Bab 10

739 Kata
Mereka melatihku dengan sangat keras. Mereka. Semua. Sepasang kucing itu, Ginger, Pepper, Clove, Salt, bahkan Chili yang biasanya pendiam. Dan Cinnamoon yang terus-terusan mematuk rambutku jika aku melakukan kesalahan. “Pada dasarnya, poin dasar dari telekinesis adalah konsentrasi. Kedua emosi, dan ketiga poin-poin lain yang mendukung.” Aku menguap bosan ketika Matt si kucing mondar-mandir seraya menjelaskan teori tentang telekinesis. Melirik ke arah jendela, melihat yang lain bersantai di bawah pohon dengan Percy yang menghidangkan kue-kue. Tiba-tiba merasa sangat sedih ketika melihat Ginger berbincang dengan Salt. Terlihat sangat akrab. “Jadi menurutmu, apa yang dimaksud dengan poin-poin yang mendukung, Nona?” Aku tergagap, berpaling ke arah depan di mana Matt sedang menatapku tajam. “Aku baru mengatakannya barusan,” gumam Maat kecewa, “kau tidak memperhatikan.” “Maaf,” kataku menyesal. Dan Cinnamon yang setia menemani mulai mematuk-matuk rambutku. Aku menggeleng-gelengkan kepala, mengusir burung itu. “Aku sudah minta maaf, Cinnamon….” Akhirnya burung itu mau menghentikan aksinya, kembali bertengger di meja. “Poin-poin yang mendukung itu adalah pola hidupmu,” lanjut Matt. “Ingat, zat besi bagus untukmu, terlalu banyak vit E membuat kemampuanmu terhambat. Kurang tidur juga bisa menghambat kemampuanmu.” “Aku mengerti,” gumamku lesu, masih memikirkan tentang Ginger dan salt. Matt mendesah. “Sepertinya kau butuh usaha yang lebih keras untuk menguasai kemampuan pertamamu,” gumamnya duduk di sampingku. “Apa ada yang kau pikirkan?” Cepat aku menggeleng. “Tidak, aku baik-baik saja.” “Okay,” ujarnya tak yakin. Ternyata, tidak mudah memunculkan kemampuan telekinesisku. Aku tidak menghitung berapa lama berada di rumah Matt dan Percy, disibukkan dengan latihan-latihan. Terkadang mereka menyuruhku menatap lilin yang menyala di ruangan gelap, menyuruhku menggerakkan api itu dengan pikiranku. Atau mereka meletakkan sendok di meja dan menyuruhku memindahkannya. Beberapa kali mencoba melakukan itu, namun selalu gagal. Hingga kadang aku berpikir, mungkin sebenarnya aku tidak memiliki kemampuan itu. Jika ada waktu luang, aku berkumpul bersama yang lain di depan perapian, mendengarkan Percy bercerita tentang alam Mate Sphere. Tidak banyak yang ia ceritakan, selain dulu tempat ini begitu aman dan damai. Dengan raja yang bijaksana. Ketika aku menanyakan di mana raja itu sekarang, Matt dan Percy hanya menghela napas, menggeleng sedih. Kemudian mengalihkan pembicaraan. Dan aku mencatat dalam otakku, tentang raja Mate Sphere yang misterius.   ****   Aku sudah hampir putus asa, sepertinya yang lainnya juga karena mereka tidak memaksaku untuk berlatih lagi. Hingga suatu hari kemampuan itu muncul begitu saja, dengan sangat kuat, bahkan aku hampir tidak bisa membendungnya. Satu pagi ketika aku terbangun lebih awal, aku mendapati yang lain masih meringkuk di kamar masing-masing. Melihat pintu kamar Ginger—yang letaknya tepat di depan kamarku—masih tertutup rapat, muncul ide untuk membangunkannya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Perlahan aku mengetuk pintu kamarnya, tidak terdengar sahutan. Beberapa kali mengetuk, masih hening, kucoba mendorong pintu itu, tak terkunci. Aku melongok, terkejut mendapati Ginger yang tengah tertidur di bawah satu selimut yang sama dengan Salt. Segera menutup lagi pintu itu dengan keras, aku bergegas pergi. Berlari menuju sungai. Tidak mengerti kenapa harus berlari, perasaan sesak memenuhi dadaku. Di tepi sungai yang airnya terlihat putih karena langit belumlah terang, aku mencoba mengatur napas. Menatap bias kemerahan di ufuk timur sebagai tanda mentari mengusir bulan. Beberapa saat tetap berdiri, bergeming, masih menatap langit. Kini cahaya kemerahan itu mulai memudar, perlahan menghilang, tergantikan langit yang putih dipenuhi awan. Dibaliknya, sinar mentari mulai memancarkan cahaya, terlihat seperti duri-duri runcing berwarna keemasan, menyebar menerangi langit Mate Sphere dan permukaan alamnya. “Sugar….” Tubuhku menegang mendengar suara Ginger yang memanggilku. “Kau mencariku?” tanyanya. Aku bisa mendengar dengan jelas suara langkah yang menghampiri. “Ada yang ingin kau bicarakan?” Dia menyentuh bahuku. Aku menggigil, memikirkan apa yang dilakukan tangan itu semalam pada tubuh Salt, membuat emosiku  memuncak. Sedih, marah dan tak berdaya…. Memangnya kau ini siapa, Sugar? Suara batinku seolah mengejek. Didorong perasaan putus asa dengan emosi yang kurasakan, aku berkata lirih, “Jangan sentuh aku, Ginger.” Aku tidak menoleh sehingga tidak bisa melihat reaksi pria itu saat mendengar ucapanku. Tapi, dia membalikkan tubuhku menghadapnya, memaksaku melihat wajahnya yang penuh tanya. Kini kedua tangannya memegang bahuku. “Ada apa denganmu?”  “Aku bilang, jangan menyentuhku!” Sebuah suara terdengar menggelegar, aku tidak akan pernah menduga itu suaraku jika tidak merasakan bibir yang membuka dan menutup membentuk rangkaian kalimat tersebut. Penglihatanku tertutup cahaya keperakan yang memenuhi mata. Namun, aku masih bisa melihat Ginger yang tiba-tiba terlempar, jatuh terhempas di atas tanah, dan merasakan getaran di sekitarku. Dua pohon bahkan tumbang karena getaran itu. Rasa malu telah bertindak kasar membuatku tersentak. Seketika kilau keperakan menghilang dari mataku, Ginger terkapar sepuluh meter di tanah dari tempatku berdiri, mencoba bangun. Pria itu kini sudah berdiri, berjalan menghampiriku dengan seringai puas di wajahnya. Itu membuatku sedikit bingung. “Ayo kembali,” kata Ginger, berlalu melewatiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengikuti langkahnya. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN