan cepat Hasna menghindar. "Apa Abang ingin pertengkaran ini di dengar oleh seluruh keluarga kita?" Sinis Hasna yang seketika berhasil membuat rahang Galih mengeras dengan tatapan nyalang. Tatapan Hasna menurun di kedua tangan Galih yang mengepal kuat. "Nana tidak akan mengambil resiko dengan kesehatan Babe. Bukankah Mama juga memiliki riwayat penyakit hipertensi? Nana rasa kita impas." Sambung Hasna yang seketika membuat mata Galih menggelap. Tangan kanannya terangkat tinggi. Tampak otot-otot kuat itu menonjol dari lengan kekarnya. Tapi hanya seperkian detik tangan itu mengudara karena di detik berikutnya tangan itu kembali meluruh di sisi tubuhnya. "Kamu belum mengenal gue dengan baik Galih. Loe jual gue beli!" Dengung hati Hasna seraya tersenyum sinis. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil membangkitkan emosi Galih. "Nana lapar, Nana tunggu di bawah ya?" Ujar Hasna dengan santai lalu bergegas ke luar dari kamar. Ia tidak ingin perdebatan mereka berujung menjadi pertengkaran besar yang nantinya membuat semua orang terluka. Setelah pintu tertutup rapat Hasna berdiam diri sejenak untuk mengatur napas. Meredam jantungnya yang berdebar hebat. Ia angkat wajahnya menghadap langit-langit rumah untuk menahan genangan air mata yang entah sejak kapan terendap di pelupuk mata. Rasanya sangat sakit saat menyadari akan kegagalan pernikahannya yang telah menanti di depan mata. Rasa sakit yang telah ditorehkan Rama saja belum sembuh sepenuhnya kini ia harus terluka kembali. Luka yang lebih dalam. Hasna tak mengira jika untuk waktu yang tidak ditentukan ia harus bersandiwara lagi. Bertopeng pada tawa dan keceriaan. Sembari melangkahkan kaki ia mengusir rasa ragu yang masih bercokol kuat di hatinya. "Nana loe kuat. Semua ini demi Babe dan Enyak!" Peringat hati Hasna yang seketika berhasil menerbitkan segaris senyuman di bibir pink miliknya. Galih terduduk di tepi ranjang seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Apa yang ia lakukan pada Hasna memang keterlaluan tapi menerima pemberontakan gadis itu membuat egonya terluka. Biar bagaimanapun ia yang seharusnya menjadi remote kontrol permainan yang ia ciptakan sendiri bukan malah gadis itu yang dengan seenaknya mengambil alih. Ia kira mendikte Hasna bukanlah hal yang sulit tapi melihat sikap Hasna pagi ini Galih tersadar. Hasna bukan gadis sembarangan. Tidak seperti para gadis yang pernah dekat dengannya. Terlebih Hannah, gadis sempurna berhati lembut dan tegas yang masih menguasai ruang hatinya. Galih mulai membandingkan antara Hasna dengan Hannah yang jelas-jelas memiliki perbedaan jauh. Baik secara fisik maupun kepribadian Galih tetap mendamba Hannah lah yang menjadi pendamping hidupnya. "Hannah." Gumam Galih yang seketika menghadirkan rasa rindu sekaligus rasa sakit yang menghujam hatinya. Wanita yang tidak akan mungkin bisa ia raih. Andai waktu bisa terulang mungkin Galih akan memperbaiki semuanya. Memenangkan hati Hannah tanpa sedikitpun memberikan celah untuk pria lain mendekati wanita itu. Terutama Nevan, kakak sepupunya. Tok tok tok... Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Galih. Ia segera bangkit lalu menatap dirinya sejenak di depan cermin. Dengan terpaksa Galih menyunggingkan senyuman seraya membuka pintu untuk menyambut siapa gerangan yang tengah mengusik lamunannya. "Papa!" Gumam Galih dengan terkejut. "Papa ingin bicara serius dengan kamu sebentar." Balas Abiyyu lalu tanpa diundang Galih pria paruh baya itu masuk ke dalam kamar. Tampak ekor matanya memindai ke seluruh sudut kamar. Lalu terdengar helaan napas panjang saat Abiyyu duduk di sofa. Kamar pengantin putranya sudah rapi dan bersih tak seperti layaknya pengantin baru pada umumnya. Terlihat kain tipis berwarna putih yang Abiyyu yakini adalah lingerie tampak teronggok di tong sampah. Galih serta merta mengikuti duduk di sisi Abiyyu dengan perasaan tak menentu. "Sebenarnya Papa sedikit keberatan kalian memutuskan tinggal di apartemen. Papa tahu kalian butuh privasi tapi rumah ini cukup luas untuk kita tinggali bersama." Jujur Abiyyu sembari menatap Galih dengan serius. Galih terdiam, sorot keraguan terlihat kental menyelimuti wajah tampannya. "Papa tidak akan memaksa. Semua keputusan ada di tangan kalian. Tapi satu pesan Papa yang harus kamu ingat. Jangan pernah bersikap kasar sedikit pun pada seorang wanita," terang Abiyyu tanpa melepaskan tatapannya pada sang putra yang terlihat gusar. Abiyyu yakin perjalanan pernikahan putranya akan sedikit rumit karena tanpa dilandasi rasa cinta dari keduanya. "Istri adalah tulang rusuk seorang suami, ia akan bersikap lembut dan penurut jika kita juga memperlakukannya demikian. Dan sebaliknya ia akan bengkok dan patah klo kita bersikap kasar. Istri adalah cerminan dari diri seorang suami jadi bersikaplah seperti layaknya suami yang selalu mampu mengayomi dan melindungi." Galih masih membisu. Bibirnya terasa kelu sekadar untuk berucap. Bahkan sejak semalam ia sudah berlaku kasar pada istrinya. "Hasna itu gadis yang baik. Papa dan Mama sudah mengenalnya sejak ia masih kecil. Bahkan Mama kamu sangat menyayanginya seperti putrinya sendiri. Setahu Papa dia memang sedikit di manja oleh kedua Abangnya. Papa berharap kamu selalu mengingat pesan Papa ini!" Abiyyu beranjak dari sofa lalu menepuk bahu Galih. "Ayo kita sarapan dulu. Semuanya sudah menunggu kita di ruang makan!" Galih turut bangkit dari tempat duduknya lalu mengikuti langkah Abiyyu ke luar dari kamar seraya mencerna setiap kata demi kata yang telah papanya sampaikan. __________________&&&_________________ Judul Buku : Night With(out) You Author : Farasha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN