[Dek, maafin Mas … lebaran kali ini sepertinya gak pulang lagi.] Sebuah pesan masuk dari nomor Mas Baska membuat Cahaya hanya mampu menghela napas panjang. Genap empat tahun sudah, Mas Baska tak pulang saat lebaran.
Cahaya kembali melanjutkan melipat pakaian. Pandangannya beralih dari jendela yang tampak berkabut karena hujan tak kunjung henti pada tumpukkan pakaian yang ada di depannya. Tangannya bergerak pelan seiring dengan pikirannya yang berlarian. Semuanya saling bertali ke sana ke mari. Masih teringat jelas dua hari lalu wajah Kirana---sang putri saat memilah-milah gamis dalam lemari plastik miliknya.
“Bu, puasa Kiran ‘kan udah mau tamat … katanya nanti Ibu mau belikan baju baru buat lebaran kan, ya?” Pertanyaannya gadis kecilnya membuat Cahaya bergeming, tetapi dia berusaha tersenyum demi menutupi kegundahan hatinya. Sepasang bola beningnya terasa berkabut ketika melihat jemari mungil itu lincah memilah pakaian-pakaian yang sebetulnya semuanya sama, lusuh dan kusam.
“Hmmm … tapi kalau Ibu belum punya uang, Kiran bisa, kok, pakai baju lama saja gak apa-apa. Tuh yang ini saja masih bagus. Hmmm … cantik mana, Bu? Yang ini atau yang ini?” Kiran menunjukkan dua gamis lusuh itu padanya. Senyumnya tetap riang, wajahnya tampak tanpa beban. Rasa bersalah semakin menguar. Cahaya bahkan lupa kapan terakhir membelikan baju baru untuk Kirana, sudah lama sekali rasanya, bahkan baju-baju gamis yang dipakai putrinya sudah terlihat menggantung di atas mata kaki semua.
Tak terasa air mata Cahaya menetes. Namun lekas dia menengadah ke atas mengalihkan pandang pada cicak yang kebetulan sedang berlari mengejar nyamuk di plafon sana.
“Semoga Ibu ada rejeki ya, Kiran ... Nanti Ibu belikan baju yang baru! Semua itu sudah kecil-kecil. Maafin Ibu, ya.” tukasnya setelah suasana hatinya sedikit stabil. Cahaya memaksa bibirnya untuk tersenyum.
Cahaya tak mau Kirana sedih ketika melihatnya malah menangis meski sebetulnya hatinya pun teriris. Bukan tak ingin membelikan Kirana baju baru, tapi keuangannya yang memang tak memungkinkannya. Semenjak usaha Mas Baska collaps, semua menunjukkan wajah aslinya. Jika dulu ketika dia berjaya, tetangga saja mengaku saudara, tetapi ketika dia jatuh miskin, suadara saja tak ada yang mau mengakuinya. Benar jika harta itu titipan, ketika yang punya mengambil-Nya, maka dari puncak keberjayaan bisa jadi langsung terjun pada jurang kemiskinan terdalam. Benar jika harta itu ujian, Cahaya dan Baskara dulu telah gagal melewati ujian kaya, kini diuji dengan serba kekurangan.
“Wahhh … Bener, Bu? Horeee … asiiikkk ….” Kirana melompat-lompat riang sambil tersenyum. Lesung pipinya tampak membuat dekikan manis pada kedua pipinya.
“Iya … semangat pokoknya tamatkan puasanya, ya, Kiran.” Cahaya mengulas senyum lalu mengusap rambut ikal Kirana yang mengembang.
Lebaran tinggal tiga hari lagi. Uang THR dari majikan cuci setrikanya tidak seberapa, itu pun sudah dibelikannya beras dan lauk pauk untuk shahur dan berbuka. Mas Baska---suaminya yang kerja di rantau ternyata tak bisa pulang.
Keesokan harinya, mau tak mau akhirnya Cahaya pun menebalkan muka berkunjung ke rumah kakak dari suaminya yang memang ekonominya berkecukupan.
“Mbak, aku mau pinjam uang dulu, aku sudah janji mau beliin baju lebaran buat Kiran tapi ternyata Mas Baska sepertinya gak pulang lagi.” ujar Cahaya seraya terpaksa menebalkan muka.
“Pinjam, pinjam mulu … yang minggu lalu kapan mau dibayar?” ucap Fatma dengan sinis.
Cahaya menelan saliva. Dia berusaha tersenyum meski rasanya sudah seperti tak punya harga diri saja.
“Setelah lebaran nanti aku janji, Insya Allah bakal ganti uangnya, Mbak! Aku akan coba jualan juga, Mbak. Lima puluh ribu memang gak besar, Mbak … tapi sekarang aku beneran lagi gak ada!” Cahaya berusaha menguatkan diri untuk tak menangis.
“Ya udah, nih Mbak pinjemin buat beli baju Kiran … tapi tolong itu cuciin pakaian Mbak sudah seminggu gak sempet nyuci! Terus masak dulu juga, abis itu sekalian bantu beresin rumah sama mandiin Siska … lagi lemes banget hari ini badan Mbak! ” ujar Fatma seraya bersandar pada sofa empuknya. Diam-diam, satu sudut bibirnya tersenyum miring. Ada raut bahagia tersirat dari gurat wajahnya melihat adik iparnya tampak begitu kesusahan.
“Alhamdulilah … makasih, Mbak.” Sepasang netra bening Cahaya mengembun. Dia bergegas menuju dapur luas milik Fatma dan mengerjakan yang disuruh oleh kakak iparnya.
Satu bak penuh cucian dikerjakannya dengan semangat. Setelah itu Aya dengan cekatan membersihkan rumah dua lantai itu dengan telaten, sesekali senyum pada bibirnya mengembang mengingat sebentar lagi akan dapat uang untuk membelikan Kiran baju lebaran. Tidak lupa dia memasak untuk mereka sebelum pulang dan memandikan Siska juga.
“Nih, uangnya! Habis lebaran ganti sekalian sama yang lima puluh ribu, ya!” ujarnya sambil menyerahkan uang dua lembar seratus ribuan pada Cahaya.
“Alhamdulilah … makasih banyak, Mbak.” Lagi-lagi sepasang netra Cahaya mengembun. Ada titik bahagia yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Wajah cahaya berbinar. Lelah dan capek yang dia rasakan perlahan memudar. Cahaya bergegas pulang, menyusuri jalananan yang berjarak hampir satu kilometer itu lalu dia pun mampir di toko pakaian.
Sudah lama sekali dia tak mampir ke toko pakaian seperti ini. Mungkin satu tahun lalu dia pernah ke sini, sebelum lebaran juga. Perlahan dilihat-lihatnya baju-baju gamis anak yang berderet di sana. Uang dua ratus ribu sudah aman di sakunya. Cahaya berjalan kikuk, beberapa orang tampak begitu sibuk memilih-milih dan mengambil beberapa set untuk. Namun tidak dengan Cahaya, dia hanya berani memegang satu atau dua baju yang menarik perhatiannya, tetapi yang pertama dilakukan adalah mengecheck bandrol harga yang tertempel di sana.
“Duh, kok mahal-mahal, ya?”
“Hmmm … yang ini, uangku gak cukup. Yang ini murah, sih, tapi bahannya panas.”
“Siang, Bunda! Lagi cari baju anak, ya? Silakan dipilih, Bunda. Ini yang model gini yang lagi musim, bahannya adem Bunda, gamis import. Laris banget ini, Bunda. Tuh yang lain pada ngambil banyak, Bunda.” Seorang penjaga toko mengambilkuan dua set gamis. Warnanya merah hati, motif bunga dengan rempel miring dan renda bawah. Cantik sekali dan memang benar bahannya tampak jatuh dan terlihat adem.
Cahaya memandang baju itu. Cantik, itu yang terlintas dalam benaknya. Sepertinya memang sangat cocok dengan Kirana yang usianya baru hendak menginjak enam tahun saat ini.
“Itu mahal gak, ya?” batin Cahaya. Bahkan bibirnya kelu untuk sekadar bertanya. Secara uang dua ratus ribu rupiah itu mau dia alokasikan untuk membeli beras dan lauk buat lebaran juga.
“Ini dijual murah, Bunda … hanya dua ratus lima puluh ribu saja, boleh kurang.” Senyum penjaga toko itu tak serta merta membuat dunia jadi indah. Cahaya menggeleng dan mengulangkan tangan.
“Wah, enggak deh, Mbak. Rupanya bagus juga ya harganya. Sayang uangnya enggak cukup. Saya cari yang seratus ribuan saja, Mbak.” Meski malu, Cahaya akhirnya berkata jujur.
“Oh gitu ya, Bunda. Oke gak apa-apa. Yang seratus ribuan ada juga kok, Bunda. Tuh yang di sebelah sana!”Gadis penjaga toko itu menunjukkan tumpukkan gamis yang tampak diobral di sebelah luar. Cahaya mengikuti arah telunjuk penjaga toko itu dan mengangguk mengucapkan terima kasih. Dia baru hendak bergerak ke sana ketika suara bariton yang rasanya tak asing menarik perhatiannya.
“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”