"Nah, kalian bisa liat dulu lokasinya. Maaf kalau sederhana, hanya gedung ini yang bisa kami berikan sebagai fasilitas kalian dalam menjalankan program kerja," ucap Pak Sunar.
"Ini sudah lebih dari cukup, Pak. Terima kasih, kami janji akan menjalankan tugas dengan baik dan memanfaatkan gedung ini sebagaimana mestinya," ujar Dilara disertai senyum manis khasnya yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Hari ini Irham dan Dilara ditemani Pak Sunar sedang melakukan survei pada bangunan yang dalam waktu dekat akan mereka ubah menjadi sekolah untuk anak-anak desa sekitar.
"Kalau kita bersihin hari ini kira-kira boleh gak, Pak? Biar sekolahnya bisa berjalan secepatnya," tanya Irham.
"Wah, boleh-boleh. Malah bagus kalau memang seperti itu, saya akan memanggil beberapa warga lagi untuk membantu membersihkan gedung ini," ucap Pak Sunar, terlihat bahwa ia sangat terbuka dan senang dengan keputusan Irham. "Kalau begitu saya permisi sebentar, ya. Mau ambil alat-alat kebersihan dan minta tolong bapak-bapak yang lain."
"Silakan, Pak."
Pak Sunar terlihat buru-buru mengundurkan diri dan kembali ke rumahnya untuk mengambil alat-alat kebersihan dan memanggil bapak-bapak lain seperti ucapannya.
Sementara itu, kini tinggal Irham dan Dilara berdua di halaman gedung yang tak terlalu luas. Gedung tersebut adalah bekas balai desa yang kini tak lagi terpakai karena adanya pembangunan balai desa yang baru tak jauh dari sana.
"Semoga sekolah ini nantinya sesuai ekspektasi ya, Mas," ucap Dilara yang tak nyaman dengan kesunyian di antara mereka.
Dilara yang pada dasarnya ekstrover mendapatkan teman setim seperti Irham yang Introver, sungguh perpaduan yang bertolak belakang.
Irham sendiri hanya tersenyum tipis seraya mengangguk sebagai pertanda bahwa ia setuju dengan ucapan Dilara barusan.
Tak tahu harus berbicara apa lagi, Dilara akhirnya memilih berjalan-jalan di sekitar halaman dan melihat bagian dalam bangunan lebih jelas. Ia tak lupa memberi salam setiap masuk ke ruangan, bentuk sopan santun sebagai pendatang.
Tak lama kemudian, Pak Sunar kembali datang membawa sapu dan kawan-kawannya bersama empat orang bapak-bapak yang seumuran dengannya. Mereka pun mulai membagi tugas, ada yang menyapu ruangan, menyapu halaman, dan membersihkan langit-langit ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba.
Sembari menyapu ruangan yang rencananya akan menjadi kelas nanti, Dilara menyapu pandangannya ke sekeliling. Kepalanya sudah dipenuhi dengan ide-ide kreatif untuk mengisi kekosongan ruangan yang lumayan besar tersebut. Seketika bakatnya sebagai desain interior terpanggil keluar.
"Biar saya aja, Mbak." Irham menghentikan Dilara yang hendak memanjat membersihkan bagian sudut langit-langit.
Melihat Irham yang langsung memanjat kursi membuat Dilara mundur beberapa langkah. Ia hanya melihat dan berjaga-jaga, takut kalau kursi yang dipijak pemuda itu sudah rapuh dan membahayakan keselamatannya.
"Mbak bersihin yang gampang-gampang aja, gak usah sampai manjat-manjat kayak gini," tegur Irham.
"Kenapa? Karena saya perempuan makanya saya gak boleh manjat? Takut saya gak kuat?" tanya Dilara balik.
Pemikiran feminisme yang tertanam dalam kepalanya seolah tertantang mendengar teguran Irham.
"Bukan. Saya gak meragukan atau melarang karena meremehkan, tapi karena bagi saya Mbak itu tanggung jawab saya selama kita berdua. Kalau Mbak manjat dan jatuh apa yang bakal saya bilang ke Mas Izzaz?" jawab Irham dengan wajah tanpa ekspresi.
Dilara tersenyum. "Diri saya ya tanggung jawab saya sendiri, bukan tanggung jawab kamu ataupun Mas Izzaz. Tapi saya berterima kasih karena kamu sudah peduli sama saya," ucap Dilara.
Ia kemudian melenggang meninggalkan Irham dan menyapu bagian lainnya. Tak membutuhkan waktu berjam-jam bagi mereka membersihkan bangunan yang tak terlalu besar itu. Kini bangunan yang tadinya kotor dan penuh debu disulap menjadi lebih bersih dan nyaman ditempati.
Halaman yang tadinya dipenuhi dedaunan kering yang berserakan pun kini bersih dan tampak asri dengan rumput-rumput hijau yang telah rapi.
"Alhamdulillah semuanya sudah selesai, terima kasih Bapak-bapak sekalian sudah mau membantu kami membersihkan bangunan ini," ucap Pak Sunar mewakili.
"Ah, ini endeq (tidak) terlalu besar, Pak. Ite (kita) senang bisa membantu, karena dengan adanya sekolah ini juga nantinya akan membantu anak-anak kami," sahut salah satu bapak-bapak bertubuh berisi, disahuti anggukan oleh teman-temannya yang lain.
"Baiklah, karena semuanya sudah beres kalau begitu Ite pamit pulang dulu ya. Kalau butuh bantuan apa-apa, kalian bisa panggil kami, dengan senang hati kami akan membantu," ujar bapak yang lainnya.
Mereka kemudian berpamitan dan bersalaman bergantian dengan Dilara dan Irham, juga Pak Sunar.
"Terima kasih sekali lagi, Pak," ucap Dilara.
Sepeninggalan teman-temannya, Pak Sunar kembali melirik Irham dan Dilara.
"Baik, kalau begitu mari saya antar kembali ke rumah. Kalian juga pasti capek dan perlu bersih-bersih kan," tawar Pak Sunar.
Sejenak Dilara menoleh pada Irham, keduanya bertatap dan seolah berbicara melalui bahasa kalbu. Hingga akhirnya Dilara mengangguk, entah apa yang mereka bahas.
"Terima kasih atas tawarannya, Pak. Tapi kami bisa pulang sendiri kok, lagipula kami juga sudah hapal jalanan dan tidak enak kalau terus merepotkan Pak Sunar," tolak Dilara sesopan mungkin, agar Pak Sunar tak tersinggung.
Pria paruh baya itu tertawa renyah. "Ah, kalau sama saya kalian tidak usah sungkan begitu. Selama di sini anggap saya ini sebagai orang tua kalian, karena saya yang bertanggung jawab atas kalian di sini. Ya walaupun kalian-kalian ini sudah pada besar-besar."
"Terima kasih, Pak," ucap Dilara.
"Jadi, ini kalian betul tidak ingin diantar balik? Tidak apa-apa? Tidak tersesat kan kalian nanti?" tanya Pak Sunar memastikan.
Dilara dan Irham mengangguk bersamaan. "Iya, Pak. Seperti kata Bapak tadi, kami kan sudah besar pasti tidak akan tersesat kok," ucap Dilara diakhiri tawa kecil.
Pak Sunar mengangguk-angguk kecil. "Ya sudah, kalau begitu kalian hati-hati, ya. Kalau tersesat kalian tanya aja ke warga sini, insyallah pada baik-baik kok mereka." Ia menepuk pelan bahu Irham. "Jaga anak perempuan Bapak ini, ya. Jangan sampai hilang apalagi lecet."
"Siap, Pak," jawab Irham seadanya.
Lagi-lagi Dilara dibuat tertawa dengan selera humor Pak Sunar, ia merasa seperti tengah mengobrol bersama papanya sendiri. Ah, berbicara tentang papa, Dilara jadi merindukan orang tuanya. Kira-kira bagaimana kabar mereka di sana, ya?
"Yasudah, kalau begitu kita pamit dulu ya Pak. Assalamualaikum," pamit Dilara seraya menciumi tangan Pak Sunar, diikuti Irham setelahnya.
"Waalaikumsalam, hati-hati kalian."
Keduanya pun melenggang meninggalkan Pak Sunar yang tinggal sendirian di halaman gedung tersebut, berjalan pulang menuju rumah yang mereka tempati selama di desa tersebut.
Di tengah perjalanan, tak sengaja Dilara dan Irham bertemu dengan Izzaz dan Dimas yang datang dari arah timur. Sontak saja Dilara langsung menghampiri suaminya.
"Assalamualaikum, Mas," sapa Dilara, ia menciumi tangan Izzaz.
"Waalaikumsalam," sahut Izzaz dan Dimas bersamana. "Gimana, udah selesai survei lokasinya?"
Dilara mengangguk. "Udah, tadi juga sempat bersihin gedung dan halamannya dibantu sama Pak Sunar dan bapak-bapak yang lain. Pada baik-baik loh Mas," cerita Dilara.
Sembari bercerita, mereka juga melanjutkan perjalanan yang kebetulan sama-sama ingin pulang untuk makan siang bersama dan sholat dzuhur yang sebentar lagi akan berlangsung.
*