Portal sihir teleportasi menghantarkan Edbert tiba di dalam gedung Biddlestone. Gedung sepuluh lantai ini bersinar paling terang di kerajaan Somerville, yaitu salah satu kerajaan barat pelopor berkembangnya Yurza. Di sinilah kecanggihan berbasis sihir dikembangkan, dan Biddlestone adalah gedung yang menjadi pusat penelitian kecanggihan sihir sekala besar.
"Selamat sore, ketua aliansi Biddlestone!" sapa Edbert pada lelaki tambun yang berdiri di tengah ruangan. Suara husky yang khas itu menyebabkan Profesor Jacob yang sedang berkonsentrasi penuh merancang mantra sihir untuk sebuah hologram kubus tidak sengaja menjatuhkan tongkat sihirnya. Lalu dengan segera seorang pria asisten mengambilkan tongkat yang mirip pulpen tersebut dan menyimpankan untuk sang Profesor.
"Edbert!" sambut Profesor Jacob, menampilkan wajahnya yang sekilas sangat mirip dengan Roland. "Aku senang kau datang ke Biddlestone. Tapi berhentilah menyapaku dengan panggilan itu. Apakah karena kau melihat pria empat puluh tahun ini bekerja menggunakan tongkat sihir, jadi kau malu memanggilku Pamanmu?"
"Tentu saja tidak, Paman. Lagi pula, tidak ada larangan bagi keluarga Kinsey untuk menggunakan tongkat sihir."
Profesor Jacob tertawa, lalu mengajak Edbert duduk berseberangan meja dengannya. "Jadi, apa tujuanmu datang ke Biddlestone?"
"Gambaran air terjun hutan Camden. Apa Biddlestone memilikinya?"
"Air terjun hutan Camden, ya?" Profesor Jacob berpikir sesaat sebelum kembali berbicara. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya? Mungkinkah ada hubungannya dengan ramalan pernikahanmu dengan gadis Albara?"
Mengangguk, tanpa ragu Edbert memberitahu. Sejak kecil ia telah mengenal Profesor Jacob, dan ia tahu pamannya yang gemar bekerja itu bisa dipercaya. Itulah salah satu alasan Edbert meminta bantuannya.
"Saat ini semua Yurza menyorotku," ungkap Edbert. "Membuatku benar-benar kehilangan kenyamanan hidup."
"Hmm, aku paham. Ditambah juga kudengar pihak-pihak yang meragukan kesungguhanmu semakin bermunculan."
"Ya. Karena itu Ayah menyetujui saran Cassandra. Aku dipaksa menjemput gadis itu dengan tanganku sendiri."
Melihat wajah Edbert yang kesal, Profesor Jacob tergelak. "Memang terdengar merepotkan, tapi sebenarnya itu ide yang bagus untuk menunjukkan keseriusanmu. Hanya saja aku harus menjelaskan fakta yang mungkin tidak kau sukai... tentunya jika kau berniat melaksanakan ramalan itu. Air terjun hutan Camden terletak di kerajaan Snowden, dan di kerajaan itu tumbuh pohon Zipthus. Sampai saat ini Biddlestone belum tahu pohon itu tertanam di bagian mana, karena keberadaan pohon Zipthus sendiri telah menghalangi sihir pemetaan menembus wilayah itu."
"Dengan kata lain, Biddlestone tidak memiliki gambaran air terjun itu?" tanya Edbert, lalu pria di depannya mengangguk.
Kecewa, Edbert menyandarkan punggung. Bukan ini yang ia harapkan. Sebenarnya ia sangat berharap Biddlestone memiliki gambaran air terjun hutan Camden, karena dengan begitu teleportasinya akan sampai lebih mudah. Setiap sihir teleportasi membutuhkan gambaran tempat yang akan dituju. Begitulah ketentuannya.
"Tapi... kupikir aku memiliki sesuatu yang mungkin akan membantumu," ujar Profesor Jacob kemudian bangkit dan memandu Edbert menuju ruangan yang lain. Sambil berjalan, ia menunjukkan satu per satu para pekerja Biddlestone. Semua pekerja, termasuk Profesor Jacob mengenakan jubah berwarna biru yang merupakan ciri khas Biddlestone. Di atas masing-masing meja para pekerja itu, terdapat hologram. Dengan menggunakan tongkat sihir mereka yang berwarna perak, mereka menggerakkan hologram itu hingga sesekali tampak kilatan-kilatan petir di sekelilingnya. Melihat siapa yang datang, semua pekerja menghentikan aktivitas mereka, lalu memasang senyum ramah pada Edbert.
Namun, Edbert sama sekali tidak berminat membalas senyuman para pekerja itu. Ia hanya berjalan dengan pandangan lurus sambil mengikuti Profesor Jacob hingga memasuki ruangan yang besar, beratap tinggi, dan lapang. Sebuah hologram besar mengambang di tengahnya, yang merupakan ruang pemetaan Biddlestone.
"Ini adalah rancangan pemetaan Snowden yang kukumpulkan dari para penyusup," jelas Profesor Jacob sembari menggeser hologram itu dengan telapak tangannya. "Hutan Camden terletak di Snowden bagian selatan, tidak begitu jauh dari pusat kota Eden. Di sini adalah gambaran tepiannya. Masalahnya, selama ini sihir pemetaan sangat sulit menembus hutan itu. Entah apa sebabnya. Jadi seperti yang kau lihat, pemetaan ini belum lengkap."
Edbert memperhatikan hologram di hadapannya. Ia ingat Cassandra mengatakan lokasi air terjun itu berada di bagian utara hutan. Maka mungkin tidak masalah jika nanti teleportasinya hanya sampai tepian hutan Camden saja. Selebihnya ia bisa menggunakan kompas dan aliran sungai untuk menuju ke sana.
"Aku mengerti, Paman. Gambaran ini sudah cukup membantuku," terang Edbert.
"Baguslah. Snowden tidak seperti kerajaan timur lainnya yang menolak bergabung dengan Yurza. Selain pohon Zipthus, di kerajaan itu juga ada markas besar The Keepers. Sekumpulan suku Albara itu tidak bisa kita anggap remeh. Selain bisa mendeteksi sihir, mereka juga memiliki sesuatu yang terbukti bisa memudarkan kekuatan sihir kita."
Edbert mengangguk paham. Yah, walaupun selama ini semua itu tidak pernah membuatnya tertarik, tetapi sedikit banyak ia pernah mendengar tentang The Keepers dan kemampuan mereka. Para penyusup yang Yurza kirim hampir tidak pernah kembali. Terlebih ketika diminta untuk mencari markas besar The Keepers, belum pernah ada yang berhasil.
"Jadi saranku," tambah Profesor Jacob, "jangan gunakan sihirmu di Snowden kalau tidak dalam kondisi terdesak. Aku percaya kau bisa melakukannya. Mungkin kau menganggap aku sibuk, tapi kau harus tahu. Aku berada di pihak yang mendukungmu."
Edbert tersenyum tipis, menghargai dukungan Profesor Jacob padanya.
"Kalau begitu, kapan dan dengan siapa kau akan ke sana?"
"Rencanaku besok, sesuai permintaan Ayah." Wajah Edbert berubah lesu. "Dengan Dexter."
"Dexter? Adikmu yang belum juga lulus tes sihir teleportasi dan transformasi itu? Kau yakin?" Profesor Jacob melongo.
"Tak ada pilihan lain. Ayah melarangku membawa orang lain selain Dexter. Sepertinya Ayah serius ingin menunjukkan kemampuan kedua putranya agar mendapat pengakuan seluruh Yurza."
***
"Di sini tempatnya?" tanya seorang remaja pria beriris mata biru. Penampilannya mencolok di bawah sinar matahari siang. Rambut merah, sweater kuning menyala, dan celana drawstring hijau. Dialah Dexter Kinsey, putra kedua Roland yang harus berakhir menjalani hukuman menemani Edbert menjemput si gadis Albara di hutan Camden akibat tidak kompeten belajar sihir. Setelah memandang berkeliling, ia bertanya lagi, "Apa kita sudah sampai di rumah gadis Albara itu?"
"Hampir," jawab Edbert singkat.
"Hampir?" ulang Dexter dengan menatap heboh kepada Edbert yang berdiri di sebelahnya. "Jadi teleportasi kita hanya sampai di tepian hutan saja? Kenapa tidak langsung ke sana?"
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Kau perlu lulus tes kemampuan sihir teleportasi dulu agar paham jawabannya!" respon Edbert ketus. Alih-alih senang, baginya kehadiran Dexter justru seperti bencana. Dexter adalah orang yang cerewet, sedangkan Edbert paling membenci seseorang yang berisik. Dengan malas, Edbert menaikkan tudung pakaian hitam yang ia kenakan hingga menutupi kepalanya. Kemudian dari sudut matanya, ia berusaha memastikan kehadiran teleportasi mereka aman sebelum melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan.
Dexter yang bertubuh lebih pendek dari Edbert, berjalan cepat demi menyamakan langkah. Wajahnya yang putih bersemu merah jambu, tampak sudah lelah padahal perjalanan baru saja dimulai. "Jalan kaki begini sangat merepotkan. Seharusnya tadi kita membawa naga saja. Bukankah kemarin Paman Jacob baru mengirimkan naga terbang terbaru Biddlestone?"
"Lelucon macam apa itu," cibir Edbert. "Tentu saja tidak bisa."
"Kenapa? Beri aku alasan!"
"Dexter Kinsey, dengar baik-baik. Naga dan alat canggih semacamnya adalah sesuatu yang jarang dilihat oleh kerajaan-kerajaan bagian timur, termasuk Snowden. Apalagi sihir. Kita hanya akan membuat keberadaan kita diketahui kalau sembarangan menggunakan sihir di kerajaan timur."
"Oh, ya?"
Edbert membuang napas seolah dirinya sedang memikul beban yang berat. "Yah, aku maklum kalau kau tak paham. Yang kau pahami hanya fashion dan pakaianmu yang selalu aneh itu."
"Apa? Aneh?" Dexter berkacak pinggang. "Gaya berpakaianmu itu yang terlalu biasa, Edbert Kinsey! Seharusnya, penampilanmu bisa lebih WOW. Ayah memberi kita tabungan tanpa limit. Kenapa tidak menghamburkannya? Lagi pula aku sudah belajar rumus sihir untuk mendesain baju. Kalau kau mau, aku bisa mendesainkan pakaian khusus untukmu."
Edbert cepat-cepat menggeleng. "Seumur hidup, aku tidak akan meletakan topi semangka di atas kepalaku. Itu menyedihkan."
Bibir Dexter mengerucut. Wajah 15 tahunnya yang imut berusaha tampak garang, tetapi gagal. Ia kesal kenapa kakaknya itu masih saja mengejek topi yang ia kenakan di pesta pertemuan Yurza kemarin. Akibat salah mantra, topi hasil desainnya itu justru terlihat seperti buah semangka.
"Ugh, lagi-lagi kau menyinggungnya! Sungguh menyebalkan!" keluh Dexter, sehingga membuat Edbert refleks tertawa. Melihat hal itu, mata Dexter langsung melebar. "Oh, wow! Apa kau baru saja tertawa? Cepat, lakukan lagi. Aku ingin melihatnya!"
"Siapa yang tertawa? Aku hanya menguap."
"Jangan coba-coba mengelabuhiku, Edbert Kinsey!" tukas Dexter. "Tadi aku benar-benar melihat kau tertawa. Aku melihat gigi-gigimu, dan sorot matamu yang galak itu jelas-jelas menyipit. Ah, andai saja aku boleh menggunakan sihirku di sini. Akan kuubah daun itu menjadi kertas untuk mengabadikan tawamu yang langka itu."
"Tes sihir transformasi saja kau belum lulus. Paling-paling, daun yang kau ubah menjadi kertas itu hanya akan bertahan beberapa detik." Terkekeh, Edbert menggelengkan kepala. Merasa heran mengapa kemampuan sihir Dexter begitu lambat. Padahal, sihir transformasi mengubah benda termasuk sihir tingkat rendah yang Yurza menengah pun bisa melakukannya. Seorang penyihir hanya harus mengubah suatu objek menjadi seperti yang ia dipikirkan. Semakin tinggi kekuatan sihir yang dimiliki seseorang, semakin bertahan lama benda yang ia sihir. Bahkan benda itu dapat berubah secara permanen, tetapi dalam hal ini hanya pemimpin Yurza yang dapat melakukannya.
"Aku sudah hafal mantra-mantra sihir transformasi!" sanggah Dexter tak terima. "Perlu kutunjukkan sekarang?"
Edbert mendesis geram. "Tidak perlu. Ingat! Di hutan ini jangan coba-coba gunakan sihirmu tanpa persetujuanku."
Sudut bibir Dexter terangkat sebelah. Sungguh ia merasa kesal terjebak di hutan Camden bersama kakaknya yang membosankan.
***
Langit menguning. Pendar cahaya keemasannya menerobos celah-celah daun pinus yang pohonnya sangat tinggi. Serangga malam mulai memperdengarkan eksistensinya.
Dexter memperhatikan sekeliling. Sudah sejak tadi hawa di sekitar tengkuknya terasa tidak enak. "Kau yakin ada manusia yang tinggal di sini? Aku sih tidak. Jangan-jangan Ayah dan Cassandra sedang membohongi kita? Lihat kan, sampai sekarang kita belum melihat rumah satu pun."
"Hanya karena kita belum melihat rumah, bukan berarti tidak ada rumah di hutan ini, Dexter Kinsey." Edbert memutar bola matanya malas, sungguh ia tidak mengerti dari mana asal sifat cerewet Dexter muncul. Semua di keluarganya, sebenarnya adalah orang yang serius, termasuk dirinya. Meski kadang sosok Dexter bisa mengubahnya menjadi sosok yang--yah, sedikit usil.
"Hmm." Dexter mengangguk-angguk sok paham. "Kenapa, ya? Selama ini Ayah hampir tidak pernah mengijinkan kita bergaul dengan sembarang orang, terutama wanita. Tapi sekarang? Kenapa Ayah malah menyetujui pernikahanmu dengan gadis suku Albara?"
"Bisakah kau diam? Asal kau tahu, kehadiranmu di sini sama sekali tidak membantu apa pun."
"EDBERT KINSEY!" sembur Dexter. "Apa kau sadar mengapa kau tidak memiliki teman di luar Tannin? Karena sifatmu menyebalkan. Aku yakin, gadis Albara itu tidak akan tahan denganmu dan kau akan cepat menjadi duda!"
Tangan Edbert mengepal. Ingin sekali ia mengambil daun-daun kering dan menyumpalkannya ke mulut Dexter. Dengan menahan geram, ia berkata, "Berhentilah berteriak! Sebentar lagi kita akan sampai. Aku tidak mau si gadis Albara itu kabur karena mendengar teriakanmu."
"Kita akan sampai? Benarkah?"
"Pasang telingamu."
"Ya! Aku mendengarnya. Gemuruh air terjun hutan Camden?"
Sementara Edbert mengangguk, Dexter langsung berjingkrak-jingkrak. "Calon kakak ipar! Aku dataaaaang!"
***