Lelaki Idaman : Part 2

2032 Kata
Hampir sebulan menjejak kaki di London, Frasya mulai terbiasa. Di minggu-minggu pertama ia agak khawatir. Ia memikirkan banyak hal. Takut tak punya teman, takut tak bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sini. Ia juga takut tak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. Tapi ternyata ketakutan itu jika dibarengi dengan doa jadi damai ya? Karena ternyata, London tidak semenakutkan itu. Kampusnya juga tak sesuram yang ia bayangkan. Maklum lah, rumor-rumor agama itu memang hal sensitif. Ia hanya takut kalau orang-orang menganggapnya sebagai salah satu teroris tapi ternyata tidak. Ada banyak mahasiswa yang memeluk agama Islam di kampus ini sehingga ia tak perlu takut. Dosen-dosen dan professor tidak feodal seperti yang ia pikir kan. Mereka justru sungguh toleran. Ada beberapa lelaki yang diperbolehkan untuk izin solat Jumat ketika kelas sedang berlangsung. Bukan kah itu keren? Bahkan Frasya punya dua teman dekat dalam satu bulan ini. Pertama bernama Farah dari Malaysia. Kedua bernama Yildiz dari Turki. "What time is it now, Far?" Farah melirik jam tangannya. "Almost five." "I think my watch is a few minutes slow," tutur Yildiz lantas sibuk mengatur jam ponselnya. Frasya sedari tadi sibuk memainkan pulpennya sambil sesekali melihat ke arah professor yang masih asyik berbicara di depan sana. "I think she feels happy now," bisik Fara. Frasya menahan tawa. Ia ingat minggu kemarin ketika mood dosennya sedang tidak baik, perempuan itu tak ingin berlama di kelas. Awalnya, ia hanya mengira itu kejadian biasa. Tapi kemudian, ia mendengar kabar tentang mood-nya yang suka berubah-ubah dari beberapa alumninya yang masih tinggal di London. Frasya kira hanya dosen-dosen di Indonesia yang mungkin bertingkah seperti itu. Ternyata, ia masih menemuinya di luar negeri. Haaaaah. Fara dan Yildiz kompak menghela nafas saat dosen itu keluar. Frasya terkekeh. Ia baru saja memberesi barang-barangnya. Ia harus segera pulang untuk mengerjakan tugas dan sepertinya akan lembur nanti malam. "Anyway, I'm off. I've got a busy night," pamitnya pada Fara dan Yildiz. Kedua orang itu hanya membalas lambaian tangannya ketika ia sudah masuk ke dalam bus terlebih dahulu. Ia mengambil duduk di dekat jendela kemudian membuka ponsel. Ia hampir lupa mengabarkan pada Ditto kalau ia tak bisa ikut rapat online dadakan nanti. Omong-omong, sahabatnya itu juga sedang menempuh S2 di Swedia. Jadi yang memegang startup hanya Zhafran yang dibantu oleh tim mereka tentunya. Ia tentu masih mengurus startup disela-sela kesibukannya. Belum lagi, proyek jurnal dosen yang datang bergelimpangan semenjak dosennya tahu kalau ia menerima beasiswa ke Inggris. Usai membalas sekaligus meminta izin pada Ditto keningnya mengerut melihat foto Rafandra muncul di dalam pemberitahuan i********:-nya. Ah iya, terakhir mengobrol dengan lelaki itu sempat berlanjut selama beberapa hari setelahnya di i********:. Lelaki itu hanya bertanya-tanya saja jadi Frasya hanya menjawab seadanya. Ia juga tak mau terlaku baper alias bawa perasaan hanya karena dikirimi pesan oleh lelaki itu. Anggap saja sebagai teman baru. Kapan lagi bisa punya teman sekece Rafandra? Frasya? Di London? Kebetulan saya akan ke London lusa nanti. Bisa ketemu? Aaaah. Frasya mengangguk-angguk. Pantas saja lelaki itu menghubunginya. Seingatnya, sudah sebulan mereka tak saling berhubungan. Lelaki itu tampak sibuk di Indonesia dan Frasya juga sibuk di Inggris. Oh. Boleh kalau saya ada waktu, Kak. Awalnya memanggil Mas tapi tak enak hati jadi Frasya mengganti panggilannya dengan 'Kak'. Anggap saja lelaki itu kakaknya yang memang lebih tua darinya sekitar....empat tahun? Lelaki itu memang sudah berusia 31 tahun dan belum menikah. Untuk persoalan status ini pun, Frasya tak tahu-menahu. Kalau Minggu masih sangat sibuk ya? Frasya tampak berpikir. Cepat juga dibalasnya, pikirnya. Kemudian ia melirik ponselnya. Yaaa, perkiraan di Indonesia masih siang. Mungkin sekitar jam sebelas siang. Mungkin bisa Ia memang tak bisa berjanji menilik menyelesaikan studi di sini sungguh tidak bisa bermain-main. Jadwal kuliah padat dan tugas yang selalu menggunung. Walau ini masih awal-awal kuliahnya. Tapi bukan kah agak berat karena ia harus menyelesaikan S2-nya dalam waktu setahun? Karena di Inggris, perkuliahan S2 untuk mahasiswa full time tentunya hanya setahun. Boleh minta nomor kamu? Frasya langsung mengirimi nomornya lantas membalas lagi. Nanti kalau saya sempat, saya akan samperin ya, Kak Oke @@@ "Iiih! Sumpah-sumpah! Siapa lo bilang? Kak Rafandra?!" Frasya memutar bola matanya hingga juling. Ia sudah berkali-kali bilang kalau akan bertemu lelaki itu. Dan tentunya, ia tak bisa dan tak mau datang sendiri. Ia juga sudah bilang pada Rafandra kalau akan mengajak temannya. Lelaki itu tak mempermasalahkan. Dan sahabat barunya ini heboh sekali. Padahal kemarin-kemarin ia dicueki. Katanya tak mau menemaninya karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Eeeh setelah dibujuk dengan membawa nama Rafandra langsung mau! "Aaaaa! Yang beneeeeer???" serunya bahkan susah menarik-narik lengan Frasya. Gadis itu hanya mendengus. "Makanya buruan siap-siap! Gue tunggu setengah jam lagi udah siap loh!" tukasnya yang membuat Hanna nyengir lantas segera masuk ke kamar mandi. Frasya geleng-geleng kepala. Setengah jam kemudian, ia kembali menghampiri flat Hanna. Dan betapa kagetnya, ia melihat gadis itu sudah benar-benar siap. Ia kira, ia akan melihat Hanna yang mungkin baru keluar dari kamar mandi mengingat gadis itu begitu lama jika urusannya dengan dandan. Tapi ternyata nama Rafandra membuat pengaruh besar. Tak lama, keduanya sudah keluar. Frasya mengajaknya untuk naik bus merah London menuju Trafalgar Square. Assalamualaikum, Frasya. Saya tunggu di depan National Gallery ya Itu pesan dari Rafandra. Frasya segera membalasnya dengan melapor kalau mereka akan tiba dalam sepuluh menit. Toh jarak flat-nya ke sana memang tak terlalu jauh. Dengan menaiki bus hanya 15 menit saja. Tak lama, ia dan Hanna turun dari bus kemudian langsung berjalan menuju National Gallery yang memang terletak di sekitar Trafalgar Square. Trafalgar Square ini sejenis alun-alun di Indonesia dan dikelilingi beberapa tempat wisata menarik di London juga selalu ramai dikunjungi baik oleh wisawatan lokal maupun luar negeri. Dari kejauhan Frasya sudah melihat sosok Rafandra yang tampak kece dengan kacamata hitamnya. Namun saat matanya Frasya menyipit.... "Eh! Eh! Fra! Ada emaknya juga?" tanya Hanna. Frasya juga baru tahu. Ia kira kalau Rafandra datang sendirian. Lalu tak lama, lelaki itu juga melihatnya. Senyumannya melebar dan tangannya segera melambai. Mau tak mau, Frasya melanjutkan langkahnya lantas menyeberangi jalan. Ia tentu kaget melihat ada ibu dari Rafandra juga. "Ini, Ma, Frasya," kenal Rafandra. Frasya mengulurkan tangannya, menyalami ibu dari Rafandra itu. Kemudian ia memperkenalkan Hanna. Obrolan pun dimulai dari kegiatan harian Frasya selama di London. Ibunya lelaki itu banyak bertanya tentangnya. Bahkan tangannya terus digandeng selama berjalan-jalan dari National Gallery hingga Leicester Square yang letaknya tepat di belakang National Gallery. Kadang diselingi dengan tawa juga berfoto ria dengan pengambilan foto selfie. "Jadi nak Frasya aslanya dari mana?" "Palembang, Ibu," jawabnya dengan sopan. Perempuan itu mengangguk-angguk. "Om-nya Rafan juga ada yang dari Palembang. Iya kan, Raf?" Rafandra mengangguk-angguk. "Tante saya nikah sama si Om. Asalnya dari Banyuasin, Frasya." Frasya mengangguk-angguk. Ia kembali ditanya asal daerah tinggalnya. "Ogan Ilir, Ibu." Kemudian cerita dilanjutkan dengan latar belakang keluarga Frasya. Ia lebih banyak menjawab dibanding ditanya-tanya begitu. Setengah jam kemudian, Rafandra mengajak mereka untuk berhenti di salah satu restoran di kawasan Chinatown, letaknya di utara jika berangkat dari Leicester Square. Restoran halal yang ternyata menjadi tempat favorit Rafandra ketika mengunjungi London. "Kemarin itu ada acara di kedutaan. Kirain kalian pada ikut," tutur Rafandra. Frasya sih tahu kalau ada acara tapi ia tak tahu kalau Rafandra diundang di sana. Dan ternyata, lelaki itu juga diundang ke kerajaan Inggris dan bertemu Pangeran William di sana. Hanna sih tahu tapi ia juga tak tahu kalau Rafandra juga diundang ke kedutaan. Sedangkan ibunya Rafandra baru saja pamit ke kamar mandi. "Kamu kuliahnya di mana tadi, Han?" tanya Rafandra. Hanna mendumel dalam hati. Seingatnya, ia sudah menyebutkannya beberapa kali tapi tampaknya tidak didengar. Ia sadar sih kalau sedari datang tadi, Rafandra dan ibunya malah fokus sekali pada Frasya. Ia bukannya iri. Tentu saja bukan. Hanya saja merasa aneh.... "Saya di University of London, Kak." Aaah. Rafandra mengangguk-angguk. Ia bertanya lagi apakah Hanna juga mendapat beasiswa tapi gadis itu menggeleng. Ia mengaku kuliah sambil bekerja. Rafandra lantas memujinya. Katanya sangat sulit untuk bisa kuliah di luar negeri sambil bekerja tanpa beasiswa. Karena biaya kuliah yang tentunya mahal apalagi di London. Dan caranya memuji Hanna yang pekerja keras membuat penilaian tersendiri bagi Frasya. Maksudnya, kepribadian lelaki itu benar-benar baik. Dan rasanya tak etis kalau ia hanya melihat sisi pacaran dari lelaki itu. @@@ Usai makan, mereka sempat berfoto-foto sebentar. Kali ini meminta tolong pada pelayan restoran. Setelah itu, mereka keluar dan berjalan kembali menuju National Gallery. Tadinya, Frasya dan Hanna hendak pamit pulang dengan menaiki bus tapi Rafandra dan ibunya mengotot untuk mengantar mereka dengan mobil yang disewa Rafandra. Dengan terpaksa, keduanya ikut masuk ke dalam mobil itu. Tak enak hati pula jika masih menolak. Frasya hanya merasa sungkan mengingat ia bahkan tak akrab-akrab sekali dengan Rafandra. Bahkan terasa aneh dengan pertemuan ini. Ada ibunya pula! Bah! Tapi ya sudah lah, ia mencoba menikmati. Namanya juga menjalin silaturahmi. Iya kan? "Jadi besok sudah kembali kuliah, Frasya?" tanya ibunya lelaki itu. "Iya, Tante." "Yaah. Padahal besok, Ibu dan Rafan akan pulang loh." "Oh. Naik pesawat jam berapa, Bu?" "Pagi, Nak. Soalnya Rafan ada kerjaan lagi. Yaa begitu lah, Nak, sibuknya anak ibu itu sampai lupa cari istri," tuturnya yang juga menggerutu. Hal yang membuat Rafandra terkekeh mendengarnya. Ia sudah biasa mendengar keluhan itu. "Lah? Bukannya Kak Rafan punya pacar, Bu?" ceplos Hanna. Kata-katanya membuat ibunya si Rafandra menjadi bungkam. Sementara Rafandra berdeham. Ia segera membelokan mobil masuk ke area lobi gedung apartemen Hanna dan Frasya. Hanna melirik tak enak hati pada keduanya kemudian bermain mata dengan Frasya. Frasya juga tak tahu kenapa suasananya agak tegang seperti ini. "Pamit ya, Bu," tutur Frasya. Ia hendak menyalami perempuan itu tapi tangannya malah digenggam. Ia menatap linglung sementara Rafandra menggaruk tengkuk. Agak-agak gugup dengan apa yang akan dilakukan ibunya pada Frasya. "Ibu bawakan sesuatu buat kamu," tuturnya lantas mengambil gelang yang dibelinya di dekat Trafalgar Square. Gelang itu dibeli sebelum Frasya dan Hanna tiba. Dan kini, gelang itu langsung dipakaikan ke pergelangan tangan Frasya. Gadis itu berdeham. Ia tak enak hati menolaknya. "Makasih loh, sudah mau menemani Ibu dan Rafandra jalan-jalan hari ini," tuturnya dengan senyuman. Frasya membalasnya dengan senyuman. Ia yang seharusnya berterima kasih karena sudah diajak jalan-jalan hingga ditraktir makan malam. Lumayan kan, mengirit uang makan, hihihi! Saat mobil yang dikendarai Rafandra keluar dari area gedung, Hanna menyenggol bahu Frasya. Keduanya baru saja membalik badan dan berjalan masuk menuju lift. "Lo gak bilang kalau ada ibunya juga!" keluhnya. "Gue mana tauk!" Hanna terkekeh. Ia kembali menyenggol bahu Frasya ketika mereka hendak masuk ke dalam lift. "Lo merasa aneh gak sih dengan pertemuan ini?" Frasya menghela nafas. Ia mencoba untuk tidak berprasangka apapun atas apa yang terjadi hari ini walau itu sulit. Apalagi dengan kata-kata yang dikeluarkan okeh Hanna berikutnya.... "Gue merasa Kak Rafan suka sama lo." "Gak mungkin lah, Han!" ia langsung menyangkal. Hanna terkekeh melihat wajah panik milik Frasya. "Gak apa-apa kali, Fra! Kapan lagi coba dapat cowok sekeren itu? Udah ganteng, manis, pinter, mapan, CEO pula!" Frasya menghembus nafas keras. Ia sama sekali tak memikirkan itu. Ia justru tidak mau menduga-duga apapun. Toh sepertinya, ini hanya pertemuan biasa. "Ibunya juga kayaknya suka deh sama lo!" "Ngomong apa sih?!" Hanna terbahak. Ia kan hanya berbicara yangs sebenarnya. Walau ia juga masih menduga-duga. Namun dugaan ini bisa jadi sangat benar. Apalagi saat hendak tidur, Frasya baru membaca pesan dari ibunya Rafandra. Assalamualaikum, Frasya. Ini ibunya Rafan, kapan-kapan kalau ibu datang lagi ke London, temani jalan-jalan ya. Oh iya, Nak, tadi ibu lupa mau ngasih kamu oleh-oleh dari Indonesia. Ibu bawa rendang yang divakum untuk kamu. Besok, pagi-pagi sekali, bisa ketemu kamu lagi di apartemen kamu? Sebelum ibu dan Rafan berangkat ke bandara? Memangnya Frasya punya alasan untuk menolak? Toh perkuliahannya dimulai agak siang. Meski tugasnya tetap sudah harus dikumpulkan sebelum jam perkuliahan dimulai. Dengan cekatan, ia membalas pesan itu. Besok paginya, ia sudah terburu-buru keluar menuju lobi. Begitu keluar dari lift, ia melihat ibu dan anak itu menunggunya. Ia banyak sekali mengucapkan terima kasih karena dibawakan makanan dari Indonesia. Juga sangat berterima kasih dengan pelukan yang diberikan ibu Rafandra padanya. Ia memang rindu pelukan seorang ibu. Maklum lah, selama setahun ini mungkin ia tak akan bisa kembali ke Indonesia. Ia melambaikan tangan usai terlalu dengan kata-kata terakhir yang diucapkan oleh ibunya Rafandra. Apa katanya? "Nanti kami boleh main ke rumah orangtuamu, Nak?" Memang kalimat itu terdengar sederhana. Tapi Frasya tak merasa begitu. Ia merasa begitu berbeda. Apalagi saat tak sengaja melirik Rafandra yang tampak menahan kegugupannya. Ia hanya merasa aneh dengan semua yang terjadi tiba-tiba ini. Kenapa disaat ia sudah berhenti meminta sosok Rafandra di dalam doanya, Allah justru mengabulkannya? Mengabulkan tentang seseorang yang pernah menjadi lelaki idaman dihatinya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN