"Ndro, coba tampar saya!" pinta Ferdy.
Hendro melongo sekaligus meringis. Selama lima tahun menjadi asisten pribadi Ferdy, baru kali ini bosnya itu punya permintaan aneh. Ia menatap Ferdy dengan tatapan bingung.
"Ayo, tampar saya!" pinta Ferdy dengan nada sedikit tinggi.
Hendro menelan ludah dengan susah payah, lalu menempelkan tangannya ke pipi Ferdy dengan ragu-ragu. Ferdy mendesah kesal. Ia minta ditampar, bukan dibelai.
"Yang kenceng dong, Ndro," titah Ferdy.
Tiba-tiba, plaaak! Tamparan Hendro melayang ke pipi Ferdy yang ditumbuhi janggut tipis.
"Auw!" Ferdy mengusap-usap pipinya yang memerah dan terasa panas. "Kekencengan, Ndro."
Hendro menyatukan tangan di depan d**a dengan tubuh sedikit dibungkukkan. "Ma-maaf, Pak. Tapi kan Bapak sendiri yang minta ditampol kenceng."
"Iya. Gak apa-apa. Saya cuma mau tahu, saya lagi mimpi atau enggak." Ferdy masih mengusap-usap pipinya.
"Hasilnya, Pak?" tanya Hendro polos.
Lirikan setajam silet Ferdy melayang ke arah Hendro hingga membuat pria berkumis tipis itu menunduk ketakutan. "Ya, jelas-jelas nyata. Buktinya, pipi saya rasanya sakit."
"Lha, tadi Bapak sendiri yang minta ditampol," celetuk Hendro tidak mau disalahkan.
Ferdy membuang napas kasar. Iya juga sih. "Kita pulang sekarang."
Hendro menempelkan tangan di dahi memberi hormat sekali lagi. "Siap, Bos!"
Mereka berdua masuk ke dalam mobil sport hitam berlogo banteng yang terpakir di ujung barisan. Ferdy duduk di kursi penumpang, sementara Hendro yang berada di balik kemudi. Ferdy berusaha membuat rileks tubuh dan pikirannya setelah peristiwa tak terduga di halaman parkir tadi dengan bersandar jok yang diposisikan dengan sudut 120 derajat. Kedua tangannya dilipat di belakang kepala hingga d**a bidangnya terlihat sedikit membusung.
"Ndro, kira-kira siapa ya cewek tadi itu? Savage banget sih dia."
"Kalau Bapak sebagai suaminya saja tidak kenal, apalagi saya, Pak."
"Suami dari Hongkong!" elak Ferdy, "kapan saya nikah? Pacar aja masih nyari."
"Bapak minum dulu deh biar fokus. Barangkali Bapak mendadak hilang ingatan," celetuk Hendro.
Ferdy otomatis memeloti Hendro. Meskipun pura-pura menatap lurus ke depan, namun ekor mata Hendro menangkap murka yang nyata dari wajah Ferdy. Mode grogi Hendro langsung ON. tangannya sedikit gemetaran memegang stir mobil.
"Awas jangan sampai nabrak, Ndro! Kalau nabrak, gaji kamu saya potong selama 10 tahun." Ferdy memperingati sekaligus mengintimidasi.
"Kejam." Hendro mengerucutkan bibir membentuk pose duck face, sok imut. Faktanya, boro-boro imut, yang ada justru bikin yang melihatnya semaput.
Ferdy menurunkan tangan lalu bersedekap. "Makanya, kalau ngomong jangan sembarangan."
"Iya, Pak. Maaf.” Hendro mengembus napas lalu melirik Ferdy sebelum mengutarakan hasil kerja otaknya. “Dua hari lagi kan Bapak ulang tahun, Mungkin nih, Pak, siapa tahu cewek tadi cuma nge-prank Bapak.”
Ferdy mengernyitkan dahi sambil menyipitkan mata. Dugaan Hendro ada benarnya juga. Dua hari lagi ia genap berusia 34 tahun. Namun, siapa yang berani mengerjainya seperti itu? Ferdy memutar otak mencari jawaban. Beberapa detik kemudian ia mengubah posisi sandaran jok ke sudut sembilan puluh derajat mengikuti posisi duduknya yang tegak.
"Kita ke rumah Feli, Ndro," perintah Ferdy, "berani-beraninya dia ngerjain saya."
"Siap, Pak Bos. Meluncur!"
"Jangan!" ralat Ferdy tiba-tiba dengan nada tinggi dan membuat Hendro hampir melompat dari kursinya.
Hendro mengelus d**a. Jika saja yang berteriak bukan bosnya, ia pasti sudah mengumpat. Nama-nama binatang seRagunan pasti sudah terlontar dari mulutnya. Namun, sekarang Hendro hanya bisa diam dan meluapkankan rasa kesalnya dalam hati saja.
"Jadi, kita mau ke mana nih, Pak? Menteng apa Kemang?" tanya Hendro ketika tiba di perempatan jalan.
"Kebayoran Baru. Saya pengen tidur. Meeting semalam selesai hampir pagi. Di pesawat pun saya enggak bisa istirahat." Ferdy teringat akan pria tua di sebelah suite-nya di pesawat tadi yang tidur mendengkur. Menyebalkan.
"Nggak jadi konfirmasi ke Bu Feli nih, Pak?" Hendro meyakinkan Ferdy.
"Nggak. Biarkan saja. Feli pasti seneng kalau prank-nya berhasil," sahut Ferdy dengan percaya diri. Ia tidak mau merusak rencana adiknya yang akan memberi kejutan di hari ulang tahunnya nanti, pikir Ferdy.
"Oke, Pak. Kita lanjut ke apartemen Bapak."
Tidak lebih dari dua puluh menit, Ferdy dan Hendro tiba di apartemen Ferdy. Ia mengizinkan Hendro pulang lebih cepat lantaran otak dan matanya sudah tidak sinkron lagi. Rasa lelah dan kantuk telah menyerap seluruh energinya. Ia butuh istirahat segera.
***
"Hasil kerja kamu bagus, Fer," ucap Bob sambil menutup slide terakhir laporan hasil meeting anak sulungnya dengan sebuah perusahaan bonafide di Singapura. Direktur Utama PT. Cakrawala Nusantara itu menatap bangga pada Ferdy yang duduk di seberang meja kerjanya.
"Terima kasih, Pa. Kita punya PR yang harus segera dikerjakan. Masalahnya, durasi kerja sama ini tidak cukup panjang." Ferdy merespons dengan serius.
"Papa percaya sama kamu, Fer. Kamu bisa Papa andalkan." Bob meyakinkan. "Setelah makan siang, Papa mau pulang. Papa minta kamu tangani urusan Papa di sini sementara."
"Siap, Bos," sahut Ferdy. Namun, sesaat kemudian ia menyadari sesuatu. "Kenapa Papa pulang lebih cepat?"
"Biasalah, Papa mau melanjutkan hobi baru Papa. Nanti kamu cicipi ya hasil masakan Papa," jawab Bob dengan bangga.
Ferdy berdeham. Jadi ciciper lagi deh.
Hobi baru papanya tergolong unik. Di usianya yang menginjak enam puluh tahun, papanya lebih suka masuk ke dapur untuk memasak. Ia bahkan meminta salah satu chef terkenal di ajang lomba memasak yang sedang tayang di televisi untuk memberikan pelatihan. Setiap kali ia membuat sesuatu yang baru, pasti Ferdy yang menjadi korban pertama untuk mencicipi hasil masakannya. Maka dari itu, Ferdy menyebut dirinya sebagai ciciper alias tukang ici-icip masakan Papa.
"Oke deh, Pa. Semangat ya, Pa. Semoga masakan Papa kali ini nggak seasin kemarin."
"Ah, kemarin itu ada kesalahan teknis. Papa pikir tumis terongnya belum dikasih garam, ya Papa tambah garam lagi. Ternyata, Papa lupa sudah menaburkan garam sebelumnya," sanggah Bob.
Ferdymengembus napas panjang. Pria tua di hadapannya ini memang pintar ngeles, pikirnya.
Ferdy baru saja keluar dari ruang kerja papanya sebelum Hendro datang menghampiri dengan napas ngos-ngosan seperti baru dikejar anjing gila. Hendro panik, sepanik-paniknya.
"Pak Bos, ada pengacaranya Bianca Lee yang nunggu Bapak di ruangan Bapak," tutur Hendro pelan.
Ferdy mengernyitkan dahi menatap heran Hendro. "Bianca Lee? Siapa lagi tuh?"
Hendro mendekatkan wajahnya ke telinga Ferdy dan menjelaskan dengan setengah berbisik. "Kata pengacara itu, Bianca Lee itu istri Bapak?"
What?! Ferdy tercengang. Tidak sabar, Ferdy bergegas melangkah ke ruang kerjanya yang berada di ujung koridor lantai lima gedung perusahaan itu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan sebelum membuka pintu. Ia pikir ia harus tetap terlihat cool di depan pengacara sewaan adiknya itu. Niat banget sih Feli ngerjain gue.
Ferdy memasuki ruang kerjanya. Tatapan penuh selidiknya ia samarkan di balik senyuman tipis.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Bapak-bapak?" tanya Ferdy pada dua pria bersetelan kemeja hijau dan berdasi hitam yang duduk di sofa khusus tamu.
Kedua pria itu berdiri lalu mengulurkan tangan mereka untuk bersalaman dengan Ferdy. "Selamat siang, Pak Ferdinan Hutomo."
"Silakan duduk. Apa yang bisa saya bantu?" Ferdy mempersilakan mereka duduk setelah berjabat tangan.
"Kami dari firma hukum Adnanta Waluyo and Partners. Kami datang untuk memberitahukan Anda bahwa surat gugatan cerai Bu Bianca Lee Arisandhy kepada Anda sudah masuk ke pengadilan. Kami harap kerja sama Anda untuk ini," ucap salah satu pria itu.
Ferdy tersenyum getir. Ia merutuk dalam hati. Ya, ampun. Feli kok sampai segini niatnya mau ngerjain gue. Pakai acara nyewa pengacara dari Law Firm terkenal segala. Oke, gue ikutin permainan elo, Fel.
Ferdy mengangguk. Senyuman masih menghias wajah maskulinnya. "Baik. Saya akan usahakan sebisa mungkin untuk bekerja sama dengan baik."
"Baiklah. Terima kasih atas kerjasamanya. Kami akan mengabari Bapak dan pengacara Bapak mengenai proses persidangan nanti."
Kedua pria dari firma hukum itu bangkit berdiri lalu berjabat tangan lagi dengan Ferdy sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Tawa Ferdy meledak setelah ia yakin kedua pengacara itu tak terlihat lagi di ruang kerjanya.
"Kita lihat besok. Elo bakal nggak nyangka kalau gue ternyata udah tau prank-an elo, Fel," tuduh Ferdy dengan yakin, seyakin-yakinnya.
Tepat jam 00:30 Ferdy baru kembali ke apartemennya. Menghabiskan waktu dengan laporan keuangan dan pemasaran membuat harinya sangat sibuk. Ia membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah. Energinya mulai habis setelah berkutat dengan laporan-laporan akhir bulan yang membosankan.
"Surprise!!!" Suara teriakan beberapa orang memenuhi ruang tamu apartemen mewahnya.
Ferdy tersentak kaget. Ia masih mematung dengan tatapan terkejut ketika adiknya, Feli, mulai menyanyikan lagu Happy Birthday yang kemudian diikuti oleh suami dan kedua sahabat Feli.
"Selamat tambah umur ya, Bang," ucap Feli sambil menyodorkan red velvet cake berukuran sedang dengan lilin menyala di atasnya ke hadapan Ferdy.
Sebelum meniup lilin, pandangan Ferdy mencari-cari sosok yang selalu menjadi panutannya. Papanya. "Papa nggak ikutan, Fel?"
"Tadi Feli ke rumah Papa, ternyata Papa sudah tidur."
"Oh." Ferdy mengangguk-angguk.
♫Tiup lilinnya. Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga ....♫
Nyanyian kedua sahabat Feli yang merupakan sahabatnya juga memaksa Ferdy segera memadamkan api yang membakar lilin di atas kue. Setelah itu, ia menerima ucapan selamat dan pelukan hangat dari adik satu-satunya itu.
"Thanks ya, Fel, sudah bikin kejutan buat gue. Hebat banget, apalagi prank yang elo sama dua racun itu bikin ....” Ferdy menunjuk ke arah Angel dan Ryana, sahabat Feli, dengan dagu sebelum melanjutkan kalimatnya. “Di kantor gue tadi siang dan kemarin. Bikin gue hampir gila," lanjut Ferdy sambil merangkul pundak Feli.
Feli menyatukan alis. Raut wajahnya tampak kebingungan. "Prank apaan sih, Bang? Feli enggak ngerti."
"Jangan pura-pura nggak ngerti lo! Elo udah nge-prank gue sampe bela-belain sewa pengacara dari Adnanta Waluyo And Partners segala," tandas Ferdy.
Feli menurunkan kedua ujung bibirnya. Ia planga-plongo tidak mengerti apa yang dibicarakan kakaknya. "Abang ngomong apa sih? Feli cuma buat kejutan ini kok buat Abang."
Ferdy menurunkan tangannya dari pundak Feli, lalu menatap dalam-dalam perempuan berambut cokelat yang diikat dengan model ekor kuda itu. "Cewek yang kamu suruh mendamprat Abang di bandara dan pengacara tadi itu lho."
"Bang, Feli enggak bikin prank itu. Orang lain kali yang bikin," sangkal Feli.
Damn! Kalau bukan Feli yang membuat lelucon tidak lucu itu, lalu siapa?