Kita tidak perlu berbicara dengan emosi kita hanya cukup berbicara dari hati ke hati lantas menghadirkan rasa untuk saling memiliki.
________________&&&_________________
Hasna mendapatkan sambutan hangat dari semua dewan guru yang tengah berada dalam ruangan. Tak sedikit ucapan selamat atas pernikahannya ia dapatkan dari rekan sesama guru untuk yang kedua kalinya. Antusiasme mereka menggoda Hasna semakin gencar saat mereka berhasil membuat kedua pipi Hasna bersemu merah karena malu.
Di tempatnya mengajar Hasna dikenal dengan sosok guru yang ramah, baik, dan humoris. Di mana ada Hasna maka di sana akan ada tawa berderai. Tiga hari cuti membuat semua rekannya merindukan akan sosok periang tersebut. Selain itu Hasna adalah satu-satunya guru yang masih menyandang status singel, jadi ketika Hasna mengabarkan jika dirinya akan segera menikah mereka begitu antusias. Apalagi selama setahun mengajar Hasna tidak pernah terlihat memiliki kekasih.
Mengajar adalah cara Hasna mengalihkan kesedihan dan rasa kecewa yang telah ditorehkan oleh Rama, calon suami yang membatalkan pernikahan secara sepihak dua hari sebelum acara pernikahan digelar. Yang semakin membuat Hasna sakit hati adalah ia tidak pernah merasa melakukan kesalahan apapun pada Rama. Laki-laki itu bahkan membatalkan pernikahan mereka hanya dengan diwakilkan oleh kedua orang tuanya dan sejak saat itu pula mereka tidak pernah bertemu kembali. Tanpa kata dan perasaan Rama meninggalkan dirinya begitu saja. Kisah cinta yang telah mereka rajut tanpa cacat sedikit pun selama tiga tahun ternyata tak menjamin jika mereka bisa bersama. Mereka tidak berjodoh. Kalimat singkat yang selalu Hasna gaungkan dalam hati ketika sakitnya rasa patah hati kembali mendera.
"Wah aura pengantin baru memang beda ya?" Goda Bu Fatma kepala sekolah SD Negeri Cempaka Putih setelah melakukan briefing pagi di ruang dewan guru, kegiatan wajib yang biasa dilakukan sebelum semua guru memasuki kelas masing-masing.
"Ya jelas dong Bu, apalagi suami Bu Hasna selain tampan juga terlihat sangat mencintaimu Bu Hasna. So sweet!" Sahut Bu Reni turut menggoda Hasna yang semakin terlihat salah tingkah.
"Cinta? Kagak ibu-ibu pertiwi yang budiman. Suami saya mah macam bunglon. Manis dan lembut pas di depan orang lain. Sama saya mah kagak. Malah kek setan, mana mulutnya judes banget lagi kek emak-emak komplek." Terang Hasna dengan menggebu-gebu. Dan sialnya Hasna hanya mampu mengutarakannya dalam hati. Pada dirinya sendiri.
"Hehehe, bisa aja ibu-ibu ini!" Jawab Hasna seraya mengulas senyuman palsu. Mana mungkin ia mengumbar kondisi rumah tangganya yang ambigu dan abu-abu.
"Kenapa Bu Hasna tidak ambil cuti 10 hari yang diberikan sekolah untuk berbulan madu?" Celetuk guru yang lain yang seketika membuat Hasna meneguk salivanya dengan susah payah. Biasanya dia lah yang paling gencar menggoda jika ada rekan sesama guru menjadi pengantin baru dan sekarang gilirannya yang harus bisa menghadapi godaan mereka semua.
Menyadari menjadi pusat perhatian semua orang di ruangan tersebut Hasna segera mencari jalan ke luar, otaknya bekerja ekstra mencari ide agar bisa terbebas dari pertanyaan-pertanyaan yang memancing emosinya. Tentu saja ia khawatir mulutnya yang biasa ceplas-ceplos alias rem blong itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya.
"Suami saya sedang sibuk jadi kami sepakat menunda dulu acara bulan madu kami. Lagian di apartemen kami hanya berdua saja. Tanpa ada pengganggu tentunya," sahut Hasna dengan santai yang sukses membuat semua orang tersenyum penuh arti.
"Kan gue salah ngomong! Dasar nih mulut rem blong mulu." Dengan senyuman getir Hasna merutuki dirinya dalam hati. Bukannya meloloskan diri ia justru menceburkan diri dalam obrolan tak bertepi tersebut.
"Oya ibu-ibu saya harus masuk kelas. Saya ada ulangan harian dengan anak-anak kelas 4b." Sebelum semakin runyam Hasna segera bangkit dari tempat duduknya lalu meraih jurnal, buku absen, dan lembar soal di atas meja yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari sebelum dirinya cuti empat hari yang lalu.
Hasna segera melangkahkan kaki menuju pintu ke luar, berusaha menulikan telinganya dari godaan yang disertai gelak tawa semua orang.
Di lain tempat, Galih pun mendapatkan sambutan yang sama dari sesama rekan dokter. Berbeda dengan Hasna yang sedikit kerepotan meladeni pertanyaan ibu-ibu. Sebaliknya, Galih bisa dengan santai menanggapi godaan semua rekannya. Setelah 10 menit berbasi-basi Galih segera pamit ke ruangan prakteknya.
"Selamat pagi Dok!" Sambut Dita, asisten Galih yang tengah mengecek jadwal Galih hari ini.
"Pagi juga Mbak Dita, oya apa hari ini saya ada jadwal operasi?" Balas Galih sembari melontarkan pertanyaan tentang jadwalnya. Galih meletakkan jas putih yang dibawanya dari rumah ke punggung kursi sebelum duduk.
"Tidak ada Dok, tapi pasien rawat jalan sudah mengantri panjang untuk diperiksa," jawab Dita dengan ramah. "Masih ada waktu 30 menit jika Dokter Galih menginginkan secangkir kopi?" Tawar Dita seperti yang biasa ia lakukan.
"Tidak terima kasih, saya sudah minum kopi tadi di rumah!" balas Galih seraya meraih buku agenda yang tergeletak di sudut meja, membacanya sekilas. Buku penting berisi semua kegiatannya itu tertinggal selama ia cuti. Lalu Dita melanjutkan pekerjaannya setelah memastikan Galih tidak membutuhkan apa pun.
Dengan serius Dita menyalin satu persatu data para pasien yang sebentar lagi akan mendapatkan penanganan Galih. Samar terdengar Galih menarik napas panjang lalu menghembuskan secara perlahan mencoba fokus pada pekerjaannya. Kehadiran Hasna dalam hidupnya otomatis mempengaruhi pikirannya saat ini. Ada perasaan lega saat Galih bisa kembali duduk di kursi kebesarannya. Yang terpenting lagi ia bisa terpisah dengan Hasna untuk beberapa waktu lamanya. Yah paling tidak ia bisa rileks dan meregangkan saraf-saraf otaknya yang selalu menegang setiap kali bersama Hasna.
Dengan ramah dan sabar Galih menangani pasiennya satu persatu hingga berakhir tepat pada pukul 12 siang. Selagi Dita membereskan peralatan medis dan merapikan ruang praktek Galih membaca kembali hasil pemeriksaan pasien terakhir untuk melakukan tindakan berikutnya. Tak lama suara ketukan pintu menginterupsi kegiatan Dita dan Galih.
"Jika istri saya yang datang suruh saja masuk." Ucap Galih saat melihat Dita hendak berjalan menuju arah pintu.
"Iya Dok." Jawab singkat Dita seraya meraih kenop pintu.
"Dokter Ian, mari silakan masuk!" Sambut Dita sopan seraya mempersilahkan dr. Ian masuk.
Galih dan Ian sudah bersahabat cukup lama. Sejak Galih ditugaskan di rumah sakit Medical Center 2 tahun lalu. Ian adalah dokter saraf yang biasa bertugas bersama Galih ketika menangani operasi sejak. Selain itu mereka juga sudah saling mengenal cukup lama. Dulu saat menempuh pendidikan kedokteran mereka berada dalam fakultas yang sama dan barulah saat melanjutkan pendidikan spesialis mereka berpisah karena Galih harus melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
"Wuih aroma pengantin baru memang beda ya!" Goda dr. Ian setelah duduk di kursi seberang Galih. Hanya meja kerja Galih yang menjadi pemisah di antara dua dokter tersebut.
"Belum puas godain gue?" Ucap Galih sembari menutup buku jurnal miliknya lalu memasukkan ke dalam tas.
"Baru kali ini gue lihat pengantin baru kusut macam loe!" Goda Ian dengan senyuman mengejek.
"Maaf Dok, saya pamit istirahat dulu!" Karena tidak ingin mengganggu dua dokter tersebut Dita memilih pergi ke kantin rumah sakit untuk sekadar mencari minuman.
"Udah deh loe nggak usah ngomong macem-macem di sini!" Kesal Galih setelah memastikan Dita ke luar.
Ian adalah satu-satunya orang yang tahu tentang kondisi hubungan dirinya dan Hasna sebelum menikah. Hanya pada Ian lah Galih meminta pendapat. Bahkan berkat saran Ian pula ia berusaha menerima perjodohan tersebut dengan ikhlas. Tak hanya itu, Ian juga tahu bagaimana patah hatinya Galih karena Hannah, kakak dari pasien tetap Galih yang lebih memilih kakak sepupunya ketimbang dokter jantung tersebut. (Baca NIGHT WITH CEO).
"Gimana malam pengantin loe?" Pertanyaan Ian sukses semakin membuat wajah Galih mengelam. Galih yakin otak m***m dokter saraf tersebut pasti mengira yang tidak-tidak. Galih bukan Ian yang bisa dengan mudah menyentuh gadis yang sedang dekat dengannya. Bahkan hanya berlandaskan rasa tertarik saja Ian akan mengambil kesempatan untuk meniduri gadis tersebut.
"Gue bukan loe Ian!" Tatapan tajam Galih menghunus mata Ian yang justru membuat Ian tersenyum geli dengan sindiran Galih.
"Payah loe! Seharusnya loe nikmati aja. Menurut gue Hasna itu gadis sempurna, perpaduan cantik dan manis ada pada dirinya," puji Ian dengan seringai yang Galih hapal. Licik dan menggoda.
"Loe jangan macem-macem Ian. Jangan ganggu istri gue," ancam Galih dengan serius.
"Hahahaha, gila loe! Sebrengsek-brengseknya gue nggak bakal ngeganggu hubungan orang lain. Kecuali loe sendiri yang menghibahkan Hasna untuk gue!" Ucapan Ian berhasil membuat Galih bangkit dari tempat duduknya.
"Dia bukan barang yang bisa dihibahkan dengan seenak gue," geram Galih tapi sedetik berikutnya suara desah pasrah lolos dari bibirnya sembari mengambil posisi dengan bersandar pada meja di depan Ian. Galih mengenal Ian dengan cukup baik. Apa yang dikatakan pria itu benar. Selama ini Ian memang suka bergonta-ganti pacar tetapi pria itu juga selalu memastikan terlebih dahulu jika wanita yang akan dipacarinya dalam status singel. Bukan kekasih atau istri orang.
"Nah loe tahu. Coba deh buka hati loe untuk Hasna. Loe beruntung mendapatkan gadis sebaik dia." Jawab Ian sembari beranjak dari kursi, ia geser sedikit untuk memberinya jalan, lalu menepuk bahu Galih.
"Gue nggak mau loe menyesal nantinya. Tanya pada hati loe." Ujar Ian mencoba menyakinkan sahabatnya. Karakter Galih yang kurang tegas dalam menyikapi setiap masalah sering membuat Ian kesal.
Galih yang Ian kenal selalu mementingkan perasaan orang lain daripada perasaan dirinya sendiri tetapi pada akhirnya ia sendiri yang akan menyesal. Seperti saat ia harus berpisah dengan Chelsea karena Galih tak juga memberikan kepastian akan hubungan mereka saat pria itu harus melanjutkan pendidikan spesialis bedah jantung ke Singapura. Lalu ditambah Hannah yang dengan sukarela ia lepaskan hanya karena kakak sepupunya.
Tok tok... Suara ketukan pintu seketika mengharuskan Ian untuk menutup bibirnya serapat mungkin. Sebelum menuju pintu Galih menatap Ian sejenak. Menimbang semua perkataan sahabatnya tersebut.
"Hai Sayang!" Sambut Galih seraya merentangkan kedua tangan menyambut kedatangan Hasna.
"Apaan sih Bang!" Hasna bergidik ngeri karena sikap aneh Galih padahal di sana hanya ada mereka berdua. Galih tak acuh dengan protes Hasna, tangannya justru merangkul bahu Hasna, menuntunnya untuk masuk ke dalam ruangan praktek Galih. Namun netra Hasna seketika terbuka lebar saat melihat ada orang lain di sana. Pria itu tersenyum ramah pada Hasna seraya memperkenalkan diri. "Perkenalkan saya Ian, mungkin kamu lupa jika kita pernah bertemu beberapa kali di suatu tempat."
Sembari menyambut uluran tangan Ian Hasna mencoba mengumpulkan ingatannya pada wajah familiar di hadapannya. Seperti saat kedatangan pria tampan itu ke pesta pernikahan mereka. "Eh enak aja. G usah!" Galih seketika menarik tangan Hasna kembali sedangkan Ian malah tergelak melihat sikap kekanakan sahabatnya yang katanya tidak tertarik sama sekali pada istrinya tetapi kenyataannya Galih malah bersikap posesif seperti anak kecil yang tak rela bila mainan barunya dilirik orang lain.
"Baiklah, gue pergi dulu. Gue nggak akan menggangu pengantin baru." Pamit Ian dengan senyuman penuh arti mengarah pada Galih.
"Sekadar mengingatkan, saya Om_nya Rafael." Sambung Ian sembari mengedipkan sebelah mata pada Hasna dengan sengaja melirihkan suaranya.
"Pergi loe sana!" Galih mendorong tubuh Ian untuk segera ke luar dari ruangannya. Biar bagaimana pun ia tidak rela jika Hasna diganggu pria lain terutama playboy seperti Ian. Galih segera menutup pintu rapat dan menguncinya dari dalam.
"Kenapa dikunci Bang?" Ujar Hasna keheranan.
"Biar nggak ada yang gangguin kita!" Celetuk Galih yang seketika sukses menerbitkan senyuman penuh arti di sudut bibir Hasna.
"Klo nggak mau ada yang gangguin, kita balik aja ke apartemen Bang." Seperti biasa Galih tak acuh dengan godaan Hasna, pria itu justru memasukkan jas putih miliknya ke dalam tas dengan ekspresi datar tanpa sedikit pun ingin membuka kata.