"Anda ini siapa ya?" tanya Ferdy dengan polos.
Perempuan yang mengenakan kemeja ketat berwarna biru dan rok pensil hitam dengan belahan samping sampai setengah paha itu berdecak kesal. Ia berjalan mendekati Ferdy. Koreksi, bukan ke Ferdy tapi ke anak perempuan bernama Ara yang masih betah menggelendoti Ferdy.
"Jangan pura-pura lupa kamu!" Sergah perempuan itu
Mulai lagi deh. Ferdy mengembus napas dengan cepat. "Saya memang tidak tahu dan tidak ingat Anda."
"Anda ... Anda. Jangan sok formal! Biasanya juga kamu panggil saya Bee," perempuan bernama Bianca yang biasa dipanggil itu protes keras. Ia menekankan panggilan namanya sendiri pada Ferdy.
"Bee, ya?" desis Ferdy sambil menatap bingung.
"Iya, Bapak Ferdinan Hutomo tersayang," tandas Bee sebelum menarik Ara pelan-pelan dari sisi Ferdy. "Sini, Sayang. Daddy kamu kayaknya hilang ingatan, jadi kelihatan kayak orang bloon gitu."
Ferdy mengangkat alisnya. Baru kali ini ada perempuan yang menyebutnya bloon. Apa iya tampangnya sekarang terlihat seperti orang bodoh? Ah, masa bodoh dengan penampilannya. Sekarang, ia harus tahu apa yang diinginkan Bee.
"So, mau Anda apa?" tantang Ferdy.
Alih-alih menjawab, Bee justru menuntun Ara ke sofa. Ia meminta gadis kecilnya duduk, lalu ia pun ikut duduk. Bee duduk bertumpang kaki hingga sebagian paha putih mulusnya terekspos.
Dari tempatnya berdiri, Ferdy secara tidak sengaja melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdenyut kencang. Iman sih bisa tahan, tapi si imin gak kuaaat!
Ferdy menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha membuat dirinya tenang. Ia seorang pria yang punya prinsip dan tidak akan mudah tergoda oleh hal sekecil itu. Ia harus menghadapi masalah yang lebih besar yang sekarang terbentang di hadapannya.
Se-cool mungkin Ferdy berjalan menuju sofa dan sebisa mungkin pandangannya hanya ia arahkan pada Ara. Perempuan bernama Bee itu bagaikan ancaman besar. Lambat laun ia bisa memorakporandakan hidupnya, pikir Ferdy.
"So, mau Anda apa?" ulang Ferdy.
Bee memandang sinis pada Ferdy sambil mengerutkan dahi. "Bukannya sudah jelas? Saya minta cerai."
"Tunggu. Kapan kita menikah? Masalahnya, saya tidak ingat sama sekali," Ferdy tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak mengingat Bee dan pernikahan mereka.
"Kita tidak bisa membicarakan ini di depan Ara dan ...." Pandangan Bee tertuju pada Hendro yang masih setia berdiri di samping meja kerja Ferdy.
"Oke." Ferdy menoleh ke samping ke arah Hendro yang masih setia berdiri menunggu perintah. "Pak Hendro, tolong bawa Ara keluar dulu, ya."
"Baik, Pak." Hendro berjalan mendekati Ara lalu membunjuk anak itu untuk ikut bersamanya.
Suasana tegang dan sedikit panas menjadi atmosfer baru di ruang kerja Ferdy setelah Hendro dan Ara keluar dari ruangannya. Kini, mereka duduk berhadapan. Sekilas memandang wajah Bee, Ferdy bergidik ngeri. Perempuan itu sejenis ratu lebah yang bisa menyengat dan membunuhnya kapan saja. Prasangka buruk itu terus bergelung di kepala Ferdy hingga menyesakkan dadanya.
"Jadi, ...." Ferdy sengaja membuat ucapannya mengambang untuk memancing penjelasan dari Bee.
"Jadi, kita menikah di Oklahoma dan sudah mendaftarakan akta nikah kita di Indonesia. Jangan bilang kamu juga lupa tanggal dan tahunnya," tukas Bee.
Ferdy menggeleng. Ia berusaha mengingat peristiwa itu. Namun, sialnya otak Ferdy tetap nge-blank. Ia tidak mampu mengingat apa pun yang berhubungan dengan Bee dan pernikahan mereka. Yang ia ingat, ia hampir tidak punya waktu berkencan apalagi pacaran di sana lantaran ia mengejar karir sebagai CMO di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa.
"Laki-laki macam kamu memang pandai berkelit." Bee menyilangkan tangan di atas perut. Bee tidak menyadari jika aktivitasnya itu membuat d4d4 Bee yang montok terangkat dan memamerkan belahannya.
Aduh! Ferdy otomatis pusing atas-bawah. Ia mengernyitkan alis sambil menahan entakan di pusat tubuhnya yang tiba-tiba meronta. Sejujurnya Ferdy tidak memahami apa yang dikatakan Bee. "Laki-laki macam saya? Laki-laki bagaimana maksudnya?"
"Laki-laki nggak bener yang suka mainin perasaan cewek. Hobi gonta-ganti pasangan. Hm, sudahlah. Jika kamu mengira saya mengada-ada, kamu bisa cek keabsahan Akta Perkawinan kita dari Oklahoma yang sudah tercatat di Kantor Pencatat Perkawinan di sini." Bee masih bertahan dengan posisinya bersedekap.
Ferdy semakin kebingungan dengan penjelasan Bee. Raut wajahnya kini tampak sekusut pikirannya. Selama ini ia tidak merasa pernah hilang ingatan, tapi penjelasan Bee seperti memojokkannya akan sesuatu yang tidak ia ingat sama sekali.
"Look! Saya tidak punya pacar yang serius selama saya bekerja di Oklahoma. Kalau Anda—"
Bee menurunkan tangannya ke pinggang. Matanya berapi-api penuh kemarahan menatap Ferdy. "Benarkan apa kata saya?! Laki-laki macam kamu ini pasti menyangkal!"
Ferdy hampir melompat mendengar teriakan Bee. Kumat nih cewek.
Ferdy mengangkat tangan di depan d**a tanda menyerah. "Oke, oke. Anda jangan marah begitu dong. Sekarang, mau Anda apa? Maaf, kalau saya memang tidak mengingat Anda dan anak Anda sama sekali."
"Anak kita!" tegas Bee.
Lagi-lagi Ferdy tersentak. Ia menekan d**a agar tidak beneran melompat. "Oke. Iya, anak kita." Mungkin.
"Saya dan Ara minta hak kami. Selama hampir lima tahun kamu tidak membiayai hidup kami," tuntut Bee.
Indeed? Nih, cewek mau memeras gue kayaknya. Opini buruk mulai terbentuk di kepala Ferdy. Kali ini Ferdy berlagak ia yang berada di pihak yang benar. Ia bersedekap. Melayangkan tatapan membunuh pada Bee.
"Anda mau berapa?" Ferdy langsung mengajukan penawaran.
Tidak mau kalah, Bee pun melayangkan tatapan tajamnya pada Ferdy dan membuat pria itu otomatis menelan ludah.
Sial, tatapan penebar mautnya bikin gue jantungan, batin Ferdy.
"Saya tidak mau uang. Saya mau perlindungan. Saya bangkrut dan jobless. Saya dan Ara untuk sementara mau tinggal sama kamu sampai saya mendapat pekerjaan baru," papar Bee.
Ferdy kehabisan kata. Suara detak jantungnya yang menulikan telinganya sendiri menambah volume ketegangan. Ia berusaha meredam kepanikan setenang yang ia bisa dengan menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah beberapa detik mengolah data, bagian lobus frontal dari otak besarnya mulai bekerja. "Anda bilang sekarang Anda jobless, tapi Anda bisa menyewa pengacara dari Law Firm yang bonafide."
"Itu karena bantuan teman saya yang ada di sana. Saya sangat berterima kasih padanya karena mau membantu proses perceraian kita ini tanpa mau dibayar," jawab Bee singkat, jelas, dan padat.
Ferdy mengangguk sambil menurunkan kedua ujung bibirnya. "Saat di bandara, Anda bilang saya tidak akan bisa ketemu anak saya lagi. Nyatanya—"
"Saya berubah pikiran.” Bee memotong dengan cepat. “Saya pikir saya tidak akan kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat. Kenyataannya, kemarin saya dipecat.”
"Baiklah. Tempat tinggal?" Ferdy memutar bola mata sekaligus otaknya mencari solusi. "Anda bisa tinggal di rumah saya di perumahan—"
"Saya hanya mau tinggal di tempat kamu tinggal sekarang," pungkas Bee tanpa basa-basi.
"Nggak bisa!" tolak Ferdy mentah-mentah.
"Selama belum ada ketuk palu hakim dari Pengadilan Agama, kamu masih suami saya. Kamu mau istri dan anak kamu diapa-apain orang di sana?!" Nada bicara Bee kembali meninggi.
Sial. Kalau nada bicara Bee terus meninggi seperti saat ini, suaranya bakalan nyampe ke ruang kerja papanya yang ada di sebelah ruangannya. Papanya bisa mendengar dan mendadak syok. Ferdy belum siap mengatakan apa pun pada papanya selama ia belum punya bukti yang membenarkan intuisinya sebagai korban penipuan.
"Oke. Anda akan tinggal di apartemen saya. Jangan teriak-teriak lagi. Ini kantor, bukan terminal bus. Paham?" Ferdy mulai kesal.
"Baiklah." Bee mengangguk.
Ferdy mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Hendro. Ia meminta Hendro membawa Ara masuk ke ruangannya. Waktu menunggu Hendro dan Ara tiba di sana terasa sangat panjang seperti menunggu matahari terbit pada bulan Desember di Alaska. Lama pakai banget. Duduk berhadapan dengan perempuan tidak dikenal yang mengaku sebagai istri dan ibu dari anaknya membuat Ferdy canggung dan salah tingkah. Ia bersedekap, menurunkan tangannya, lalu bersedekap lagi. Berbagai pose duduk pun sudah ia coba. Beruntung, beberapa menit kemudian Hendro tiba bersama Ara.
"Baiklah. Saya mau bicara dengan asisten saya dulu. Setelah itu kita akan pergi apartemen saya," ucap Ferdy sambil berdiri.
Bee mencebik, lalu mengernyitkan dahi sambil menatap Ferdy penuh selidik.
Hendro yang berdiri di samping Ferdy sedikit membungkuk menjelaskan. "Sebentar saja, Bu.”
"Jangan kabur, ya! Awas kalau kamu kabur. Saya akan viralin kasus ini.”
“Anda tenang saja. Saya terkenal se-Jakarta raya. Kalau saya kabur, pasti saya bisa dengan mudah ditemukan.” Ferdy menjawab dengan percaya diri, merasa seperti artis terkenal.
Bee mengerling ke arah Ferdy. “Huh, sombong!”
Masa bodoh kalau si Bee mau ngomong sesukanya. Ferdy tetap tak peduli dan butuh bicara dengan Hendro. "Ayo, Ndro, kita keluar dulu!"
Ferdy berjalan lebih dulu keluar dari ruangannya diikuti Hendro.
Ferdy dan Hendro berjalan ke sudut koridor. Persis di depan jendela kaca besar, keduanya berdiri berhadap-hadapan. Di saat kapasitas otaknya overload oleh beban baru, Ferdy butuh solusi instan yang tidak menyesatkan. Ia menceritakan keinginan Bee yang ingin tinggal bersamanya pada Hendro.
"Untuk sementara, ya begitu saja dulu, Pak Bos," saran Hendro, "atau Pak Bos bisa minta bantuan Pak Rustam untuk menyelidiki kebenaran pernikahan Pak Bos sama Bu Lebah itu. Pak Rustam kan punya keponakan di Amerika sana."
"Keponakan Mas Rustam itu di New York. Sedangkan, fakta lunak ini terjadi di Oklahoma. Jaraknya saja dua kali jarak dari ujung barat ke ujung timur pulau Jawa. Jauh banget, Ndro."
"Tapi kan keponakan Pak Rustam itu menikah dengan anak mantan Senator. Pasti relasinya dia banyak, Pak Bos. Apa salahnya Pak Bos minta bantuan Pak Rustam? Siapa tahu solusi masalah Pak Bos bisa segera terpecahkan," saran Hendro lagi.
"Iya, sih. Ada baiknya juga minta bantuan Mas Rustam. Thanks ya, Ndro." Ferdy menepuk pundak Hendro pelan.
"Jangan sungkan, Pak Bos. Saya siap kapan pun Pak Bos butuh bantuan saya."
Ferdy tersenyum. Di balik sikap urakan dan nyeleneh Hendro, ternyata pria itu bisa diandalkan. Ya, jika tidak bisa diandalkan, Ferdy pasti sudah memecatnya sejak lama.