Tujuan

1031 Kata
Begitu rombongan para relawan keluar dari pintu kedatangan Bandara Internasional Lombok, mereka langsung disambut oleh Bupati Lombok Tengah sebagai pemimpin daerah setempat. "Selamat datang, Bapak dan Ibu relawan dari Unicef Indonesia," ucap Pak Bupati sopan. Dua orang perempuan muda berpakaian Pegon yang merupakan pakaian adat khas Lombok berjalan dan mengalungi karangan bunga pada mereka sebagai bentuk sambutan dan penghormatan. "Terima kasih atas sambutannya, Pak. Kami merasa sangat tersanjung dengan penyambutan dari Bapak," ucap Dimas sebagai perwakilan. Perjalanan udara selama kurang lebih dua jam sama sekali tak menyurutkan semangat mereka, tampak senyum-senyum bahagia di wajah mereka. "Ah tidak apa-apa, Pak. Ini sudah kewajiban saya sebagai kepala daerah untuk menyambut kalian, apalagi tujuan kalian datang ke mari untuk mengabdi pada masyarakat," jawab Pak Bupati. Mereka digiring untuk ikut dan menunggu mobil jemputan khusus. "Hari ini kalian menginap dulu di sini, besok baru kita lepas untuk pergi melanjutkan perjalanan laut ke Lombok Utara," ucap Pak Bupati yang diangguki oleh mereka. Tak lama kemudian dua buah mobil datang, mereka pun dipersilakan untuk dibagi menjadi dua tim dalam dua mobil. Sementara Dimas sebagai ketua tim bergabung dengan Bapak Bupati untuk berbincang-bincang lebih jauh. Mereka dibawa menuju salah satu hotel terbaik di Lombok untuk berisitirahat selama satu malam. * "Sayang, pembalut kamu ada bawa? Kalau kurang nanti Mas turun ke minimarket buat beli stok pembalut kamu, takutnya di sana nanti kamu gak dapat yang sesuai sama yang biasa kamu pakai," tanya Izzaz baru keluar dari kamar mandi. Dilara menoleh. "Cukup, Mas. Tadi kamu beli banyak banget, bahkan bisa lebih buat bulan ini," jawab Dilara sembari tersenyum. Izzaz menghampiri istrinya, ia memeluk pinggang Dilara dari belakang dan menaruh dagunya di bahu Dilara. Masih ada perasaan malu-malu di hati Dilara, belum terbiasa dengan segala tingkah manja dari suaminya yang kadang muncul tiba-tiba. "Sayang banget kamu datang bulan, padahal bisa loh kita bulan madu semalam di sini," ucap Izzaz lesu. Tubuh Dilara berputar agar berhadapan dengan Izzaz, tangannya terangkat dan mengelus rahang suaminya. "Maaf, ya. Aku juga gak tau kalau ternyata datangnya malah hari ini." "Ngapain minta maaf, Sayang? Itu kan proses alami tubuh perempuan, bukan salah kamu. Itu bentuk kesempurnaan dan keistimewaan kamu sebagai seorang perempuan," ucap Izzaz. "Seharusnya Mas yang nanya sekarang, perut kamu ada sakit? Atau mau Mas beliin sesuatu?" "Laparr," rengek Dilara manja. Izzaz terkekeh, ia menjadi gemas sendiri melihat istrinya. Tanpa sadar Izzaz mencubit hidung Dilara, kemudian menciumi seluruh bagian wajah istrinya, mulai dari kening, pipi hingga kecupan singkat di bibir. Tok, tok, tok! "Mas Izzaz, Mbak Dilara." Suara panggilan dari luar kamar disertai ketukan menghentikan kegiatan mereka, Izzaz melepaskan pelukannya pada pinggang Dilara dan bergegas membuka pintu kamar. Dilara sendiri buru-buru memakai hijab instan yang tadinya ia lepaskan dan diletakkan di ranjang. "Iya ada apa, Ga?" tanya Izzaz saat mendapati Yoga berdiri di depan pintu kamarnya. "Kita diajak dinner sama Mas Dimas, mau ikut gak? Atau ... mau bulan madu aja nih di kamar?" goda Yoga yang diakhiri kekehan kecil. "Kamu ini, nggak lah. Duluan aja, saya siap-siap dulu sama istri saya. Nanti habis ini langsung turun," ucap Izzaz yang juga tertawa kecil. Yoga mengangguk seraya mengangkat jempolnya. "Jangan lama-lama, ya, Mas. Bulan madunya ditunda dulu aja, udah lapar nih," keluh Yoga. Setelah itu ia langsung kabur meninggalkan Izzaz yang hanya terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala saja. Sedikit banyaknya ia sudah terbiasa dengan sifat para teman-teman barunya. Sepeninggalan Yoga, ia kembali menatap istrinya yang mulai siap-siap. Hanya sederhana karena makan malam biasa untuk menghilangkan rasa lapar setelah perjalanan jauh. "Udah, Sayang?" tanya Izzaz yang dibalas anggukan oleh Dilara. Keduanya pun berjalan keluar dari kamar hotel sambil saling bergandengan. Begitu turun ke lobi, tampak empat orang telah menunggu mereka sambil duduk di sofa yang disediakan oleh pihak hotel. Masing-masing sibuk dengan kegiatan mereka. "Mas Dimas," panggil Izzaz seraya saling bertos. "Loh cuma berempat? Mbak Lia sama Mbak Indah kemana?" Dilara menanyakan kehadiran dua relawan perempuan yang berteman itu. Mereka terlihat absen di sana. "Kayaknya mereka ketiduran saking capeknya deh, soalnya tadi aku ketuk-ketuk kamarnya gak ada yang jawab," sahut Yoga. Malam ini, pria itu bertugas sebagai seksi yang menggedor satu persatu kamar mereka. Masing-masing sebenarnya mendapatkan satu kamar, tetapi berbeda dengan Izzaz-Dilara dan dua perempuan tadi. Izzaz dan Dilara tentu saja sengaja memilih satu kamar bersama karena mereka sudah halal, sementara untuk Lia dan Indah memang karena sudah berteman sejak awal. "Yaudah, gak usah dibangunin lagi, kasian. Nanti kita bungkusin makanan aja soalnya jam segini resto hotelnya udah tutup kata resepsionis tadi," ucap Dimas. Mereka mengangguk, kemudian berjalan bersama keluar dari hotel. Kebetulan hotel yang mereka tempati menginap dikelilingi dengan banyak pedagang makanan, jadi mereka memilih berjalan kaki sambil mencari makanan yang pas. "Mau makan apa, Sayang?" tanya Izzaz yang berjalan sambil bergandengan dengan Dilara. Mereka benar-benar mencerminkan pengantin baru yang enggan lepas satu sama lain. Sejak tadi Izzaz tak melepaskan tangan Dilara barang sedetik pun. "Nasi goreng ada gak?" tanya Dilara asal. "Mbak, kalau mau makan nasi goreng mah gak usah jauh-jauh ke Lombok. Di Jakarta banyak tuh nasi goreng," celetuk Andre, pria berambut cepak dengan penampilan yang agak vintage. Pria itu seperti lebih cocok bekerja di studio lukis atau di pameran daripada menjadi relawan. "Bener tuh, Mbak. Kalau jalan-jalan kayak gini lebih enak cari makanan khas setempat," sahut Yoga. Dilara yang dikeroyok oleh dua orang pun akhirnya mengalah. "Iya deh, aku ngikut kalian aja gimananya. Udah dikeroyok dua orang nih," canda Dilara. "Eh tapi aku heran deh, kalian ini kenapa manggil Dilara dengan Mbak? Padahal bisa aja kalian lebih tua dari Dilara, apalagi Mas Dimas dan Mas Andre ini kayaknya lebih tua deh," ucap Izzaz. Dimas terkekeh geli. "Lebih enak aja kalau manggil Mbak, daripada manggil nama. Mungkin kalau udah lebih dekat bisa dipertimbangkan deh manggil namanya." "Eh, makan di sana aja yuk!" ajak Yoga seraya menunjuk salah satu stan yang bertuliskan Sate Bulayak. Stan makanan tersebut juga tak terlalu penuh dan ramai, tak juga sangat sepi. "Eh, tapi maaf. Ini halal kan?" tanya Dilara sebelumnya dengan sangat hati-hati, takut kalau ada yang tersinggung. "Tenang aja Mbak, ini halal kok. Bahan utamanya sama kayak sate biasa, daging sapi juga," sahut Andre. "Mayoritas masyarakat asli sini juga muslim kok, jadi untuk makanan halal gak bakal sesulit di Bali kalau nyari." "Alhamdulillah, makasih ya penjelasannya." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN