Jalanan sudah mulai sunyi saat akhirnya kakinya melangkah pulang. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan. Decitan suada rem dan gema klakson memecah kesunyian malam itu.
“HEH! Punya mata nggak?! Udah bosan hidup?!” Teriak seseorang yang melongok dari jendela mobil yang diturunkan kacanya.
Lapar dan mengantuk, Rafa tanpa sengaja berjalan hingga ke tengah jalan dan membuat dirinya hampir tertabrak mobil. Rafa menoleh dan memandang malas pada si pengemudi, Pupilnya kemudian membesar saat dia mengenali wajah yang berada di kursi penumpang mobil tersebut. Dan gayung pun bersambut. Dia bukan satu – satunya, karena orang – orang di dalam mobil pun mulai mengenalinya.
“Sayang, dia bukannya mantan kamu, ya?” Pertanyaan yang sengaja diucap keras – keras itu menyapa indera pendengarannya, membuat rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat.
“Siapa? Oh, dia. Udah sih, nggak usah diladenin. Males banget. Yuk, pulang aja.” Perempuan cantik dengan rambut pendek sebahu itu menyhut acuh.
Si pria yang bersamanya, si pengemudi mobil, meliriknya dengan pandangan merendahkan, kemudian masuk kembali dan melajukan mobilnya pergi dari sana, meninggalkan Rafa sendirian.
Gadis itu… Amora. Perempuan yang hingga beberapa saat kemarin diyakininya sebagai tulang rusuk kirinya yang hilang. Tapi ternyata dia hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kesenangan sesaat perempuan itu saja.
Flashback
“Beliin ini, ya.”
Rafa mendongak dari gawainya. Memperhatikan gadis cantik yang sedang berdiri di depannya memegang sebuah tas tangan mungil berwarna merah. Gadis ini entah kenapa suka sekali dengan warna merah. Bukan pink, seperti warna yang umumnya digemari kaum hawa. Hampir semua barang – barang Amora, nama gadis itu, didominasi oleh warna terang menyala tersebut.
“Lagi? Kan minggu kemarin habis beli tas juga?”
Bibir yang terpoles lipstick merah merona tersebut manyun. “Ih, kamu gitu. Nggak sayang lagi sama aku. Minggu kemarin kan bukan ini tasnya.Tas ini belum ada. Ini lucu loh, Sayang.”
“Bukan nggak sayang…”
“Tapi kamu nggak mau beliin. Itu secara nggak langsung kamu bilang kalau kamu udah nggak sayang lagi sama aku!”
Rafa menghela nafas. “Oke, beli itu. Ayo ke kasir.”
“Beneran?! Yeayy, makasih, Sayang.”
Amora langsung melompat memeluknya. Tak merasa risih dan sungkan meskipun mereka berada di tempat umum sekalipun. Rafa pun tak keberatan. Dia suka dipeluk dan dicium oleh kekasihnya ini. Di manapun. Meskipun harus menguras dompet dan tabungan.
Alah, uang bisa dicari, batinnya. Yang penting dia seneng.
Flashback End
Yang tak dia perhitungkan adalah. Dia terlalu focus membuat gadis itu bahagia sampai lupa bagaimana cara membahagiakan diri sendiri. Hidupnya terlalu perporos pada Amora. Sehingga saat dia pergi, seperti jiwanya ikut tersedot keluar dari raganya. Meninggalkan dia kosong, hanya ada, tapi tak memiliki arti lagi.
***
Serafina menunduk dan menekuk lututnya anggun di depan Bidadari agung. Rambutnya yang berwarna pirang dengan mahkota cahaya biru terang di atas kepalanya bergerak anggun. Sayapnya yang berwarna biru cerah dengan garis hitam dan mata emas yang amat khas, kini terlipat dengan rapi di belakang punggungnya.
“Serafina menghadap Bidadari Agung.” Ucapnya jernih dan lantang tapi tetap sopan.
Bidadari Agung mengangguk. Mengisyaratkan dengan tangannya agar Serafina kembali kepada posisi awal. Serafina pun kembali tegak. “Anakku, Serafina.”
“Hamba, Ibunda.”
“Seingatku, kau sudah menyelesaikan tugasmu beberapa saat yang lalu dan sedang dalam masa istirahat.”
“Benar Ibunda Bidadari Agung. Tapi aku ingin meminta ijin untuk turun lagi ke bumi.”
Wajah halus bak porselen yang bersinar tanpa kerutan itu menaikkan alisnya bingung. Taka da satu bidadari pun sebelumnya yang amat berdedikasi pada tugasnya begini. Mereka lebih memilih untuk beristirahat di alam ini, memulihkan tenaga mereka, menunggu tugas selanjutnya datang. Itu adalah tindakan yang bijaksana karena saat bidadari memforsir kekuatannya, maka komponen tubuhnya akan melemah dan akan lebih mudah terurai.
Bidadari peri tidak mati. Mereka hanya kan terurai jika energy mereka habis. Setelahnya, uraian mereka akan berkelana mencari uraian yang lain, bersatu dan membentuk peri baru. Begitulah bagaimana peri terlahir dan hilang. Dan sebagai penguasa dunia peri, Bidadari Agung tak memiliki kekuatan untuk menggagalkan proses itu. Dia melakukan yang dia bisa, yaitu mengatur dengan bijaksana tugas untuk para perinya. Hanya peri yang sudah penuh energinya yang akan menjalankan tugas.
“Untuk apa? Energimu belum pulih.”
Serafina memelambaikan tangan dan lubang besar berdiameter sekitar lima puluh sectimeter terbentik di depan mereka. Di sana, terlihat seorang pemuda yang hanya terbungkus warna gelap. Kelam, tak ada warna lain yang menyelimutinya.
Tapi di matanya yang berkilauan dengan cahanya, kegelapan yang ditunjukkan oleh Serafina tidaklah sehitam itu. Jadi dia bertanya pada bidadari peri tersebut.
“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku, anakku?”
“Ibunda Bidadari Agung yang penuh kemuliaan. Utuslah anakmu ini untuk turun dan mengusur kegelapan yang melingkupi manusia tersebut.” Pintanya.
Dia sedikit tersentak karena permintaan Serafina. Turun ke Bumi tanpa energy yang cukup saja sudah amat berbahaya bagi kaumnya, apalagi untuk sebuah misi.Energi bumi bukan untuk para peri. Semakin lama seorang peri berada di bumi, maka semakin sedikit kesempatannya untuk bisa kembali ke sini, dan mereka yang seperti sangat rentan dikuasai oleh kegelapan. Perasaan takut, putus asa, hilangnya hati nurani. Hal – hal keji dan kotor.
“Tidak, Serafina. Aku tidak bisa melakukannya.”
“Tapi….”
“Tenagamu belum pulih. Aku bisa melihat sayapmu masih ada yang tertekuk dari misimu yang sebelumnya. Kau harus memulihkannya dulu. Dan sampai saat itu, tak aka nada tugas baru untukmu.” Serafina ingin membantah. Tapi Bidadari Agung sudah melambaikan tangannya menyuruh Serafina pergi dari hadapannya. “Pergilah. Pulanglah kembali dan pulihkan tenagamu. Pembicaraan kita sudah selesai.”
***
Rafa membuka pintu apartemen satu kamarnya, dan masuk. Dia meletakkan ranselnya begitu saja di lantai, melepaskan jaket tanpa menggantungnya dan tanpa mencuci kaki dan tangannya terlebih dulu, dia langsung merebahkan tubuhnya yang selalu saja terasa letih akhir – akhir ini ke atas seofa.
Tak dia pedulikan lagi semua barang yang berserakan, sampah – sampah bekas makanan siap saji dan pakaian kotor yang bertebaran di seluruh rumahnya. Rumah yang dulu bersih, nyaman dan penuh tawa ini bagaikan penjara baginya sekarang. Tapi dia tak bisa pergi. Ini adalah satu – satunya tempatnya tinggal.
Sesuai dengan isi surat sang kakek, dia tak bisa lagi kembali ke desa.
“Kutukan, Kutukan apanya, sih. Jaman begini masih percaya saja sama yang namanya kutukan? Kalau kutukan ada, Berarti santa dan ibu peri juga ada?” Dia mendengus tertawa setengah hati sebelum masuk sepenuhnya ke dalam dunia mimpi.