Bab8 - Debar

1672 Kata
Perlahan tangan Va’as bergerak, ingin menyentuh paha putih yang terpampang nyata di suasana yang temaram ini. Kemudian tangan itu mengepal tepat di atas pertigaan yang paling berbahaya. Va’as memejamkan mata dengan jangkun yang naik turun karna sebuah keinginan yang berusaha ia tahan. Detik kemudian Va’as kembali membuka kedua matanya, bibirnya sedikit terbuka, lidahnya bermain di atas bibir dengan mengamati barang langka yang untuk pertama kalinya dia lihat. Keindahan yang tidak sama seperti pemandangan di Paris, atau pemandangan di raja ampat. Tetapi satu titik itu mampu membuat nafasnya berat dan tenggorokan kering. pelan, benar-benar sangat pelan Va’as membungkukkan kepala, diam ketika tepat berada di jarak yang sangat dekat dengan pertigaan terbelah itu. Tidak memegang, tidak melakukan apa pun, tapi cukup menatap dengan tak kedip. Seperti orang yang tengah menghafalkan denah jalan agar bisa pulang ke rumahnya. Va’as memutuskan untuk turun dari ranjang setelah hampir lima menit hanya anteng menatap barang yang tertutup belahan nyata itu. Buru-buru dia keluar dari kamar yang ditempati Caca sampai lupa tak menutup pintu. Bukannya tak laki, tapi dia bukan lelaki yang terlalu mementingkan nafsu terhadap selangkangann. Obsesinya besar pada pekerjaan dan pangkat, bukan pada wanita. ** Pagi menyapa. Caca mulai mengerjapkan kedua mata. Dia terkesiap saat melihat sebagian tubuhnya terpampang. Selimut yang semalam dia pakai sudah jatuh ke lantai dengan keadaan pintu yang terbuka lebar. Dia beranjak turun dari ranjang dan diam di ambang pintu. Tatapannya terarah ke pintu kamar Va’as yang tertutup rapat. ‘Semalam pintu kamar ini aku tutup. Kenapa jadi kebuka?’ ‘Apa … pak Va’as ….’ Caca menggigit bibir membayangkan jika Va’as masuk ke kamarnya. Tak ingin jika Va’as keluar kamar dan melihat dirinya, Caca segera menutup pintu dan diam mengusap bagian paha atasnya. Nggak ada yang terasa aneh, seharusnya tidak terjadi apa pun, kan? Caca memilih memungut selimut tebal itu dan menutupi tubuhnya. Dia keluar kamar mirip sosis gulung. Tok! Tok! Tok! Caca mengetuk pintu kamar Va’as. Mengulanginya lagi karna menit berlalu tapi tak mendapatkan respon. ‘Apa dia belum pulang ya?’ tanyanya dalam hati. Ceklek! Usai membatin itu, pintu kamar terbuka dari dalam. Va’as muncul dengan bertelanjang d**a. Tangannya sibuk mengusap rambut dengan handuk. Kulit bahunya kembali basah karna tetesan air yang berasal dari rambutnya. Caca tak kedip melihat bentuk tubuh sempurna yang untuk pertama kali dia lihat setelah umurnya ada di angka sekarang. Detik kemudian Caca menunduk, malu melihat yang baginya belum waktunya untuk dia lihat. Va’as tertegun melihat wajah merona Caca yang malu. kedudian tatapannya terarah pada tubuh Caca yang terbungkus selimut. “Kenapa?” tanyanya setelah waktu berlalu hanya dengan diam. “Uumm,” gumam Caca, dia menyerongkan tubuh untuk menghindari diri menatap tubuh polos Va’as. “Bol—boleh minta tolong?” Sudut bibir Va’as tertarik ke atas. “Ngomong saja sama pintu.” Ceklek! Kedua mata Caca melebar karna pintu kamar itu kembali tertutup rapat. Tangannya menggebrak pintu cepat. “Pak! Pak Va’as! Saya nggak punya baju ganti di sini, Pak!” teriaknya. Di dalam kamar sini Va’as menyunggingkan senyum mendengar aduan Caca. ‘Ya, aku tau itu,’ kata Va’as dalam hati. “Pak, baju seragam kerja saya ada di rumah mami Iren!” kembali, Caca berteriak. “Pak, saya kerjanya gimana? Semalam saya lupa kalo nggak ada baju ganti di sini. Pak!” Dengan tangan yang sibuk memakai pakaian kerja, kepala Va’as jadi sibuk memikirkan baju Caca. Detik kemudian dia mendengus. Lalu melangkah menuju pintu dan membuka pintu. Kembali dia menatap wajah iba Caca yang masih di tempat tadi. “Ceroboh!” kata Va’as, mengatai Caca. Bibir Caca mengerucut. “Lupa kemarin. Jadi … saya gimana, Pak?” “Aku ada temu clien pagi ini. Nanti setelah pertemuanku selesai, kuambilkan bajumu.” Kedua mata Caca mengerjab. “Saya enggak kerja?” Va’as melirik wajah bingung Caca. “Kamu saya pecat!” Kedua mata Caca membulat mendengar kalimat itu. “Pak ….” Va’as balik badan, melangkah mengambil jasnya. Dengan ekspresi santai dia memakai jas itu di depan cermin. Lalu memakai sepatunya dan melangkah menuju pintu setelah menggenggam kunci mobil. Tatapannya tajam tertuju ke Caca yang berdiri di depan pintu. “Minggir!” suruhnya. “Pak, tapi … tapi jangan pecat saya ya. Saya—” “Hitung sendiri berapa kali kamu tidak masuk di bulan ini,” katanya dengan nada whatevernya. Caca jadi menunduk dengan bibir yang digigit. Menyadari jika bulan ini sudah ambil libur dua kali di luar libur yang seharusnya. Dia sedikit terkesiap saat Va’as melangkah lebih maju sampai berada di hadapannya. “Aaa!” jeritnya. Hampir saja Caca terjatuh karna kaki yang akan memundurkan langkah itu terserimpet selimut tebal yang dipakai melilit tubuh. Selayaknya di drama-drama, tubuh itu ditangkap Va’as. Satu tangan Va’as melingkar di pinggang Caca dan satu tangan yang lain melingkar di atasnya, memegangi tubuh terbalut selimut itu. Untuk beberapa saat keduanya saling adu tatap dengan jarak yang lumayan dekat. Tangan Caca mencengkeram kuat pinggiran selimut menahan debar di d**a yang terasa amat luar biasa. Kedua mata Caca benar-benar tak kedip menatap wajah putih yang tanpa cela. Tampan? Tentu saja itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Tangan Va’as terasa kaku, sama seperti Caca. Debar di dadanya tidak terkontrol. Apa lagi melihat bibir tipis Caca yang sedikit terbuka. Ada rasa yang seperti mendorongnya untuk meraub bibir itu. Jangkun Va’as bergerak naik turun. “Pa—Pak,” seru Caca gagu. Seperti baru tersadar dari tidur lama, Va’as terkesiap. Pelan tangannya melepaskan tubuh Caca dari dekapan dan menarik diri. Kedua tangan sibuk memebenarkan jas yang sebenarnya baik-baik saja. Va’as melirik Caca yang menunduk tak berani menatap padanya. Dia mengangkat lengan kiri, menatap jam yang melingkar di sana. “Aku hampir terlambat,” katanya dan langsung melangkah pergi meninggalkan Caca. Caca mematung menatap tubuh berbalut jas hitam itu menghilang. Tangannya menekan d**a yang debarnya belum kembali normal. ‘Kenapa dadaku kerasa kaya’ mau lompat sih?’ batinnya, mencoba memahami keadaan yang baru saja terjadi. ** Va’as menghentikan mobil di parkiran caffe yang menjadi tempat janjiannya dengan clien. Dia langsung membuka pintu dan melangkah keluar. Cepat Va’as masuk ke dalam, tatapannya langsung bertemu dengan Johan yang duduk di meja pojok dekat dinding kaca. Membuang nafas berat lebih dulu sebelum melangkah ke arah meja yang sudah ada cliennya. “Good morning,” sapa Va’as dengan senyum ramahnya. Lalu berjabatan tangan dengan dua orang yang menjadi tamunya. “Sorry, I am late,” ucapnya dengan kedua tangan yang menelakup. “It’s okay, Sir.” Si clien yang terlihat lebih muda menyahuti. Perbincangan mereka berlangsung setelah pesanan minuman diantarkan oleh karyawan caffe. Johan mengeluarkan kotak kecil yang terbuat dari kaca. Dia menyodorkan kotak itu ke clien di meja depannya. “Ini contoh barang kita,” kata Johan. “Dia mengeluarkan kotak yang lain. “Ini sample kedua yang kemasannya tidak ada perbedaan.” Clien dari Spanyol ini beradu tatap. Detik kemudian dia mulai mengambil satu kotak pertama. Membuka kotak itu, menatap barang berupa potong-potongan batang teh berwarna hitam beserta daun dan bunga melati putihnya. Detik kemudian boss dari Spanyol ini melirik Va’as dan Johan. Va’as mengedipkan mata cukup pelan, memberikan kode yang sudah dipahami oleh para pebisnis. Clien ini mengambil sepotong tangkai tehnya, lalu menciumnya. Tidak ada yang aneh, memang alami wangi teh segar yang ada bunga melatinya. Dia mengarahkan kepala ke kotak yang kedua. Lelaki yang menjadi asistennya mengambil yang dimaksud, lalu membukanya dan menunjukkannya ke boss-nya. Clien ini sedikit terpana melihat barang yang kedua ini. Sama, sama-sama teh. Tapi aromanya jauh berbeda. Warnanya pun lebih terang dan sedikit merah. Ada potongan bunga mawar merahnya diantara potongan daun teh dan tangkainya. Detik kemudian, setelah dia mengambil sepotong daun tehnya dan mencium wanginya, dia melirik ke arah Va’as lagi. “Secure?” Va’as dan Johan mengangguk tanpa ragu. “Ini bukan pertama kali kami memasarkannya. Keamanannya akan kami jamin.” Dengan begitu meyakinkan Va’as mengatakannya. Clien ini menganggukkan kepala, lalu mengulurkan tangan ke Va’as. “I am Dario, official owner of the Xdrio in Spain.” Dia memperkanalkan dirinya. “I am Jalvas, CEO of the Win Company.” Balas Va’as dengan wajah tegas tapi ramah. Kerjasama yang terjalin lancar. Sesuai dengan yang Va’as harapkan. Dua orang dari Spanyol tadi telah pamit pergi setelah menandatangani surat kerjasamanya. “Suruh pabrik belakang lembur mulai minggu ketiga. Orderan dari Dario jangan sampai terlambat kirim. Dia konsumen yang susah didapatkan. Kita beruntung karna dia langsung mau mengambil barang kita.” Tutur Va’as panjang. “Baik, Pak.” Patuh Johan. Va’as mengangkat gelas kopinya, lalu meneguknya sampai habis. Dia beranjak dan melangkah pergi, membiarkan saja Johan menyelesaikan tagihan pesanan minuman mereka tadi. Di dalam mobil sini Va’as mulai ingat dengan Caca yang ada di rumah. Dia mengambil hp, mencari nomor Nino dan menempelkan hp itu ke telinga setelah menekan tanda telpon di pojok layar. “Hallo, pak,” sapa Nino di seberang sana. “Ambilkan tas jinjing jelek di rumah tinggal mamiku. Langsung saja masuk ke dalam kamarku dan bawa tas jinjing jelek yang ada di samping lemari itu keluar. Lalu antarkan tas itu ke apartemenku. Sekalian belikan humberger satu saja.” perintahnya. “Siap, Pak.” Va’as menarik hp dan mematikan panggilan setelah mendengar kesanggupan Nino. Dia mulai memasukkan kunci mobil dan menjalankan mobil meninggalkan caffe. Baru beberapa meter melaju, kedua mata Va’as membola mengingat sesuatu. ‘Celaka!’ gumamnya dalam hati. ‘Bagaimana kalau Nino sampai melihat Caca yang bugil?’ Sungguh dia tidak rela membagi pertigaan jalan milik Caca yang semalam dia hafalkan itu di hafalkan oleh Nino juga. va’as kembali mengambil hp, melakukan panggilan telpon ke Nino lagi dan memasang headset bluetooht ke telinga. “Iya, Pak? Ini saya baru mau jalan ke rumah nyonya Iren.” Jawab Nino di seberang sana. “Pejamkan kedua mata ketika mengantarkan barang itu ke apartemen!” perintahnya dengan tegas. “Hah?” pekik Nino, terdengar bingung. “Aku akan melubangi kepalamu kalau sampai kamu tidak memejamkan mata saat mengantarkan tas dan makanan itu!” “Iya, Pak. Saya akan memejamkan mata pas ngater barangnya.” Va’as menghela nafas panuh kelegaan. Dia menekan tombol, mematikan panggilan telponnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas mengingat wajah polos Caca tadi pagi. ‘Lumayan cantik ternyata,’ gumamnya dalam batin. 09/09/2023-20;01
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN