Keadaan di ruangan kedap suara yang luasnya bisa dijadikan tempat sebagai ruang keluarga itu, benar-benar hening. Tak ada yang berani bersuara sebelum diperintah. Bahkan untuk menderu nafas pun harus penuh kehati-hatian agar tak menimbulkan suara yang nantinya akan membuat tatapan elang dari seseorang yang duduk di kursi paling depan, menatap mereka.
Sungguh, alasan mereka bekerja di sini hanya karena gaji yang ditawarkan membuat rekening seketika berubah menjadi rentenir yang meminta mereka terus memasukkan pundi-pundi rupiah ke dalamnya.
Jangankan bersibobrok dengan mata si bos, mereka bahkan tak berani menegakkan kepala untuk sekedar melihat simpul dasi dari pria berwatak keras itu.
Se-kejam itu? Iya, bos mereka ini memang definisi sempurna dari kata kejam dan tak berperasaan. Sifat angkuh memang tertanam dalam dirinya. Jangan ditanya tingkat arogannya sudah sampai mana, apalagi si bos itu pemaksa dan tak terbantah. Semua yang dia ucapkan itu adalah perintah mutlak, berani membantah maka persiapkan diri untuk luntang lantung di jalan mencari pekerjaan baru. Dan semakin lengkap dengan tempramennya yang buruk, juga sifat keras kepala yang melekat dalam dirinya.
Lalu kenapa banyak lulusan cumlaude di luar sana yang rela mengantre dan mati-matian bersaing ketat supaya bisa masuk perusahaan raksasa itu?
Tentu, urusan uang adalah nomor satu. Sudah dibilang, gaji di sana bukan main besarnya. Point penunjang adalah fasilitas yang di berikan perusahaan pada para pegawainya, mau tau? Silahkan mendaftarkan diri terlebih dahulu.
Dan yang menjadi bonus adalah__khususnya untuk wanita__dapat menikmati wajah super tampan nan rupawan milik sang CEO. Meski dalam jarak tak kurang dari dua meter.
"Meeting saya cukupkan sampai di sini." Suara bariton yang khas milik si bos menyapa indera pendengaran.
Dan si pemimpin rapat semakin menampakkan kharismanya kala berdiri dan menelisik satu persatu karyawannya.
Lihat bagian luarnya, tubuh tegap dengan postur dan tinggi yang masuk dalam kategori sempurna. Bibir tipis yang tajam dan pedas ketika memaki, mata bulat dengan manik hitam legam yang menusuk penuh racun pemikat, alis mata tebal, hidung yang sudah pasti mancung, dan warna kulit tan yang menjadi daya tarik tersendiri baginya.
Bagian dalam? Perutnya yang kota--- ah tidak. Tidak baik dideskripsikan, lebih baik bayangkan saja sendiri, bagaimana postur sempurna pemuda tampan yang rutin menjaga tubuhnya dengan bermacam alat olahraga di ruangan khusus di rumahnya.
"Sekuat itu kata cinta? Iya, sampai bisa membuatmu hancur." —Arza Monelio Darata.
°
°
Bunyi khas dari suara alat musik tradisional yang di tabuh, mengalun indah di pendengaran. Sebuah sanggar khusus untuk para pencinta seni, di fasilitasi sebuah gedung besar yang cukup menampung berbagai macam club seni di sana, juga berbagai alat seni lainnya yang menunjang proses latihan agar penampilan di setiap lomba atau acara dapat maksimal.
"Stop, stop, stop."
Intruksi dengan satu tangan terangkat ke atas, dan satunya lagi tampak menulis sesuatu di kertas yang dia sediakan.
Gerak tari dari para penari terhenti, berikut dengan instrumen musik yang dimainkan.
Seni memang menyenangkan, tapi juga menguras tenaga yang membuat mereka lelah. Ingin mengeluh tapi tidak bisa, jiwa seni yang pantang akan menyerah sudah terlalu melekat dalam diri, didukung oleh rasa segan pada sang pelatih sekaligus dosen tercantik yang duduk bersila di lantai, di depan mereka semua.
Areta Zians Praja, dosen cantik yang juga masih muda itu menjadi incaran banyak murid laki-lakinya. Wajahnya yang terlihat lebih muda dari mereka, juga postur tubuh yang tidak terlalu tinggi membuat mereka kadang lupa akan umur, berpikir bahwa wanita cantik itu masih remaja labil tingkat akhir SMA.
Sifatnya yang ramah, senyum manis yang menjadi semangat tersendiri bagi mereka, sikap lembut dan tegas secara bersamaan, membuat banyak murid laki-lakinya tak segan untuk sekedar melempar rayuan. Meski begitu, rasa segan, respect dan rasa hormat mereka tak berkurang pada si dosen.
Mengangkat kepala, dapat terlihat gurat lelah di wajah muridnya. Maka tak perlu pikir panjang baginya untuk mengeluarkan senyum hangat yang dia punya untuk mereka.
Yang kata muridnya, "Senyum, Miss, itu kayak gunung rupiah merah, bikin semangat ngeliatnya."
Dan si dosen bisa apa selain mengiyakan?
"Istirahat dulu. 45 menit, cukup?" tanyanya setelah mengangkat pergelangan tangannya ke depan wajah untuk melihat angka jam di sana.
Serentak, helaan nafas lelah itu keluar dari mereka semua. Yang berdiri langsung mendudukkan diri, yang duduk malah langsung berbaring telentang tak tau arah. Yang penting melepas penat.
"Cukup, Miss," jawab mereka setelahnya.
Ah, panggilan itu, Areta sebenarnya tak menginginkan panggilan itu, tapi mereka memaksa, beralasan kalau panggilan 'Buk' terlalu tua untuk Areta. Ya sudah, Areta hanya menerima apa yang membuat muridnya nyaman.
Berdiri dari duduknya, Areta menepuk beberapa kali celananya dan merapikan sedikit bajunya, lalu pergi berjalan ke arah pintu ke luar dengan buku catatan dan sebuah pulpen di tangan.
Di langkah ke tiga, Areta berhenti dan berbalik. Matanya menelisik satu persatu muridnya, mencari seseorang.
"Hafzah, mana?" tanyanya saat tak juga menemukan laki-laki bernama Hafzah yang dia cari.
"Miss!"
Areta dapat melihat sebuah tangan yang terangkat ke atas namun tidak dengan menampakkan dirinya.
"Hafzah?"
Akhirnya tubuh si pemilik nama ditegakkan dengan sedikit ogah-ogahan, namun masih sempat memberi senyum pepsoden pada si dosen cantik yang juga melempar senyum padanya.
"Kamu sama ketua cabang yang lain, nanti pulang, ke ruangan saya sebentar ya? Ada yang mau saya bicarain," ucapnya disambut tatapan berbinar dari para ketua yang di sebut.
"Mau bahas apa, Miss?" tanya salah satu ketua seni teater, Faiz namanya.
"Nanti di ruangan saya, Faiz," ulangnya tegas.
"Tapi jangan sampai keceplosan soal lamaran kita ya, Miss."
Ucapan itu di sambut sorakan nista dari teman-temannya, serta gelengan maklum dari Areta. Itu sudah biasa. Ah, tidak, selama dia mengajar di sini, itu tingkat rayuan yang terlalu biasa.
"Nanti saya ke sini lagi setelah jam makan siang. Semuanya udah harus kumpul ya sebelum saya datang," ucap Areta lagi memberi peringatan.
"Siap, Miss ~ ~"
Seruan itu bernada oleh para vokalis paduan suara, di ikuti instrumen musik serta gerakan tari sederhana dari mereka.
Areta masih saja tertawa kecil melihat itu. Terhitung dua tahun dirinya mengajar di sana, dan mereka selalu mengawali dan mengakhiri pertemuan mereka dengan hal unik itu, membuat dirinya merasa sangat di hargai.
"Kalian ini benar-benar," gumam Areta lalu kembali melangkah pergi dari sana.
"Oh god ... Miss Reta, kenapa kita harus se-amin tapi tidak se-iman?" ucap salah satu dari mereka dengan nada dan gestur yang sangat puitis, mendapat timpukan di tubuhnya dari yang lain.
"Katanya cinta itu bisa membuat kita hancur? Iya. Tapi obatnya untuk kembali utuh ya hanya cinta." — Areta Zians Praja
°
°
"Suster, nanti cek pasien di kamar Aurora nomor 17 ya. Kalau udah, taruh datanya di atas meja saya. Saya ada urusan sebentar," ucap wanita yang baru saja melepas jas khas dokter dari tubuhnya.
"Baik, Dok," jawab sang suster mengangguk sekali.
Si dokter ikut mengangguk lalu mengambil tas, juga sedikit memperbaiki tatanan riasnya.
"Oiya, Sus. Nanti kalau ada yang nyariin saya, suruh tunggu ya," ucapnya lagi memberi pesan, sembari melihat jam di pergelangan tangannya, "Saya nggak akan lama kayaknya," lanjutnya terdengar agak ragu.
Lagi, si suster hanya mengangguk, dan mengatakan akan menyampaikan pesan dari sang atasan.
"Ya udah, saya pergi ya. Terimakasih, Sus," ucapnya mengulas senyum manis sebelum benar-benar pergi.
"Hati-hati, Dok," jawab si suster disambut anggukan kepala oleh dokter itu.
Mengambil papan yang di sana terdapat kertas berisi data yang harus diisi saat nanti dirinya memeriksa kondisi pasien, lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal.
"Eh ..."
Seruan itu membuat si suster menoleh, tepat setelah pintu tertutup rapat.
"Dokter Nia, ada di dalam?" tanya perawat lainnya padanya.
Niana Tiandra, seorang dokter kandungan yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta Selatan. Banyak yang menggosip tentang dirinya yang mempunyai hubungan dengan salah satu dokter bedah di rumah sakit ini. Namun Nia hanya menepis dengan ucapan, 'saya masih fokus pada pasien'. Tak ayal, pernyataan itu membuat setidaknya banyak laki-laki yang juga bekerja di sana kembali mendapat semangat bekerja, yang semula hilang akibat kabar hubungan si dokter cantik.
"Baru aja pergi. Ada urusan katanya. Kenapa?"
Si penanya mengangguk paham, lalu kemudian menggeleng, "Nggak sih, ada yang mau dibahas soalnya. Ya udah, gue ke sana dulu. Ntar kalau Dokter Nia udah balik, kabarin ya," ucap gadis itu lagi menepuk pelan bahu suster bernametag Ivi itu.
Suster Ivi hanya memberi anggukan, sebelum pergi untuk memeriksa pasien.
"Cinta itu menipu? Iya, buktinya banyak yang terjerat pada rasa palsu seseorang." — Niana Tiandra
°
°
Aaaa ~
Anzeee ~~
Astaga astaga Anze ganteng banget!
Nikmat mana lagi ya Tuhan ..!
Dan teriakan teriakan memekakkan lainnya yang tampaknya tak membuat suara mereka serak.
Tapi tak juga membuat telinga sang pemilik nama menjadi pengang. Dirinya malah dengan bangga menebar pesona. Memberi fly kiss, lengkap dengan tambahan kedip nakal di sebelah matanya. Dan itu sudah membuat para gadis di sana tepar bak ikan yang tidak mendapat air. Apalagi jika si playboy kelas nauzubillah ini sudah menyisir rambutnya ke atas menggunakan jari, memperlihatkan jidat paripurnanya yang mengkilat.
"Hai ...."
Si gadis yang wajahnya sudah merah padam karena menahan nafas, kini balas melambai dengan tangan bergetar saking gugupnya berada dekat dengan si casanova kampus.
"H-h-ha-i ...." Hanya satu kata, tapi susah sekali mengucapkannya.
Anze dengan santai mengulurkan tangan tepat di depan gadis cantik berwajah baby face itu.
"Kenalin. Anzelian Praja," ucapnya sembari tersenyum tampan yang mematikan.
"Siapa namamu, Manis?" Kedip sekali dia berikan sebagai akhir kalimatnya.
Namun itu di luar ekspektasi, bukannya membalas uluran dan menjawab pertanyaan Anze, gadis itu malah hilang kesadaran.
Suasana kantin yang tadinya hening, tiba-tiba ramai melihat gadis itu pingsan. Terlebih Anze yang melongo melihatnya.
Berbeda dengan dua orang sahabatnya yang malah mentertawakan dirinya.
"Sip, lo kalah. Sepuluh cewek dan berakhir ke sepuluhnya pingsan," ejek yang satunya.
"Lo ...." Telunjuk itu mengarah lurus pada wajah Anze, "Harus traktir kita sepuasnya!" seru keduanya serentak.
"Bangs*at!" umpatnya kesal lalu beralih pada gadis yang tergeletak di bawah sana.
Julukan playboy memang melekat padanya, tapi sifat gentlenya masih ada.
Biarkan saja mereka yang memekik nyaring karena melihat dirinya yang menggendong seorang gadis.
"Pengaruh cinta itu sangat hebat? Iya, cinta bisa membuat hati yang tak tetap menjadi menetap." — Anzelian Praja
°
°
Sekali lagi, telunjuknya mendorong sedikit ke atas, saat kacamata yang sudah hampir empat jam dia pakai, sedikit melorot.
Sangat tegas pergerakannya itu. Apalagi kala punggung tangan berurat itu tampak begitu sempurna dengan jari panjang nan ramping miliknya.
Dahinya akan mengernyit kala menemukan ada data yang tidak sesuai dengan laporan yang dia terima. Yang nantinya akan berakhir pada dirinya yang memarahi pegawai, serta melewatkan malam panjang yang nyaman di ranjang empuknya.
Diletaknya dokumen yang tadi dia pegang, di samping papan nama miliknya yang berbahan akrilik yang di tulis dengan tinta berwarna emas, berikut perpaduan warna hitam dan sedikit ukiran menambah kesan indah dan elegant.
Daren Zavaras, itu yang tertulis di sana, sudah bertahun-tahun menjabat sebagai direktur utama perusahaan itu.
Tangannya meraih gagang telepon, lalu memencet satu tombol di sana yang langsung terhubung dengan si sekretaris.
"Ke ruangan saya sekarang!" Itu perintah. Tanpa nada dan terlampau dingin. Bahkan belum sempat menjawab, Daren sudah lebih dulu mematikan sambungan.
Sifatnya memang seperti itu jika sedang berada dalam mode serius bekerja. Sebelas duabelas dengan sang CEO, meski CEO masih berada di tingkat atas dalam soal kekejaman.
Pintu ruangan diketuk beberapa kali. Tanpa mengalihkan tatapan, Daren menjawab, membuat wanita cantik yang menjabat sebagai sekretaris itu melangkah masuk dengan gaya elegant.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya sopan di sertai senyum ramah agar tak di nilai buruk oleh sang atasan.
"Kamu periksa dokumen-dokumen ini. Saya lihat banyak kesalahan di sana," ucapnya menunjuk tumpukan berkas di atas mejanya dengan dagu.
Mengikuti arah tunjuk si bos, gadis cantik dengan tanda pengenal yang tertulis Stephanie Tiara pada namanya, merutuk kesal dalam hati. Berkas menumpuk milik si bos dua jam yang lalu saja belum selesai dia kerjakan, dan sekarang berkas-berkas itu akan menambah kapasitas kosong di lantai ruangannya.
"Setelah itu, bawa yang bersangkutan yang membuat laporan ini, menghadap saya," ucapnya mengeluarkan perintah baru.
Kepalanya yang tadi menunduk membaca satu dokumen di tangannya, dibawa tegak untuk menatap sang sekretaris.
"Saya sedang baik hati hari ini untuk tidak langsung menyuruh mereka menghadap, Bos."
Tegukan ludah terasa susah Tiara lakukan. Mendengar kata bos yang terucap dari bibir tebal sang direktur tampan, membuatnya ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu. Dirinya merinding mendengar satu kata itu.
"Baik, Pak. Akan saya lakukan secepatnya," ucapnya mengambil tumpukan berkas itu.
"Saya permisi, Pak." Tiara membungkuk pelan di balas dehaman dan anggukan kecil dari Daren, lalu keluar dari sana.
"Orang bilang, cinta itu abadi? Iya, ingin menyangkal seperti apapun, tetap saja cinta itu ada." — Daren Zavaras
°
°