Keadaan

2178 Kata
            Aji mengucek matanya yang memerah karena bangun tidur, ia tidak tau kenapa matanya jadi terlihat sembab. Seingatnya ia tidak menangis. Mungkin terlalu lama tidur kali ya?             Sejak pulang dari taman kemarin siang, Aji langsung naik ke kamarnya, mandi, berganti pakaian dan langsung naik ke tempat tidur. Ia bahkan melewatkan makan siang dan makan malamnya juga.             Semalam ia mendengar Liza berteriak – teriak di depan kamarnya menyuruhnya segera turun dan makan, tapi ia tidak menyahut dan tetap diam sambil berpura – pura tidur hingga Liza bosan dan akhirnya menyerah untuk memanggilnya turun. Entah apa yang dipikirkan Liza dan Mamanya perihal absennya ia dalam acara makan malam. Aji tak terlalu memikirkannya, ia bisa menjelaskannya saat dirinya sendiri sudah tenang.             Pagi ini, perutnya terasa sangat lapar. Ia melihat jam di meja nakas di samping tempat tidur, baru sekitar jam lima pagi. Ia menuju ke kamar mandi, melakukan ritual mandi yang lebih lama dari biasanya, sekedar menenangkan dirinya.             Bicara soal sekolah, sebenarnya dia malas berangkat. Dirinya sedang dalam masa sulit saat ini. Gosip itu menyebar cepat, mungkin karena Aji yang begitu terkenal di sekolah.             s****n.             Sekitar dua puluh menit kemudian Aji baru keluar dari kamar mandi. Ia segera memakai seragam almamaternya, merapikan dirinya dan segera turun.             “Kak?” Aji berjingkat kaget saat ia mendapati Liza telah berdiri di depan pintu kamarnya.             “Astaga, kaget gue. Ada apa sih?” Tanya Aji ketus.             Liza diam sejenak mengamati kakaknya. “Kak, gue bakal bikin perhitungan sama orang yang udah bikin gosip soal lo. Tenang aja, Ibu peri Liza akan bertindak tegas.” Kata Liza tajam kemudian gadis remaja itu pergi meninggalkan kakaknya yang melongo bingung.             Liza memang terkadang menyebalkan, ugh—ralat, sering menyebalkan. Tapi dia adalah sosok adik yang baik, toh setiap kali Aji ada kesulitan, orang pertama yang akan menghibur atau membantunya adalah Liza. Gadis itu bukan seperti gadis remaja lainnya yang manja, Liza adalah gadis yang kuat, agak tomboy tapi manis. Meskipun Aji ogah banget mengakui kalau Liza itu manis. Kadang-kadang, daripada adik, Liza malah kelihatan dewasa dan pantas menjadi kakaknya.             Aji tersenyum kecil. “Gue sayang lo dek.” Gumamnya pelan. . .             “Kak, kemarin ada apa? Kok nggak makan siang sama makan malam? Kamu sakit? Mama khawatir tau.”             Aji tersenyum lembut. “Nggak Ma, Aji cuma capek aja. Maaf ya, Ma.”             Mamanya tersenyum sambil mengelus kepala Aji. “Iya Kak, nanti kalau kamu memang capek atau sibuk bilang Mama dulu, jangan mengunci kamar mu begitu. Mama khawatir. Bilang aja kalau kamu capek, Liza juga nggak akan teriak-teriak di kamar mu.”             Aji mengangguk kecil. Ia sudah fokus dengan makanan di depannya, dan tidak terlalu memperhatikan Mamanya. Selesai makan, Aji melirik ke arah Liza sebentar, dan mendapati adiknya tersenyum kepadanya. Aji jadi malu sendiri.             Sekali lagi, Aji menolak ajakan Alan dan Dimas untuk berangkat ke sekolah bersama. Alasannya tetap, “Ingin berduaan sama yayang Rain.”             “Ma Aji berangkat.” Katanya sambil mencium tangan Mama. Aji kemudian bergegas ke garasi, mengeluarkan yayang Rain nya tercinta, dan segera melesat pergi.             Sesampainya di sekolah, Aji segera memarkirkan motornya, menepuk pipinya dan berusaha mengabaikan perihal gosip itu.             “Aiiih,,, b***h dateng, berapa tarif lo sejam Ji?”             Aji menoleh, mendapati segerombolan kakak kelas laki – laki menghampiri dia sambil melempar ejekan kepadanya.             Aji melirik kesal. Wajahnya memerah marah. “b*****t. Jaga mulut lo!” Bentak Aji tajam.             Gerombolan kakak kelas itu tertawa merendahkan. Salah seorang dari mereka mendekat dan menjambak rambut Aji dengan kasar. Sungguh s**l bagi Aji, tubuhnya yang kurus dan pendek itu tidak mungkin menang melawan kakak kelas bertubuh besar yang mirip gorilla.             “Heh, berani banget lo sama senior. Nggak usah sok deh lo, sekarang ketenaran lo bakalan berakhir karena gosip itu, jadi mending lo berhenti jadi orang sombong.” Kata kakak kelas itu sinis.             Aji meringis menahan sakit di kepalanya. Mimpi apa semalam sampai dia di bully sama kakak kelas.             Aji menyeringai—meski masih menahan sakit akibat jambakan keras kakak kelasnya. “Oh, jadi lo iri gara – gara gue tenar? Trus lo seneng gara – gara sekarang gue lagi digosipin kayak gini? Hahaha… rendah banget jadi kakak kelas.” Cemooh Aji santai. Kakak kelas itu terlihat kesal. Ia menarik dagu Aji dan mendekat kepadanya.             “Lo pikir lo bakalan menang lawan gue HAH? Mungkin lo bakalan berhenti sombong kalau gue hancurin wajah manis lo?” kakak kelas itu mengelus pipi Aji, membuatnya bergidik akibat sentuhan itu. Kakak kelasnya mengepalkan tangan, bersiap melayangkan tinjunya ke wajah Aji namun tidak jadi karena seseorang menahan pergelangan tangan nya.             “Gue rasa, kalau senior ketahuan menghajar adik kelas urusannya bakalan panjang, apalagi ini di area sekolah. Lo nggak mau kan sampai dikeluarin ‘kan?” Katanya dingin.             “Ivo? Ngapain lo ikut campur?”             Ivo menarik cengkraman si kakak kelas dari Aji. “Karena Aji teman gue. b**o!”             “Ck, liat aja lo, untuk kali ini gue bebasin tapi nanti gue bakalan ngasih lo pelajaran.” Kakak Kelas itu menunjuk wajah Aji dengan tidak sopannya. Aji mendengus menahan tawa.             “Senior rendahan.” Gumamnya pelan.             Ivo menghampiri Aji. “Lo nggak papa ‘kan?” Tanyanya khawatir.             Aji tidak memandangnya dan sibuk mengusap pipinya dari bekas elusan si kakak kelas tadi. “Nggak.” Jawabnya singkat kemudian berlari pergi tanpa mempedulikan panggilan Ivo di belakangnya.             Aji benar – benar merasa tertekan dengan beredarnya gosip menjijikkan soal dirinya itu. Setiap dia berjalan di lorong sekolahnya, semua pasang mata pasti langsung memandanginya dengan ekspresi bermacam – macam.             Belum pernah liat orang ganteng apa? Ini sih kata hati Aji sendiri.             Sekarang Aji tengah ada di taman belakang, duduk sendirian di bawah pohon mangga dengan earphone menyumpal kedua telinganya. Dirinya sedang lelah, malas, dan frustasi. Mendengarkan musik adalah pilihan Aji saat sedang dalam kondisi kurang baik, karena ia sedang malas mendengar suara – suara di sekelilingnya, maka dengan musik cukup untuknya men—tuli—kan diri sejenak.             “Sabtiar?” Aji mengerjapkan kedua matanya saat merasakan sebuah tepukan di bahu kirinya. Ia mendongak keatas, bermaksud memaki siapa saja yang berani mengganggu acara menenangkan dirinya. Namun niatnya itu diurungkan begitu ia melihat wajah Azza tengah memandangnya dengan sorot mata dingin.             “Ngapain lo di sini?” Tanya Azza datar. Ia duduk sekitar setengah meter di samping Aji sambil membuka – buka buku tebalnya.             “Nggak ada alasan khusus buat gue jawab pertanyaan lo.” Jawab Aji dingin. Ia sudah melepaskan earphone nya dan tengah memejamkan mata sambil menikmati semilir angin.             Azza tertawa sinis. “Gue nggak nuntut buat lo jawab kok, cuma iseng nanya, jadi nggak usah khawatir.” Balasnya tak kalah dingin. Azza tidak lagi bertanya apa – apa. Dia asyik dengan buku di tangannya.             Aji berpikir lagi, ia teringat tugasnya. Satu kelompok dengan singa betina macam dia bukan sesuatu hal yang mudah. Sebenarnya julukan singa betina tidak sepenuhnya  cocok untuk Azza. Gadis itu memang terlihat galak di sekali waktu, namun di waktu lainnya dia terlihat begitu dingin. Perubahan suasana hatinya ekstrim sekali. Apa jangan – jangan Azza itu bipolar?             Kasian sekali kalau memang benar. Memiliki banyak suasana hati dalam sekali waktu. Bukankah itu melelahkan? Bisa saja Azza mengumpat dengan sadisnya kemudian tertawa – tawa.             “Za?” panggi Aji pelan, ia melirik kearah Azza yang sejak tadi fokus dengan bukunya.             “Hm?”             “Soal tugas kita, lo mau kita nyanyi lagu apa?” Tanya Aji akhirnya. Ia tidak tau kenapa dirinya malah mengajak Azza bicara. Bukankah mereka tidak pernah berteman sebelumnya? Lagipula, sebelumnya Aji menolak menjawab ketika gadis itu menanyainya.             “Gue belum mikirin soal itu. Tapi… lo ada ide mungkin?” Azza akhirnya menoleh. Ia menutup buku tebalnya dan meletakkannya di samping kiri tubuh nya.             “Sebenarnya gue juga belum kepikiran sih.” Aji menggaruk belakang kepalanya.             Azza menghela napas. “Lo mau lagu barat atau lagu dalam negeri?” Tanya Azza.             Aji memasang gestur seolah sedang berpikir. “Gue mau lagu barat aja, soalnya menurut gue lagu barat itu lebih earcatching gitu.” Jawabnya.             “Gue pikir juga gitu, bukannya gue nggak cinta Indonesia, tapi selera itu emang nggak bisa dibohongi.” Ujar Azza santai.             “Lo suka 5SOS nggak?” Tanya Aji.             Azza melirik kearah Aji. “Oh, empat cowok – cowok keren itu. Biasa aja sih. Lagipula lagu-lagunya enak.” Jawabnya santai.             “Gue pengen nyanyiin salah satu lagu mereka. Lo mau nggak?”             “Gue pikirin dulu deh. Di satu sisi gue suka, tapi di sisi yang lainnya gue nggak suka.”             Aji bingung. Gadis di depannya ini memang sulit dibaca. Ekspresinya tidak teratur apalagi perkataannya yang terkadang membingungkan.             “Terserah lo deh.” Ujar Aji akhirnya.             Mereka terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing – masing. Azza dengan pikirannya dan Aji dengan pikirannya pula. Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan setelah itu.             Aji yang tidak nyaman akhirnya beranjak, ia berdiri menepuk – nepuk celananya. “Gue ke kelas duluan.” Katanya dan langsung berlari tanpa menunggu jawaban Azza. . .             Liza tengah berdiri di depan ruang kelas IPS 2 sekarang, matanya menelisik tajam mencari – cari sosok seseorang di sana.             “Kak?” Panggil Liza pada Alan. Alan yang menyadari keberadaan adik dari sahabatnya itu segera menghampirinya.             “Liz, ada apaan?” Tanya Alan akhirnya.             “Kak Aji mana?”             “Nggak tau, dari tadi nggak ada. Gue khawatir nih, sejak gosip itu, Aji jadi lebih dingin.” Alan mengurut dahinya. Ia terlihat khawatir mengenai soal Aji.             “Sepertinya gue tau siapa yang mulai gosip itu.”             Liza dan Alan langsung menoleh, mendapati Dimas tengah berdiri di belakang Alan dengan wajah datar khas miliknya.             “Kak Dimas? Serius? Siapa kak?” Tanya Liza menggebu – gebu. “Gue nggak akan maafin siapapun yang bikin kak Aji jadi kaya zombie gitu.” Lanjutnya. Alan bergidik mendengarnya.             “Sebenarnya ini masih asumsi gue. Dari apa yang gue perhatiin sejak gosip dimulai kemarin itu.” Jelas Dimas. Alan dan Liza memperhatikan dengan seksama.             “Gue rasa yang mulai nyebarin gosip itu Dylan, lo tau? Anak yang ngurusin mading itu.” Kata Dimas.             Alan memasang raut wajah tidak percaya. “Hah? Anak cupu kaya gitu? Dia keliatan baik gitu?”             “Maksud gue Dylan nyebarin gosip itu karena diancam sama seseorang. Lo tau kan dia penakut.” Dimas menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Seberapa bodohnya kah temannya ini.             “Kenapa kakak pikir gitu?” giliran Liza yang bertanya. Ia memandang Dimas penuh rasa keingintahuan.             “Lo inget saat Aji ngasih tau kita kalau dia mau putus sama Aline? Setelah dari kantin itu kalian berdua kan balik duluan, gue waktu itu kan masih harus bayar dulu. Gue ngeliat Aline satu meja di belakang kita. Sebenarnya gue sempet khawatir, jangan – jangan tuh cewek dengerin pembicaraan kita. Aline kelihatan buru – buru, ekspresinya aneh, dan entah kenapa gue malah ngikutin dia.” Dimas menghela napas sebentar.             “Saat itu tindakan Aline mencurigakan banget, dia masuk ke dalam ruangan klubnya anak – anak mading itu, gue nggak tau apa nama klubnya. Di sana memang sepi banget soalnya udah bel masuk. Gue ngintip di balik jendela, ada Dylan di sana. Gue nggak begitu dengerin apa yang mereka bicarain, soalnya Aline bicara pelan banget. Gue cuma denger samar – samar soal “Gosip”, “p*****r”, “Buat semenjijikkan mungkin.” Yeah cuma itu yang gue denger. Setelahnya gue liat Aline ngelempar sesuatu yang gue curigai sebuah foto lalu dia menampar pipi Dylan, gue lumayan shock dan setelah itu gue langsung pergi.” Jelas Dimas panjang lebar.             Ekspresi Alan terlihat sangat shock, begitu pula dengan Liza.             “Sudah gue duga, cewek cabe – cabean emang butuh pelajaran.” Kata Liza sambil mengepalkan tangan kanannya.             “Tunggu dulu Liz, lo jangan hajar dia lah, lagian dia juga kakak kelas lo kali.” Kata Alan memperingati.             “Apaan sih lo kak? Gara – gara dia Kak Aji jadi kaya mayat hidup gitu. Kakak pikir gimana perasaan gue ngeliat kakak kandung sendiri jadi kayak gitu?” Liza akhirnya meledak, ia membentak Alan. Napasnya tersenggal – senggal karena menahan amarah sejak tadi.             “Iya gue tau lo pasti sakit hati. Tapi kita nggak ada bukti Liz.” Kata Alan mencoba menenagkan adik sahabatnya itu.             “Iya Liz, apa yang gue liat juga belum tentu bener. Kalau lo main k*******n, salah – salah malah lo sendiri yang kena.” Kata Dimas menimpali.             Liza diam, kalau sudah begini dia bisa apa?             “Trus gue mesti gimana kak? Gue nggak mau kak Aji kaya gini terus.” Liza menunduk.             “Gue pasti batuin lo kok. Tenang aja, tapi gue mohon lo sabar.” Alan mengacak – acak rambut Liza gemas.             Dimas tersenyum tipis. “Gue juga bakal bantuin kok.”             “Serius?” Liza akhirnya menatap kedua kakak kelasnya itu.             “Iyaaa.” Jawab Dimas dan Alan serempak.             Liza tersenyum. Kemudian pamit dan beranjak pergi. Ia begitu menyayangi kakaknya, dan ia tidak akan mau melepaskan orang yang berani membuat kakaknya sebegini kacau. Liza bersyukur, setidaknya masih ada yang benar – benar peduli pada kakaknya. Tidak seperti ‘mereka’. Ada alasan kenapa kakaknya menjadi seorang yang b******k seperti saat ini. Liza kira, ia tidak perlu membicarakan soal itu.             Ya, mungkin. -----  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN