Pertemuan

1689 Kata
Ivo berlari menuju ruang klub basket. Di sana ada beberapa anak kelas dua yang sedang asyik mengobrol sambil membicarakan rencana turnamen mereka di semester ini. Anak-anak kelas tiga yang seangkatan dengannya sendiri sudah tidak terlalu antusias membicarakan turnamen, kecuali Ivo. Posisinya sebagai kapten membuatnya merasa bertanggung jawab atas perjuangan terakhir rekan-rekan seangkatannya yang tergabung dalam klub basket. Mereka yang kelas tiga masih ikut, setidaknya sampai berakhirnya semester pertama di tahun ini. Setelah itu, mereka tidak akan ikut lagi dan menyerahkan semuanya ke tangan penerus mereka. Karena itulah, bagi mereka yang benar-benar mencintai basket seperti Ivo, mereka sangat bersemangat untuk tahun terakhir mereka di lapangan. Ivo menatap anggotanya satu per satu. “Oi… ada dari kalian yang mau main?” Teriak Ivo lantang. Beberapa pasang mata menatapnya. Dimas melompat dari tempat duduknya dan menghampiri Ivo. “Main apaan kak?” Tanya Dimas kalem. “Main petak umpet. Ya main basket lah, Dimas.” Jawab Ivo sambil menghela napas, heran dengan nalar adik kelasnya ini. padahal, Dimas termasuk dalam jajaran siswa pandai di sekolah. Dimas memalingkan wajahnya—malu sekaligus merasa bodoh dengan pertanyaannya sendiri. “Dalam rangka apa kakak nawarin kita main? Kok tumben? Biasanya juga kita main gitu kalau udah pemanasan sama latihan lama dulu. Lha ini? kita belum apa-apa juga.” Sahut Aji santai sambil asyik memutar – mutar bola. Kelopak matanya memicing seraya menyunggingkan senyum aneh khas Aji. Ivo tersenyum lebar. “Ada anak yang jago banget main basket. Gue cuma mau tau aja, apa lo-lo semua ini sanggup ngalahin dia. Gue sempat ngerekomendasiin dia ke kapten basket putri supaya dia masuk ke klub basket, sayang banget dia nolak.” Kata Ivo. Ada seringai yang mengikuti ketika kalimat terakhir meluncur dari kedua belah bibirnya. Aji mengernyit, cewek? Kemudian ia terkekeh pelan. “Males ah kak. Lagian gue nggak bawa baju, cuma kaus ini doang. Lagian dia ‘kan cewek kak, masa kita mau tanding sama cewek?” Keluh Aji. Ivo menatap Aji bengis. “Heh, pendek! kalau lo nggak main gue doain lu putus sama cewek lo. Dan meski dia cewek, gue rasa lo harus waspada sama dia.” Kata Ivo tajam. Aji tertawa ngakak. “Ahahahaha… tunggu - tunggu apa kata kakak? Putus? Ya kalau putus tinggal pacarin yang lain. Gampang!” Katanya sambil menjentikkan kedua jari. Dimas menghela napas, sedangkan Alan mendecih sebal. Omong – omong soal pacaran, sebenarnya Dimas dan Alan benci dengan status playboy Aji, tapi bukan berarti mereka membenci orangnya. Dimas selalu berharap semoga Aji segera sadar sebelum dia terkena karma karena bermain – main seperti itu. Ivo menggertakkan giginya marah. Kadang-kadang, sikap Aji kurang ajar dan tidak tahu posisi. Berbicara dengan yang lebih tua saja, kadang ia seenaknya. Aji memang butuh pendisiplinan dengan cara bicaranya yang bar-bar. Tapi entah kenapa Ivo sama sekali tidak bisa membenci adik kelasnya itu. Lagipula, dia sangat bagus dalam bermain basket, sayang sekali kalau sampai dia keluar hanya karena masalah sepele dengannya. “Sudahlah, biarin aja si Aji nggak main. Masih ada yang lain kok.” Kata seorang anak laki – laki lain sambil menepuk bahu Ivo, sepertinya dia anak seangkatannya. Ivo mengangguk setuju. “Baik! Dimas, Alan, Keenan, Reza, dan gue akan main satu tim. Terus Dean, Sam, Liam, dan Egi jadi lawan tim gue. Satu orang lagi bakal dateng bentar lagi.” Komando Ivo dengan lantang. Aji yang berada di pinggir lapangan tersenyum meremehkan. Ia santai duduk di salah satu bench sembari memutar-mutar bola basket. Sama sekali tidak tertarik dengan ‘orang’ yang katanya hebat itu. “Dia siapa sih kak? Cowok dari kelas apa?” Tanya Alan penasaran. “Dia bukan cowok, ‘kan tadi aku udah bilang. Dia itu—“ Brakk!! “Sorry gue telat.” Belum selesai Ivo menjawab, Azza sudah sampai. Semua pasang mata yang ada di klub basket otomatis langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang anak perempuan berperawakan tinggi dengan rambut sedang dan wajah dingin menggunakan jersey dengan sablonan nama Ivo di belakang masuk sambil terengah – engah. Kedua bola mata dinginnya bergulir, memandang sosok-sosok yang ada di dalam lapangan basket indoor dengan sorot mata tajam. “Lo lama banget Za.” Kata Ivo sambil menepuk puncak kepala Azza. Azza yang diperlakukan seperti itu menampakkan wajah kesal sambil menyingkirkan telapak tangan sang kapten dari kepalanya. “Nggak usah bacot. Kalau ngajak main ya ayo main. Nggak usah bertele-tele, abis ini gue juga masih ada urusan.” Jawab Azza tajam. “Njrit… lu jadi cewek kasar amat sih.” Keluh Ivo kesal. Di tepi lapangan Aji memandangi gadis itu dengan tertawa kecil. Ia merasa ingin sekali mempermalukan cewek kasar sepertinya. Aji tidak suka melihat cewek semacam itu. Dia bersikap kasar dan tajam kepada laki-laki, apalagi lawan bicaranya adalah Ivo—kapten basket sekolahnya sendiri. Aji pikir, kalau semua cewek pastinya nge-fans sama dia. Aji mengakui kalau ia memang terlalu sombong soal itu, tapi ya memangnya siapa yang peduli? Aji merasa bebas mengekspresikan perasaannya bukan? Aji menganggap mereka semua hanyalah selir – selirnya yang bisa diajak pacaran kapan saja dan bisa diputuskan kalau sudah bosan. Biasanya cewek-cewek di sekolahnya bisa dengan mudah luluh hanya dengan melihat senyuman Aji yang kata mereka seperti malaikat. Bahkan, cowok-cowok saja tidak jadi marah ketika Aji dengan sengaja menjahili mereka. Intinya mereka bilang kalau wajah dan senyuman Aji itu murni, benar-benar berbanding terbalik dengan perangainya. Aneh, tapi Aji menikmati semuanya. Sekarang ini, sudah hampir empat puluh menit mereka bermain basket, saat ini skor mereka hanya terpaut dua angka. Tim Azza memimpin, itu karena tembakan three point nya yang fantastis, akurasi tembakan Azza sangat bagus yang tentu saja membuat anak-anak klub basket merasa iri juga kagum. Baik mereka yang sedang menonton atau ikut tergabung dalam permainan tidak menyangka ada seseorang yang bisa melakukan three point dengan akurasi tembakan sempurna begitu. Beberapa dari mereka cukup kewalahan mengikuti ritme gerakan Azza, hanya Ivo yang terlihat cukup mengimbangi permainan Azza yang cenderung brutal dan tidak terkoordinasi. Ia cenderung tak sabaran dan selalu bermain sendiri. Daripada bermain dengan tim, jika ditilik lebih lanjut, Azza lebih seperti bermain sendiri dan yang lainnya hanya mengejar-ngejar dia. “Gila, tuh cewek brutal banget mainnya.” Celetuk Keenan sambil berusaha menstabilkan napasnya yang terengah – engah. Ia bertumpu pada lututnya sambil mengamati gerak Azza. ”Hooo… kita one-on-one nih ceritanya?” Ujar Ivo santai. Tangannya sedang asyik men-dribble bola basket dengan Azza yang berada di depannya. “As you wish.” Jawab Azza dengan seringai buasnya. Mata mereka saling bertatapan, dan tubuh mereka juga bereaksi dengan semua gerakan kecil keduanya. Saling mengimbangi, saling berusaha mendominasi. Para anggota dari kedua tim benar – benar sudah kelelahan. Sebenarnya sejak awal pun permainan hanya didominasi Azza dan Ivo, atau bisa dibilang Ivo yang terus saja berusaha mengimbangi Azza. Azza tidak bisa bermain dengan tim, dia benar – benar egois saat bermain. Dan teman setim Ivo maupun Azza kelelahan gara – gara mengikuti gerakan mereka yang benar – benar kelewatan. Meski hanya mengikuti gerakan mereka, tetap saja rasanya lelah sekali. Azza dan Ivo terus saja berlari kesana-kemari tanpa henti. Masing-masing dari mereka sadar, meski kemampuan Azza dalam bermain basket sangatlah bagus, tapi kerja samanya nol besar. Kalau pun Azza masuk ke tim basket putri, bukan tidak mungkin tim mereka malah hancur karena buruknya kerja sama Azza. Permainan mereka berakhir saat Ivo berhasil menerobos Azza dan hendak melakukan dunk di ring Azza, tetapi terlambat. Waktunya sudah habis. Dengan kata lain, tim Azza lah yang menang. Azza bertumpu pada lututnya. Keringatnya menguncur deras dan sepertinya ia kelelahan. Rambut sedangnya basah oleh keringat, sebagian menempel di leher dan dahinya. Ivo menggerang frustrasi gara – gara kekalahannya yang hanya beda tipis. Kalau saja ia berhasil melakukan dunk tepat waktu, setidaknya skor mereka masih seri. Pemuda itu terduduk di bawah ring dengan bahu naik turun. Ivo bisa begitu kelelahan hanya dengan satu pertandingan. Sebuah keajaiban dari Azza. “Hoo… permainan lu boleh juga.” Aji menghampiri Azza di tengah lapangan. Azza menarik wajahnya memandangi sosok anak laki – laki yang tengah menyeringai di depannya. Aji tersenyum kepadanya, dengan aura manis yang sering digunakan olehnya kepada orang-orang tetapi sayangnya sama sekali tidak mempan kepada Azza. “Karena gue suka ‘permainan’.” Jawab Azza singkat. Ia berlalu pergi meninggalkan Aji dengan kerutan heran di kedua alis Aji. Aji menggenggam telapak tangannya kuat – kuat. Entah kenapa ada perasaan aneh yang menyeruak masuk ketika ia memandang dalam – dalam sorot mata Azza tadi. Kemungkinan, Aji hanya merasa terkejut karena ia tidak biasa ditolak. ‘s****n’ batin Aji kesal, kedua matanya terus mengikuti ke mana gadis itu pergi. Azza menghampiri Ivo yang masih terduduk di bawah ring. Lengan kanannya terulur di depan Ivo. “Sorry, gue menang.” Ujar Azza kalem. Ivo terkekeh. “Ah… sayang sekali kemampuan lo nggak digunakan untuk membantu tim basket putri kita.” “Gue nggak bisa, atau lo mau lawan-lawan sekolah kita nanti babak belur gara-gara main sama gue? Lagian gue juga nggak jago main bareng, yang ada mereka malah bakalan ribut sama gue nantinya.” Jelas Azza santai. Ivo tersenyum. “Benar juga. Dengan tim sendiri aja lo nggak bisa kerja sama, ya. Tapi nggak masalah, permainan hari ini seru. Kapan-kapan mari main lagi, dan saat itu gue yang akan menang.” Azza tertawa. Menyadari kalimat Ivo. “Kenapa kalimat lo kayak gitu? mirip-mirip kayak kalimat di film-film bertema sport gitu. Kita cuma bermain iseng kali, bukan pertandingan resmi.” Ivo menggaruk lehernya. “Yah… meski bukan pertandingan resmi, basket ya tetap basket. Gue cinta basket dan gue selalu bermain sepenuh hati. Entah itu cuma iseng atau pertandingan resmi.” Azza menepuk bahu Ivo. “Oke, semangat untuk pertandingan terakhir lo.” Katanya. “Terima kasih.” Ujar Ivo tulus. “Gue balik dulu. Jangan lupa janji taruhan kita.” Kata Azza seraya berlalu pergi. Ivo terus memandangi punggung Azza sampai gadis itu ke luar dari lapangan indoor klub basket. Ia menyunggingkan senyum kecil ketika mengingat kalimat-kalimat Azza. Di sisi lain, Ivo sama sekali tidak menyadari bahwa dari tadi Aji memperhatikannya dengan kesal. Wajah manis itu tertekuk dengan bibir mengerucut dan tatapan mata kesal. Melihat Ivo akrab dengan Azza membuat Aji kesal entah karena apa. Pokoknya, Aji harus mencari tahu soal gadis itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN