Bab 12

1354 Kata
Kami baru saja selesai makan malam, seperti biasa berkumpul dan berbincang sebelum ke kamar masing-masing untuk istirahat. “Bagaimana latihan meditasimu?” tanya Clove bersandar pada kursinya, menatapku. “Bagus,” jawabku pendek. “Ehm.” Matt berdehem, menarik perhatian kami semua. “Besok hari terakhir kalian di sini, dan sebelum kalian pergi, ada yang harus kubicarakan.” Perhatian kami terfokus sepenuhnya pada Matt, sementara kucing itu berpaling menatap istrinya. Percy mengangguk, kemudian berdiri. “Kemarilah,” ajak Percy, berjalan terlebih dahulu. Kami semua mengikuti Percy, cara berjalannya yang anggun seolah menghitung setiap langkah membuat kami harus bersabar. Percy membawa kami ke salah satu kamar yang tidak digunakan. Sama seperti kamar-kamar yang lain, ruangan ini hanyalah bentuk persegi dengan ranjang, meja dan lemari. Percy menuju salah satu lemari, mengetuk sisinya beberapa kali dengan berirama. Suara gemuruh di belakang membuat kami menoleh serentak. Secara mengejutkan satu-satunya ranjang yang ada di ruangan ini terlipat ke dinding. Percy mengetuk sisi lemari lagi dengan irama yang berbeda. Tiba-tiba, salah satu lempengan batu besar di lantai yang semula tertutup ranjang bergeser, memperlihatkan ruangan bawah yang gelap. “Ruang rahasia…” gumam Pepper pelan. “Ya, kau benar, Nona,” sahut Matt, “sebuah ruangan rahasia tempat kami menyimpan sebagian rahasia….” Matt turun ke ruangan bawah tanah itu, dengan tangga dari tali yang tergantung. “Kalian, turunlah, aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya sebelum menghilang di kegelapan. Satu per satu, kami mengikuti Matt. Di bawah, kucing itu sudah menunggu sambil memegang lilin yang menyala. Aku mengamati sekeliling, tempat ini berupa lorong dengan dinding-dinding yang lembab, mungkin sudah berlumut. Membawa lilin yang lain, Percy menghampiri salah satu sisi dinding, meraba dengan hati-hati. Aku memperhatikannya dengan seksama, hingga tangannya berhenti pada satu batu di dinding tersebut, mengetuknya dengan irama yang sama seperti saat dia mengetuk lemari. Batu di atas bergeser, menutup lubang penghubung ruang bawah tanah ini dengan kamar di atas. Percy dan Matt berjalan beriringan, memandu kami menyusuri lorong. Aku memilih untuk berjalan paling akhir dengan Cinnamon yang bertengger pada pundakku, melirik Ginger yang mensejajari langkahku. “Ada yang mau kau bicarakan?” tanyaku berbisik. Ginger mengangkat bahu. “Tidak, kenapa?” “Oh, tidak apa-apa. Hanya heran, biasanya kau lebih suka bersama Salt daripada aku,” gumamku berusaha acuh. Sepertinya tidak berhasil karena pria itu menyeringai. “Kau keberatan?” tanyanya mencondongkan kepala ke arahku, hingga suaranya hanya terdengar olehku. “Keberatan apa?” “Aku dekat dengan Salt?” “Apa? Tentu saja tidak!” bantahku keras, lupa kami tengah saling berbisik. “Apa yang kalian bicarakan?” Pepper berhenti dan menoleh. “Tidak, bukan apa-apa,” sahutku cepat sebelum Ginger menjawab. Pepper menatapku curiga, tapi Chili menariknya hingga ia kembali berjalan. Aku menoleh pada Ginger, melotot sebal ketika dengan cahaya remang-remang melihat ia yang terlihat tak acuh. “Apa?” tanyanya tanpa dosa. Aku memutar bola mata dan berusaha tidak mempedulikan dia yang masih di sampingku. Aku mendekap tubuhku ketika merasakan udara dingin berembus. “Harusnya kau memilih baju yang lebih tebal, udara terlalu dingin di Mate Sphere.” “Hmm, akan kupertimbangkan usulmu saat kita pergi dari sini, lusa.” Sejak menemukan tempat ini, kami memang bisa berganti pakaian sesering mungkin, ada banyak stok di lemari besar yang dulu jadi penghubung tempat ini dengan wilayah halusinasi otak yang sempat mengurung kami. “Kita hampir sampai,” suara lembut Percy menarik perhatianku. Di depan, kutemukan ujung lorong yang terlihat karena sorotan cahaya dari sana. Semakin dekat, cahaya itu semakin terang. Saat benar-benar sampai, aku dikejutkan dengan sebuah tempat yang membuatku terpana. Ini mungkin gua, gua yang sangat tinggi, dengan beberapa lubang kecil di berbagai sisi yang menghasilkan cahaya dari luar. “Aku tidak percaya ada tempat seperti ini,” gumam Pepper takjub. “Tapi, ini memang ada….” Clove menimpali. Kami menyebar, terkagum-kagum dengan keindahan yang nampak. Dinding gua kehitaman menjulang tinggi, atapnya hampir tidak terlihat saking tingginya. Air terjun jatuh ke permukaan sungai bening yang mengalir dengan batu-batu berlumut di beberapa tempat, menghasilkan percikan air hingga bisa kurasakan kesejukannya. Pohon-pohon, bebungaan liar, semak-semak yang menutupi sisi-sisi gua, tempat ini sungguh luar biasa indah. “Ini dunia kecil kami, dunia kecil alam Mate Sphere,” beri tahu Percy dengan nada sedih, “kami harus bersembunyi di sini untuk menghindari kehancuran.” “Apa yang akan menyebabkan kalian hancur?” tanyaku penasaran. Percy tersenyum. “Nanti kau juga akan tahu, karena alasan itulah kalian berada di sini sekarang.” Tiba-tiba Matt si kucing berteriak. “Aku membawa mereka, kalian keluarlah!” Secara mengejutkan, dari balik semak-semak yang paling rimbun, keluar rombongan hewan yang kesemuanya diselimuti kerlipan cahaya. Kerlipan cahaya itu mengingatkanku akan film-film kartun peri yang pernah kulihat. Ada sekitar tiga puluh hewan, dengan jenisnya masing-masing. “Mereka yang tersisa dari kami, yang mampu bertahan sejauh ini,” beri tahu Matt. Hewan-hewan itu mengerubungi kami, meneliti dengan pandangan mereka, bahkan ada beberapa yang mencoba menyentuh seolah meyakinkan, kami adalah yang mereka tunggu. Dikelilingi hewan-hewan yang bisa berbicara, sungguh membuatku gugup. Kurasa yang lain juga begitu, dilihat dari ekspresi mereka yang penuh kekhawatiran. Clove bahkan berjinjit dan mengibas-ngibaskan tangannya menghindari sentuhan seekor primata. “Hei, kalian jangan membuat mereka bingung!” seru Percy menyingkirkan binatang-binatang itu satu per satu. “Kami akan membawa mereka pada para tetua.” Menyeruak di antara kerumunan, aku dan yang lainnya mengikuti Percy dan Matt. Kedua kucing itu membawa kami ke sebuah jalan setapak yang tersembunyi di balik semak. Lintasan yang terlalu sempit dan menanjak mengharuskan kami berjalan berurutan, menapakkan kaki dengan hati-hati pada tanah merah yang agak basah. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah bangunan dari batu di ujung jalan. Mirip dengan rumah Percy dan Matt, namun ini terlihat lebih besar. “Di sana para tetua kami tinggal,” kata Matt menunjuk bangunan itu, mempercepat langkahnya. Melihat mereka mempercepat langkah, aku yang berada di urutan kedua dari belakang—di depan Ginger—berjalan tergesa, tak memperhatikan sebuah kerikil yang terinjak. Aku terpeleset dan hampir terjatuh kalau saja Ginger tidak menangkapku. “Terima kasih,” gumamku malu. “Dasar ceroboh!” Tak menanggapi ucapan pria itu, aku hanya mengangkat bahu, melanjutkan kembali perjalanan yang hanya tinggal beberapa langkah. Kami berdiri di depan pintu besar dengan bagian atas yang melengkung, daun pintunya terbuat dari kayu, terlihat kokoh. Sebuah cincin besi raksasa tergantung di salah satu sisi, berpasangan dengan stick yang digantungkan di dekatnya. Matt berjinjit, meraih stick dan memukulkannya ke cincin besi itu. Bunyi berdenting terdengar menggema. “Siapa?” suara serak menyahut dari dalam. “Matt si kucing, membawa para Pencari Mate.” Tak lama pintu terbuka. Aku terkejut ketika yang membuka pintu seorang lelaki tua berjanggut putih. Bagian depan kepalanya sama sekali tidak ditumbuhi rambut, bertolak belakang dengan bagian belakang yang memiliki rambut panjang, meski kesemuanya sudah memutih. Sama sekali bukan yang kubayangkan. “Masuklah!” ajaknya membuka pintu lebar-lebar. Ruangan yang kami masuki lebih mirip aula, dengan meja bundar besar di tengah-tengahnya, dikelilingi kursi-kursi yang jauh lebih besar daripada kursi milik Percy. Keempat dinding ruangan ini dipenuhi poster-poster bertuliskan simbol-simbol yang tidak kuketahui maknanya, selain itu juga ada poster dengan lukisan. Sebagian besar lukisan menggambarkan Mate Sphere, selebihnya gambar seperti peta dengan garis-garis dan simbol-simbol yang sama. Lelaki tua itu memperhatikan kami satu per satu, seksama. “Jadi mereka para Pencari Mate?” tanyanya menoleh pada Matthew. “Seperti yang kau lihat, Genio,” jawab Matt mengangguk. “Duduklah di sana,” kata pria yang dipanggil Genio oleh Matt, “aku akan memanggil yang lainnya. Kalian para kucing, ikutlah denganku.” Genio berjalan cepat memasuki ruangan lain, gerakannya sama sekali tidak sebanding dengan rambutnya yang sudah memutih semua. Dia terlihat masih sangat kuat dan tangkas. Matt dan Percy pun menghilang di balik ruangan itu. “Aku tidak tahu ada manusia juga di sini,” gumam Pepper. “Ada semua jenis makhluk di Mate Sphere.” Salt menimpali.  “Dari mana kau tahu, Salt?” tanya Clove terlihat heran. Salt tidak menjawab, kurasa itu membuat Clove sedikit kesal. Sambil termenung, aku memperhatikan teman-temanku satu per satu. Pepper tengah berbincang dengan Clove, entah apa yang mereka saling bisikkan. Chili dan Salt hanya duduk mematung, tanpa ekspresi. Ginger yang berada di depanku duduk bersandar pada kursinya, melipat kedua tangan di depan d**a, matanya menatap lurus ke depan. Terlalu lama. Apa yang mereka bicarakan? “Kalian setuju kalau mereka terlalu lama di dalam?” bisikku pada Pepper dan Clove. “Ya,” jawab Clove menoleh ke arah kepergian Genio, Matt dan Percy. “Mungkin mereka sedang merundingkan sesuatu,” kata Pepper bersandar pada bahu Chili yang duduk di sampingnya. Tanpa sungkan Chili merengkuh kepala gadis itu. Aku memperhatikan mereka, bertanya-tanya apa yang membuat keduanya sedekat itu. “Apa perlu kita memanggil mereka?” tanya Clove. “Jangan,” sahut Ginger, “kita tunggu saja.” Kami menunggu. Agak lama baru mendengar langkah yang mendekat. Pertama Matt dan Percy yang muncul, menyusul rombongan yang benar-benar membuatku terpana. Clove bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya demi melihat siapa yang datang. Ini sama sekali di luar dugaanku, dan dari ekspresi yang lain, aku memastikan semua yang bersamaku saat ini juga terkejut. Termasuk Salt yang kupikir mengetahui segalanya. Ada yang aneh dengan alam ini…. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN