Jodoh Pasti Bertamu : Part 7

2035 Kata
"Anyeonghi geseyo!" pamitnya lantas membungkuk sedikit. Para kakak lelaki yang menampungnya selama hampir setahun ini pun tertawa. Ia tentu tak tinggal di apartemen sendirian. Ia tinggal dengan dua kakak lelaki. Satu lelaki asli Korea Selatan dan satu lagi asli Jepang. Kedua orang itu lah yang membawanya datang ke Korea Selatan untuk bekerja. "Jal isseoyo!" balas keduanya. Ia melambaikan tangan, begitu masuk, ia masih hisa melihat keduanya tersenyum ke arahnya. Ia sangat berterima kasih pada keduanya karena telah berbaik hati menampungnya selama setahun ini. Meski ia bisa menyewa apartemen sendiri tapi bukan itu yang penting melainkan ilmu agama juga kehidupan yang ia dapat. Selama setahun terakhir, ia memutuskan untuk memperdalam agama melalui kedua orang mualaf itu. Ya, bayang kan, ia yang lahir dalam keadaan Islam belajar Islam pada dua orang yang mualaf. Awalnya, ia agak merasa malu tapi untuk alasan belajar, untuk apa malu? Toh belajar bisa dari mana saja dan siapa saja bukan? Termasuk dari keduanya. Ia sangat terbantu karena bacaan Qurannya jadi lebih fasih dan benar. Solat wajibnya? Ia bahkan sering didapuk menjadi imam di kantornya. Dengan bacaan Quran yang lebih baik dan bagus tentunya membuatnya lebih percaya diri ketika memimpin solat. Lalu apalagi yang berubah darinya? Hm....mungkin..... Iness, tutur batinnya. Ia melihat gadis yang sedang check in jauh di depannya namun dalam barisan yang sama. Ia bisa menebak kalau ada kemungkinan akan satu pesawat dengan gadis itu. Benar saja. Ketika ia tiba di ruang tunggu, ia melihat gadis itu baru saja mengecas ponselnya. Ia mengambil tempat duduk agak jauh yang memungkinkan ia tetap bisa melihat Iness rmtanpa diketahui gadis itu. Omong-omong rasanya sudah lama sekali ia tak melihat gadis itu. Terakhir pun setahun yang lalu? Pertemuan terakhir di mall itu menjadi pertemuan terakhir. Ia kan juga pernah menghubungi Iness bahkan menawarkan diri untuk menjadi suami perempuan itu tapi apa yang ia dapat? Hihihi. Penolakan secara tidak langsung. Karena setelah tawaran itu ia katakan, Iness tak pernah membalasnya lagi. Bukan hanya itu, akunnya pun diblokir Iness. Pilu sekali bukan? Ini sih sudah jelas membuatnya patah hati karena sudah ditolak mentah-mentah. Bahkan sekarang pun, sejujurnya ia urung mendekati Iness. Tapi, sejujurnya ia masih tertarik dan masih ingin mengejar gadis itu. Namun penolakan itu sangat berbekas. Ia tak pernah ditolak sedemikian parah oleh seorang gadis dan gadis itu satu-satunya yang melakukannya. Hingga akhirnya ia memilih untuk tenggelam dalam pekerjaan juga belajar tentang agamanya. Ia menarik nafas dalam lantas mencoba mengalihkan tatapannya ke arah luar. Kalau boleh memilih waktu, mungkin ia lebih suka jika disaat seperti ini ia dipertemukan dengan Iness bukan setahun lalu. Sehingga ia bisa memulainya dengan niat baik. Tapi yaa begitu lah. Ternyata Allah memang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya bukan? Jika ia tak mengalami kejadian ditolak Iness setahun lalu mungkin ia tak akan pernah berada di sini dan di titik ini. Nyatanya, melalui penolakan itu lah Allah seolah membuka jalan lebih mudah untuk meraih cinta-Nya untuk kemudian meraih cintanya. Tiba di dalam pesawat, ia duduk di dekat jendela sementara Iness duduk ouka di samping jendela. Iness berada jauh di depannya sementara ia berada di barisan bangku tengah-tengah pesawat. Ia menatap ke arah jendela selama hampir satu jam. Hanya termenung memikirkan perjalanan pulangnya. Ia hanya pulang sebentar ke Indonesia. Setelah itu, ia melanjutkan pekerjaannya di Belanda dan akan tinggal di sana sendirian? Mungkin. Tujuh jam penerbangan langsung telah menghantarkan mereka tiba di tanah air. Abizard menguap dengan menutup mulut sementara Iness baru saja menutup Qurannya. Mereka bersiap-siap karena pesawat akan segera mendarat. Tak lama, Iness sudah keluar terlebih dahulu sementara Abizard masih jauh di belakangnya. Saat menunggui bagasi, Abizard agak menutup diri. Ia masih bisa melihat Iness tapi Iness masih tak sadar bahkan tak berpikir kalau akan bertemu dengan lelaki itu bahkan satu pesawat dengannya. Abizard bukannya ingin menyembunyikan diri. Ia hanya berpikir mungkin Iness juga menghindarinya. Ini mengingatkannya pada kejadian beberapa hari yang lalu saat ia kehilangan jejak gadis itu. Ia benar-benar tak salah lihat. Ia yakin itu Iness. Bahkan Iness pun ada di depan matanya sekarang. Iness tampak terburu-buru. Tubuhnya terasa remuk, ia ingin cepat-cepat istirahat. Ia keluar lebih dahulu sementara Abizard baru saja mengambil kopernya. Ia menggeret kopernya menuju pintu keluar. Senyumnya mengembang melihat siapa yang datang menjemput. "Kak Abiii!" Tentu saja adik perempuannya juga Mamanya. Namun baru saja hendak membelok sedikit, ia terkaget ketika Iness yang seharusnya sudah berjalan jauh tiba-tiba ada di depannya. Gadis itu melupakan satu koper kecilnya. Padahal tadi petugas sudah mengingatkan kalau ia punya satu barang lagi untuk diambil. Namun ia malah terburu-buru pergi dan saat hendak masuk ke taksi, ia baru teringat. Lalu kini, saling menatap terpaku pada Abizard yang tampak kece dengan kacamata hitamnya. Sadar kalau sepertinya Abizard masih mengenali wajahnya, ia segera menunduk lantas melewati punggung lelaki itu dengan terburu-buru. Ia menghela nafas lega begitu agak menjauh. Saat ia menghentikan langkah, sejujurnya Abizard melihat ke arah punggungnya yang menjauh itu. Tapi waktu keduanya untuk saling bersitatap tidak tepat. Iness baru membalik badan saat Abizard memutuskan untuk melanjutkan langkah dan datang menghampiri adik perempuannya yang sedari tadi melompat-lompat. @@@ "Abi mana Tante?" "Oh, hai, Maudy! Ada di kamarnya!" Gadis yang disapa Maudy itu tersenyum. Kemudian ia dipersilahkan masuk. Sementara si Tante alias Mamanya Abizard memanggil anak lelakinya. "Abi! Ada Maudy di bawah!" serunya. Maudy terkekeh. Ia mengikuti langkah si Mama sampai ke dapur sembari menaruh beberapa makanan yang ia bawa. Ia tahu kalau Abizard sedang pulang. Perempuan yang pernah berpacaran lama dengan Abizard ini kebetulan sudah selesai menyelesaikan S2-nya di Harvard University dan telah kembali ke Indonesia sejak beberapa bulan yang lalu. Ia lama merantau ke Amerika. Yaa sejak memutuskan untuk melanjutkan kuliah sarjana di sana. Kening Abi mengerut. Ya, gadis itu memang sering kali menghubunginya akhir-akhir ini tapi ia tak menyangka kalau akan datang ke rumah. Terakhir, ia hanya membalas pesannya dengan seadanya saja karena menganggap kalau mereka hanya berteman. "Kamu masih sering berkomunikasi sama Abi?" tanya si Mama. Perempuan itu sangat berterima kasih karena Maudy sudah repot-repot membawa makanan ke rumah ini. Gadis cantik dan manis itu tersenyum lebar. "Jarang sih Tante," tuturnya. Kemudian dengan nada berbisik ia bertanya, "Abi punya pacar, Tante?" Si Mama tertawa. Ia hanya mengendikan bahu. Kalau dulu, Abi akan selalu bercerita tentang perempuan yang didekatinya. Tapi kini sudah tak pernah. "Masa sih, Tante?" tanyanya. Ia tentu tak percaya. Dengan wajah setampan itu, mana mungkin jomblo sih. Itu yang ada dikepalanya. "Kalau ada, sudah pasti dibawa ke rumah, Maudy." "Atau Abi sangat sibuk, Tan? Soalnya, tiap Maudy hubungi, dia jarang menanggapi. Bahkan setelah berhari-hari pesan Maudy baru dibalas." Si Mama terkekeh. Ia tak punya jawabannya. Barangkali anak lelakinya yang baru saja menuruni tangga itu punya jawabannya? Si Mama sih tak terlalu memerhatikan penampilan Abi karena sudah terbiasa sejak setahun terakhir. Tapi bagi Maudy, penampilan Abi tampak aneh. Cowok itu mengenakan baju koko dan sarung? Ia mengerjab-erjabkan matanya, ia tak salah lihat kan? "Ma, Abi ke masjid dulu," pamitnya yabg membuat Maudy ternganga sementara Mamanya hanya tersenyum kecil. Ia tak masalah dengan perubahan anaknya asal untuk kebaikan. Ia malah tersentil dengan perubahan Abi. Apalagi tiga bulan lalu, anak sulungnya itu mengatakan sesuatu hal yang sudah lama dipendam. Ia ingin sekali mengatakannya pada Mamanya ini tapi waktu yabg tepat barangkali memang tiga bulan lalu. Meski Mamanya masih belum bisa mengabulkannya. Anak sulungnya memintanya mengenakan kerudung. Hanya itu. Tapi membuatnya terenyuh hingga hampir menangis. Tahu alasannya Abi meminta Mamanya mengenakan kerudung? "Abi cuma gak mau Mama menjadi salah satu penghuni neraka yang pernah dilihat Nabi dalam perjalanan isra mi'raj-nya. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram." Perubahan Abi mungkin tak pesat-pesat amat. Tapi bagi sang Mama, sangat lah pesat semenjak Abi giat memperdalam agamanya. Ia bahkan belajar banyak melalui Abi dan berjanji akan segera mengenakan kerudung. "Abi!" Gadis itu ternyata mengejarnya. Abizard menoleh sebentar kemudian melanjutkan langkahnya lagi. Ia membuka pintu gerbang rumahnya. "Kamu kenapa?" tanyanya. Ia berjalan menjajagi Abizard. Lelaki itu tidak menoleh. Ia malah menatap lurus ke depan. "Kamu berubah banget." "Setiap orang berhak berubah, Dy." "I know. Tapi maksudku, kamu aneh," tuturnya. Ia tentu heran dengan Abizard yang sekarang. "Apa anehnya jika seseorang berubah untuk memperbaiki hidup dengan memperdalam agama?" Gadis itu menghela nafas. "Maksudku Ab--" "Berhenti lah, Dy. Kisah kita sudah lama selesai. Jangan mencoba untuk mengungkit kembali kuburan cinta yang telah berlalu." @@@ "Matiii akuuu! Aaaaaaaa!" teriaknya tak karuan. Ia nungging sembari menghempaskan kepalanya dari atas ke bawah saking frustasinya. Kesal saja karena sejak kejadian di Bandara siang tadi, ia sama sekali tak bisa melupakan lelaki itu. "Aish! Aish! Aish!" keluhnya. Benar-benar s**l, pikirnya. Ia berupaya menenangkan diri dengan beranjak dari atas tempat tidur kemudian berjalan menuju kulkas kecil di kamar hotel ia menginap. Ia meneguk air banyak-banyak lantas menghela nafas panjang. Pikirannya masih dipenuhi dengan Abizard. Astaga! Rasanya ia ingin sekali menggetuk-getuk kepalanya. Ia tidak mulai tertarik pada lelaki itu bukan? Karena kalau sampai itu terjadi, artinya ia tidak akan bisa move on secepat tikus berlari. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. Tidak-tidak, pikirnya. Ia tidak akan jatuh cinta pada lelaki itu apalagi hanya dengan seperti itu. Iya kaan? Iya-iya, yakinnya dalam hati. Namun sialnya, kenyataan hobi sekali mencandainya. Esoknya, ketika ia datang ke sebuah restoran untuk bertemu dengan teman lama malah dikagetkan dengan pertemuan anak-anak BEM di kampusnya dulu yang tampaknya sedang reuni. Ia ternganga tapi tak berkutik karena tangannya sudah ditarik salah satu gadis yang juga sahabatnya dan juga bagian dari reuni BEM itu. Ia kira hanya akan bertemu berdua. Ia kira begitu. Tapiiiii...... "Iness!" seru Arya dari kejauhan. Ia rasanya ingin menggeplak kepalanya yang dengan bodohnya menoleh ke arah Arya. Mana cowok itu duduk tepat di sebelah Abizard yang kini juga menoleh ke arahnya. Cowok itu baru menyadari kehadirannya sementara Iness sudah sedari awal tahu kalau ada cowok itu di sana. Cowok berkemeja biru laut, duduk dengan santai sambil sesekali terkekeh menanggapi candaan para sahabatnya. Iness mengeluh dalam hati, kenapa ia harus bertemu di sini? "Apa kabar?" tanya Arya. Iness berdeham. Ia memalingkan wajahnya dari Abizard. Cowok itu tampak santai saja dan tak terganggu dengan kehadirannya. Tapi ia sangat terganggu karena.....karenaaaaaa matanya tidak bisa berhenti berpaling dari lelaki itu. Huaaaaaa! "Baik, Yak," jawabnya lesu. Ia ditinggal Ziva yang malah pergi mengambil menu karena tak kunjung diantara kan oleh sang pelayan. Iness mengeluh dalam hati karena pertemuan tak terduga ini. Apalagi harus menanggapi basa-basi obrolan dengan Arya. Ia tak tampak antusias. Ia masih terganggu dengan sikap Abizard yang biasa-biasa saja padahal ia ada di sini. Lantas Abizard harus bersikap bagaimana dengan adanya ia di sini? Ia ingin sekali menepuk keningnya. Entah kenapa, ia agak merasa puas begitu melihat Abizard sama sekali tak menggubrisnya. Tapi kalau kata-kata itu dijadikan pertanyaan, kenapa Abizard harus menggubrisnya? Lagi-lagi, Iness ingin sekali menoyor kepalanya sendiri. Ia tak bisa berhenti menatap cowok itu tapi sialnya, cowok itu sama sekali tak perduli. Ia harus bagaimana? Uuurrrggghh! Menyebalkan sekali. "Lo kenapa dah?" Lama-lama Ziva heran melihat kelakuannya yang mirip cacing kepanasan gara-gara melihat mantan jalan bareng gebetan baru. Jadi sebal bin kesal begitu kan? Ziva menoleh ke arah tatapan Iness terarah tapi ia malah mengerutkan kening. "Lo gak suka sama Arya kan?" Iness yang baru saja meneguk minumannya langsung tersedak. Arya sudah kembali ke meja tongkrongannya bersama anak-anak BEM cowok di pojok sana. Sementara Ziva mengelus tengkuk Iness. Gadis itu masih terbatuk-batuk. Kemudian Ziva menyodori air putih padanya dan ia menyeruputnya hingga tersisa setengah. "Kenapa Arya sih?" Ziva terkekeh. Ia mengendikan bahu. Ia kan hanya tahu kalau Iness itu dekat sekali dengan Arya semenjak kuliah. Jadi ia pikir kalau Iness itu naksir alias punya rasa pada Arya. Begitu pun sebaliknya. Yaa, sejenis friendzone gitu menurut Ziva. Tapi ia juga bingung dengan keduanya. Apalagi ia mendengar kalau Arya punya pacar. Apakah ini yang disebut dengan cinta terlarang? Ziva tampak berpikir. Sepertinya bukan cinta terlarang. Tapi cinta yang tak mungkin. Karena punya rasa pada teman itu sangat lah sulit diungkapkan dan ada banyak hal yang harus dikorbankan. Karena setelah perasaan salah satunya terungkap, maka sudah dipastikan kalau tak terbalas maka persahabatan yang telah dibangun kokoh sekalipun pasti akan hancur seketika. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN