Lima

1968 Kata
Kebayang enggak sih, orang yang seharusnya menjadi Abang ipar kamu malah jadi suamimu? Ini tuh awkward banget. Untung saja aku kenal lama dengan Elang, sehingga kecanggungan itu terpangkas rapi. Kami sedang menunggu Pesawat yang akan membawa kami terbang ke Okinawa. Salah satu Kepulauan yang memiliki banyak objek wisata di Jepang. Saat Mama mengatakan bahwa tiket bulan madu ini adalah hadiah darinya dan papa, aku menepis pemikiran bahwa Okinawa adalah tujuan awal Bulan Madu Elang dan Alya, kalau mereka jadi menikah. Mestinya. Karena Alya penyuka pantai - pantai, sedangkan aku lebih memilih daerah pegunungan dan dingin. Jangan tanya kenapa, tentu saja karena kulitku tidak seputih Elang dan Alya. Biar cowok begitu, Elang memiliki kulit seputih member Boyband Exo. Kalau saja gayanya tidak terlalu macho, mungkin aku akan mengira dirinya homo. Kesannya, perawatan dia tuh full package banget gitu. Tapi kalau melihat tante Rianti yang memiliki darah Manado sih, enggak heran kalau Elang dan Merpati memiliki kulit bersinar yang memukau. Sedangkan kedua kakaknya, berkulit ya standar Indonesia gitu. Kuning langsat agak sawo matang, mirip ayahnya. By the way, semalam kami tidur seranjang. SE-RAN-JANG! Oh no, bangun - bangun aku langsung memeriksa bagian kewanitaanku, takutnya tanpa sadar kami melakukan hal itu. Aku merinding disko membayangkannya. Terus lagi, begitu masuk kamar mandi aku malah mual gila - gilaan. Jangan - jangan? "Mas, ngaku! Semalam kamu ngapain aku?" Elang mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, ke wajahku. "Ngapain kamu? Enggak ngapa – ngapain. Tidurnya aja jauhan gitu." Aku memicingkan mata curiga, "jangan bohong! Tadi pagi aku mual - mual, jangan bilang kamu sudah menanamkan benih di rahimku?" Elang menatapku ngeri. "Happy, kalaupun semalam kita make love, ya enggak secepat itu jadinya. Memang dikira buat mie instan, digodok langsung matang. Ada adegan kejar - kejaran antar jutaan s****a untuk membuahi satu sel telur kamu." Aku menutup telinga. Masih kedengeran sih sedikit, tapi ya ampun, ini kan ruang tunggu bandara. Dia ngomong enak banget, aku tengok kanan kiri khawatir ada yang mendengar percakapan rahasia kita. "Belum lagi, proses pembuahan itu. Yang jelas enggak terjadi hanya satu malam, ka--" "Stop! Iya udah, percaya!" Sungutku, memutus percakapan. Elang tertawa, tangan besarnya mengelus rambutku. "Lagipula, kamu pasti bisa membedakan. Itupun kalau kamu masih perawan ya--" Aku melotot padanya, dia cengengesan. "Maaf. Pasti berbeda lah, Py. Ada rasa mengganjal atau bercak darah mungkin." Aku memundurkan kepala, menatapnya penuh selidik, "hayo pernah merawanin anak orang ya? Siapa?" Elang mengibaskan tangannya cepat, "enak aja kamu! Su'udzon itu namanya, Py." Jangan - jangan, Alya? "Beneran?" Aku mendekatkan wajah padanya, menaik turunkan alisku. "Aku cium ya?" Serta merta kudorong wajahnya menjauh, "asyeeeeem!" Kemudian, kusadari beberapa pasang mata memperhatikan kami. Sementara Elang terbahak dengan posisinya yang hampir jatuh terjungkal ke belakang. Untung ada tasku yang menahan badannya. Aku merenggut kesal, Elang menghentikkan tawanya sambil meminta maaf. "Habis muka kamu lagi deket begitu, lucu. Apalagi bibir kamu, kalau kata Merpati tuh, cipok-able." What??!! Wajahku memanas, sialan! Mengalihkan pembicaraan, aku mengungkit Alya. "Mas Elang kok, kayak biasa aja sih Alya nya kabur? Enggak nangis - nangis Bombay, atau drama gitu kek di f*******:. Atau buat story or streaming di IG mencari kekasih yang hilang gitu." Wajah Elang berubah sendu, duh jadi enggak enak. "Sebenarnya aku punya firasat tentang ini, tapi kamu enggak apa - apa kalau aku cerita?" Aku mengangguk, emang aku akan kenapa? "Lumayan. Sambil nunggu pesawat." Elang mengelus kepalaku. "Tiga tahun belakangan, Alya mulai bersikap dingin padaku, Py. Gimana ya, aku jadi merasa selama ini Alya hanya menganggap aku seperti Kakaknya. Sandaran dia bercerita dan segala macamnya, enggak lebih. Sampai pada tiga tahun lalu, aku mengajaknya berlibur ke Lombok tapi jawaban Alya tidak seantusias biasanya." Elang menatapku lama, aku mengangkat alis bertanya. Kemudian dia menghembuskan napas dan melanjutkan ceritanya. "Awalnya kukira dia cuma sedang capek atau apa, hingga tingkahnya semakin hari semakin menjauh. Alya hanya akan bersikap mesra jika di depan kalian, Orangtuaku, orangtua kamu. Kalau cuma berdua, dia akan menjauh. Dari situ aku punya firasat bahwa Alya memiliki seseorang yang lain. Yang kita tidak tahu." "Tapi, kenapa Mas Elang cuma ambil kesimpulan aja? Enggak pernah tanya langsung ke Alya?" Kekepoanku keluar. Elang tersenyum sedih, hatiku ikut sedih melihat wajahnya sekarang. "Karena akhirnya Alya mengatakan, bahwa dekat denganku untuk Mama dan Papa. Bukan murni keinginan dia." Tanpa sadar aku meremas tangan Elang. Kasihan, cintanya bertepuk sebelah tangan. "Tapi saat itu, dia bilang rela mengorbankan kebahagiaannya demi orangtua kalian, meskipun pada akhirnya dia menyerah pada perasaannya. Dia memilih pergi untuk memantapkan hatinya, untuk menunjukkan pada siapa cintanya tertuju." "Alya kok begitu ya, kukira dia selama ini cukup bodoh untuk mengikuti segala keinginan Mama. Tapi ternyata, dia lebih bodoh karena memupuk harapan lalu mencabutnya dengan kejam." Elang tersenyum, "karena kamu tidak bisa memaksakan untuk siapa hatimu jatuh, Happy." "Terus, perasaan Mas Elang sekarang gimana?" Tanganku masih menggenggam tangannya, hingga gerakan Elang yang mempereratnya membuatku sadar bahwa dari tadi aku seperti anak yang takut ketinggalan ayahnya. "Kecewa, jelas. Tapi, aku laki - laki, Py. Gengsiku tidak mengizinkan untuk meratapi kepergiannya dan pernikahan ini, pernikahan kita, bentuk ibadah dan baktiku pada ayah dan mami. Sedikitpun aku tidak menyesal." Aku mencibir, karena baru sehari aja lo bilang begitu. Coba hidup sama gue minimal setahun aja, kalau enggak nyerah kayak teman - teman gue di masa silam, gue kasih hati gue buat lo. "Terus, kenapa pertama kali papa bilang aku akan menggantikan Alya, wajah Mas Elang enggak terima gitu?" Tantangku. Dia terpingkal, lalu mencubit pipiku. "Masa kamu enggak ngerti? Selama ini aku melihat kamu seperti Mer, seperti adik sendiri. Aneh rasanya mendengar aku akan menikah dengan orang yang kuanggap adik. Seperti mendengar tentang pernikahan aku dan Mer." Mer -- Merpati, adiknya. Aku menggaruk belakang telinga yang sama sekali tidak gatal. "Oh gitu, kirain ogah nikah sama aku." Kali ini, tangan besar Elang mengelus tanganku dengan lembut. "Bukan enggak mau, semuanya sangat tiba - tiba. Seperti yang barusan kubilang, seperti disuruh menikah dengan Mer. Agak aneh rasanya." Aku ber-ooh ria. Asyik juga Elang diajak bicara. Kami pun terlibat dalam segala macam obrolan dari ketika nama kami dipanggil untuk segera memasuki Pesawat hingga landing di Jepang. Kukira, cuma Bowo yang bisa memahami kegilaanku. Ternyata Elang juga. Dia, tidak kalah gila. Kami tiba di kota Naha, kota yang sering disebut sebagai kembaran ibukota Hawaii, Honolulu. Bukan cuma karena kedua kota ini memiliki iklim dan geografi yang mirip, tapi juga karena Naha mewadahi beberapa markas militer AS dan sebagian besar angkatan bersenjata AS yang ditempatkan di Jepang, yang artinya bahasa Inggris terdengar hampir sesering bahasa Jepang di kota ini. Ya seperti Bali lah kalau di Indonesia, english everywhere. Atau mungkin seperti kampung Inggris di Pare, Kediri. Hehehe. *** Kami juga dapat menikmati perpaduan menarik budaya Jepang, Amerika, dan Ryukyu dalam hal makanan. Elang mengajakku mencicipi nasi taco dan spam musubi. Beberapa pantai mudah dicapai dengan transportasi umum, termasuk Manza, Moon, dan Zampa Beach, tapi please deh, kita berdua kan pewaris (enggak tunggal sih) dari duet Perusahaan besar AHA Express dan GG Cargo, jadi mana mungkin kita naik transportasi umum. Elang menyewa sebuah mobil convertible warna merah yang unyu. Hari kedua, kami mengunjungi Fukushu-en Park yang mudah dijangkau dari kawasan pusat kota. Kebun Cina tradisional ini, konon dibangun pada tahun 1992 untuk menghormati kota kembar Fuzhou, Cina, dan tebak, kita masuk gratis disini! Duh, sisi cinta gratisanku suka meletup - letup deh kalau kayak gini. Tempat ini juga menawarkan banyak tempat menyepi dan teduh, air terjun yang menenangkan, serta lintasan berubin batu untuk berjalan – jalan sambil berpegangan tangan. Aku membuat kami berdua kelelahan dan hanya tidur ketika kembali ke kamar hotel. Sejujurnya, aku masih takut diminta melakukan itu sama Elang. Maklum, anak perawan masih polos banget ini, Kakak. Keesokan harinya, kami pun bermain dengan kawanan ikan. Menyusuri pesisir ke Churaumi Aquarium, yang dianggap terbaik di Jepang. Salah satu akuarium terbesar di dunia, cukup untuk menampung Hiu Paus, Pari Manta, dan genk arisannya. Selain pameran akuarium biasa, terdapat pula tangki sentuh dan arena luar ruang untuk pertunjukan lumba – lumba dan singa laut. Aaahh aku suka pemandangan bawah lautnya. Elang sampai beberapa kali mengambil gambarku yang memandang takjub pada kehidupan bawah laut itu. Hingga hari keempat di sini, Elang mengeluh kecapekan dan memintaku untuk stay di hotel saja seharian. Aku panik. Namaku bukan Baim, tapi please tolong aku yaa Allah. Bukannya enggak mau berbakti pada suami, tapi aku belum siap. Apalagi, aku pernah mendengar cerita anak - anak GA saat malam pertama. Duuh. Anita cerita, ia harus berjalan jegang selama seminggu karena sakitnya malam pertama. Perutku mules, membayangkannya. Ada lagi cerita Marini, yang katanya harus menahan perih karena tidak bisa membasahi organ kewanitaannya. Aduuuhh. Happy takut ih. "Py--" Bulu kudukku meremang karena sentuhan Elang di pahaku yang masih terbalut jeans. "Ii--iya?" "Mau nonton film apa? Kita nonton aja hari ini ya, aku sekalian nge-cek-in email yang masuk." "Uhm, apa aja. Bebas." Jawabku, dengan jantung dag dig dug. Elang membuka laptop-nya. Iya laptop, jaman udah canggih dengan adanya tablet, iMac bahkan iPhone saja seingat otak gemilangku, sudah memiliki fitur email tapi dia tetap membawa laptop. Helloooooo. Kutengok layarnya, ternyata dia sedang mencari film. Kulihat ada film berjudul The Vow. Kutunjuk saja dengan asal, Elang tersenyum dan memutar film yang kupilihkan. Kami bersandar dengan bantal yang ditumpuk tinggi, bersebelahan. Seperti jaman aku SMP saat mengerjakan tugas bersama Vika dulu, tapi malah berujung menonton kaset Spiderman 1 yang masih jaman Tobey pemeran utamanya. Film diputar sampai pada bagian, oh s**t! Ini canggung, melihat Channing Tatum memagut mesra bibir lawan mainnya bersama suami yang disuguhkan padamu karena calon pengantin wanitanya kabur, itu sungguh double s**t awkward. Dan adegan itu, Mamaaahhhh. Adegan mereka, aarrgghhhh--- Aku segera mengambil alih laptop dan menutup layarnya. "Kenapa, Py?" Elang menatapku bingung. "Eng--anu, itu barusan, uhm tontonan tidak pantas." Jawabku, terbata - bata. Ujung bibir Elang berkedut menahan tawa, namun matanya menyelidik. Aku hanya tersenyum pasrah, seperti ketika tertangkap basah papa pulang nonton konser jam dua pagi. "Kenapa?" Elang merendahkan suaranya, dan itu terdengar, uhm, sialan! Seksi. "Adegan tidak pantas, zina mata itu kata Pak Ustadz, Mas." Elakku. Elang menyipitkan matanya, menatapku curiga. Aku menggaruk kakiku yang mendadak gatal, ingin lari, maksudnya. "Frozen aja enggak ada, Mas?" Bodo amat kalau aku harus menonton Elsa pesek kesukaan Bowo, daripada melihat adegan kayak tadi dengan Elang. "Frozen? Itu bukan tontonan orang yang berbulan madu, Py." Yailah! "Humor kek gitu, yang lucu - lucu." Kalau ada film Kang Sule, lebih baik. "Uhm ada, American Pie?" What??!!! "Uhuk, eng--yang lain dong, Mas." "Apa ya--" Wajah Elang memerah menahan tawa, siwalan urgghh. "Action deh!" Potongku cepat. "Fast Furious, bisa. Atau Transporter, boleh." "Oke drama aja, yang sedih." Elang tampak berpikir, ah lama! Kubuka folder movie-nya. Jeng jeng jeng, film dengan rate dewasa bertebaran. Jangan bilang kalau dia maniak pemburu bokep. Eewwww. Sampai akhirnya aku menemukan. AHA! "Hachiko banget, Py?" Elang menunjuk layar dengan jari - jari panjangnya yang terawat. "Hachiko banget!" Jawabku mantap. Elang menghembuskan napas dan ikut menonton dengan damai di sebelahku. Sampai, tidak terasa dadaku sesak menahan haru ketika Richard Gere meninggal dan Hachiko dengan setianya terus menunggu di stasiun kereta itu hingga dirinya pun menyusul sang tuan. Aku terisak - isak, dan baru menyadari tangan Elang merangkul dan menepuk pelan punggungku. Kepalaku sudah bersandar di dadanya yang bidang. Bayangan dirinya yang tidak memakai baju berseliweran dalam benakku. Segera kutepis dengan cepat. "Cup...cup.. Udah, Hachiko pasti sudah bertemu dengan si Professor itu." "Hiks--aku--aaku, mau ke Shibuya--kita kesana ya? Foto sama Hachiko?" Mendengak, kulihat wajahnya yang kebingungan sekarang. "Shibuya?" Aku mengangguk lemah, memasang tampang melas. "Tapi, kita sudah check in di sini sampai Senin depan, Py." "Kan ceritanya kita orang kaya, masa jatah tiga hari aja disayangin. Mumpung masih di Jepang." Pintaku, maksa. Memasang wajah sedih lagi, "aku kan cuma mau ziarah ke Hachiko. Ke patungnya aja enggak apa - apa deh, yang penting ketemu Hachiko." Elang menghembuskan napas kalah, "iya deh. Aku telepon orang hotel dulu." Aku nyengir, "iya." Yes! Terima kasih om Richard Gere, kamu ganteng deh. Muuaaahh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN