Abijar POV.
"Jadi ke mana pulangnya?" tanyaku pada Rindu. Saat ini kita sedang berada di dalam mobil. Di luar hujan lumayan deras, sehingga suaranya aga berisik.
"Ke kosan bunda." jawabnya.
"Lo ngekos di sana?"
"Iya."
"Ko enggak pernah bilang?"
"Lo juga enggak pernah tanya kan?"
Aku terkekeh. "Btw kalau enggak dipaksa, lo kayanya enggak bakalan pulang ya. Soalnya hujan enggak berhenti berhenti tuh." ucapku.
Dia menatap jauh ke depan. "Padahal gue ada niatan buat hujan hujanan tahu."
"Kenapa? ngapain? kalau sakit kan lo nanti enggak bisa sekolah."
"Kalau sakit, gue bakal pulang. Jadi bakal deket sama mamah."
Aku terdiam untuk beberapa saat. Mendengar kalimatnya membuatku tersenyuh. "Jauh banget apa dari sini rumahnya?"
"Ada lah tiga jam kalau naik mobil."
"Jauh juga ya? bagaimana kalau ke rumah gue aja?"
"Eh, ngapain?"
"Ketemu Mamah gue lah. Siapa tahu rasa kangen lo hilang. Mamah gue itu baik banget tahu, dia pasti bakal suka sama lo."
"Eh, enggak ah, enggak mau!"
"Kenapa?"
"Pokoknya enggak mau aja."
"Ayolah, dari pada lo di kosan sendiri."
"Enggak sendiri ko, ada Bu kosan."
"Oh, jadi kamu dekat juga sama Ibu kosannya."
"Kita udah kaya keluarga."
"Wah, syukur deh."
Kami pun sama sama terdiam, karena mulai kehilangan bahan pembicaraan. Sementara aku memang masih sangat ingin mengobrol dengannya.
"Eh, kita mau ke mana?" Rindu bertanya dengan kaget. Karena aku membelokan mobil yang aku bawa ke arah rumahku. "Jalanku yang tadi, Bi!" dia menunjuk ke arah sebuah g**g yang baru saja dilewati.
"Kan gue bilang mau ke rumah gue!"
"Iks, kan gue bilang enggak mau!"
"Kenapa sih? lo takut ya gue apa apain?"
"Dih, enggak mikir gitu. Gue cuma enggak ada tujuan ke rumah lo. Mau ngapain coba?"
"Kan gue udah bilang, mau kenalan sama mamah gue!"
"Enggak, ah, enggak mau! lagian gue tuh bukan siapa siapa loh! ngapain juga pake harus kenal sama nyokap lo?"
"Dih, gitu banget. Harus banget ya ada apa dulu, baru mau diajak ke rumah. Emang lo mau punya hubungan sama gue?"
"Ah, lo banyak omong! cepetan hentiin mobilnya! kosan gue udah jauh!" Dia membuka pintu mobil, disaat aku masih saja mengendarainya. Sehingga yang terjadi adalah aku menariknya.
"Diem dulu, Rindu! nanti kenapa napa coba!" terpaksa ku hentikan mobil ini, karena takut gadis itu lompat. Benar benar membuat jantungku seperti mau loncat dari tempatnya.
Sebelum ku buka semua pintu, ku tatap lekat gadis itu karena merasa gemas. "Menyebalkan!" gumamku.
Dan dia hanya memutar kedua bola matanya dengan cuek. Dia membuka pintu, membuatku sekali lagi menahannya. "Rindu tunggu dulu! biar gue anterin ke tempat yang tadi!" cegahku.
"Ih, enggak usah. Deket ko,"
"Tapi masih hujan!"
"Alaaah, hujan kecil ko. Gue dari kecil sering ikut nyokap ke sawah. Hujan kaya gini mah udah biasa. Gue enggak akan sakit." dia membuka pintu mobil, lalu keluar dan membuatku merasa kehilangan.
"Gue pulang dulu yah!" dia melambaikan tangan, lalu lari ke arah g**g yang tadi. Aku hanya terpaku melihatnya. Entah kenapa rasanya begitu kosong setelah kepergiannya.
***
Keesokan harinya, aku melihat Rindu bersin bersin dengan menyeka hidungnya oleh tisu. Dia hanya tersenyum melewatiku begitu saja. Dia membawa paper bag lalu masuk ke dalam kelasku.
"kenapa lo?" tanya salah satu teman kelasku. Rindu hanya menggeleng pelan masa bodo, lalu membagikan kosmetik yang ia bawa.
"Nih, ya. Gue udah bawa semua kosmetik lo! hari ini DP lima puluh persen. Kalau enggak ada DP nya! gue bawa lagi nih kosmetik!" Dia terlihat tegas dan mengancam.
Membuat para gadis itu tergelak. "Ya ampun! lo mau bikin gue melarat ya Rindu!" sahut salah satu gadis itu, lalu mengambil salah satu kosmetik.
Rindu terkekeh geli, dengan menyeka hidungnya, lalu bersin.
"Wah! lo kena virus ya? awas korona tuh!" ledek temanku, membuat Rindu mendekat padanya dan seolah sedang membagikan virus oleh mulutnya.
"Nih, gue kasih virusnya!" ujarnya. Tentu saja para gadis itu menghindar dengan tatapan membunuh. Rindu menanggapi itu dengan santai.
"Udah cepetan ah, DPnya. Gue mau pergi nih!" dia terlihat menagih satu persatu para gadis yang mengambil kosmetik baru itu.
"Iya, ya ampun. Dasar rentenir!" ketus salah satu gadis itu.
Rindu tersenyum setelah mendapatkan DP dari mereka. Lalu membuat beberapa lembaran uang itu menjadi sebuah kipas, lantas ia pun mengipaskan benda itu ke wajahnya. "Gue udah jadi bos kan, sekarang?" ujarnya dengan gaya ala ala Bos perempuan.
Malah di tanggapi dengan para gadis itu yang bergidik ngeri. "Serem lo!" ujarnya. Lalu Rindu pun segera keluar dari kelasku, setelah selesai melakukan transaksi.
Aku hanya melihatnya dengan senyuman samar. Dia hebat sekali, dan jujur saja aku mengaguminya.
Dia kembali melewati, namun aku memanggilnya. "Lo enggak mau ngasih barang lagi ke gue?" tanyaku.
"Lo mau jualin kosmetik gue lagi?" tanya nya. Dan aku mengangguk.
"Buat apa? lo kayanya bukan orang yang keliatan butuh duit deh,"
"Ya, gue seneng aja bantu lo. Maksud gue, kaya kemarin kemarin itu. Biar poin lo naik terus."
"Gausah deh, gue kayanya lebih seneng kalau dapet poin karena gue sendiri yang berjuang. Makasih ya, untuk yang kemarin kemarin."
"Tapi kenapa emangnya? ada aturan harus dijual sendiri gitu?"
"Enggak juga, cuma kan lo juga dapetnya sedikit kalau ngambil dari gue. Kalau mau, lo langsung ngambil ke pabriknya aja, kaya gue. Jadi untung lo juga lumayan kan?"
Aku terdiam, semua yang aku usahakan pasti sia sia kalau seperti ini. Rindu saja tidak suka aku membantunya. Bagaimana bisa aku terus dekat dengannya kalau begini.
"Eh, gara gara kehujanan kemarin, lo sakit kan?"
Beruntung aku punya ide obrolan lagi. Sehingga dia mau melangkah pun menjadi terhenti kembali. "Ah, sedikit lah. Anggap aja gue lagi buang debu dari hidung gue."
Dan setiap penyangkalan tegar yang ia utarakan adalah sebuah bukti nyata kalau Rindu memang seorang gadis yang kuat dan mandiri. Membuatku merasa cemas. Aku takut kalau dia tidak lagi membutuhkan seseorang untuk berada si sampingnya, sehingga kesempatan untuku pun akan hilang.
"Tapi itu takutnya nanti meriang loh. Minum obat aja. Loh masih harus belajar sampai siang kan?"
"Kecil lah. Gue udah biasa kaya gini. Yaudah, gue ke kelas dulu ya. Dari sini jaraknya agak agak jauh gimana gitu."
Dia pun pergi dengan langkah cepatnya. Aneh, katanya sedang flu. Seharusnya ia meriang, mengingat wajahnya yang agak agak pucat lelah. Tapi gadis itu ..., dia sangat hebat.
"Si Rindu lagi flu kayanya. Tisunya ketinggalan!" temen sekelasku berbicara padaku dengan tisu ditangannya.
"Eh, sini. Biar gue kasih ke dia!" kesempatan jangan dilewatkan. Aku pun segera meluncur mengejar gadis itu, setelah merebut tisu dari teman sekelasku. Dan aku yakin sekali, bahwa teman ku ini melongo melihatku berlari tidak jelas seperti ini.
Terus berlari namun tidak mendapatkan jejaknya. Kala sebuah suara di balik tembok itu membuat langkah ini terhenti.
"Kamu kenapa bersin terus? flu bukan?" seorang lelaki berkata, dan membuatku penasaran. Kudapati temannya Dilan yang bernama pian itu sedang berdiri di depannya Rindu.
"Oh, biasa lah!" jawab Rindu cuek.
"Jangan dibiasain. Ini obat di minum ya? bahaya tahu," tanpa basa basi, lelaki itu meletakan obat di telapak tangannya Rindu. Membuat gadis itu mengerjap belum bisa menolak.
"Eh, tapi--"
"Jaga diri ya! Aku ke kelas dulu." Lelaki itu pergi, setelah mengusap puncak kepalanya lembut. Rindu sepertinya masih saja belum sadar oleh perlakuan manis itu. Atau kah dia memang seolah terhipnotis olehnya?
Dia terdiam dengan menatap kantong kecil yang entah apa isinya. Dia mengambil satu persatu benda yang ada di dalamnya. Ada obat dan tisu.
Melihat gadis itu menerima semua pemberian Pian. Aku mendadak meremas kuat tisu di tangan ini.
Ah, entahlah. Aku bukan siapa siapa dia. Aku hanya seorang lelaki yang sedang mengaguminya. Rasa sesak ini, aku pun tidak tahu kenapa tiba tiba hadir.
Menghela napas dengan perlahan membalikan tubuh ini, aku hampir melangkah. Namun Rindu sepertinya menyadari keberadaanku.
"Hey, lo ngapain di situ? lo mau ketemu gue bukan?" dia bertanya. Aku terdiam namun tak kuasa menoleh padanya.
"Enggak ko, gue cuma mau ke toilet aja!" kataku, lalu melanjutkan langkah.