Bab3 - Diusir

2282 Kata
“Stop!” Caca sediikit berteriak. “Berhenti di sini saja, Pak,” pintanya. Va’as melirik gadis di sebelahnya lalu menatap gapura yang ada di jalan depan sana. “Rumahmu masuk ke sana, kan?” Caca menganggukkan kepala. “Eh, stop, Pak!” pintanya lagi karna Va’as masih saja menjalankan mobil. Kali ini Va’as menepikan mobilnya dan berhenti. Dia sedikit memutar tubuh sampai bisa menatap Caca. Kamu sudah punya suami?” tebak Va’as dengan telunjuk yang menuding tepat di wajah Caca. Wajah Caca memberengut, dia menggeleng. “Saya masih single.” “Kenapa tak mau kuantar sampai rumahmu?” tanya Va’as, curiga. Caca menegrjab beberapa kali. Mau jujur tentang keluarganya yang galak dan memperlakukan dia semena-mena, Caca malu. Jadilah dia menggelengkan kepala. “Enggak apa-apa, Pak. Makasih sudah diantarkan sampai di sini.” Dia membuka pintu dan melangkah turun. Sempat membungkukkan badan sebagai tanda hormatnya ke atasan sebelum akhirnya melangkah masuk ke gang kampungnya. Melewati beberapa rumah dan bertegur sapa dengan orang-orang yang mengenal. Caca mulai meremas tali tas kecil yang dibelikan oleh Va’as. Ah iya, ini baju yang nempel di tubuh adalah baju peberian Va’as yang tentunya model lama. Baju milik Caca yang asli sudah dibuang. Suara mesin jahit terdengar sampai di teras rumah karna pintu depan ini terbuka. Caca meneguk ludah dengan begitu kesusahan sebelum melangkah masuk. Lalu …. “Berani pulang juga kamu, ya!” Suara melengking Tari membuat Caca menghela nafas. “Maaf, Ma, semalam … semalam aku … aku nabrak orang. Aku kecelakaan.” Bu Tari memerhatikan Caca dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kedua matanya awas menatap luka gores yang terlihat di lengan tangan Caca. “Di mana benang sama jarum yang saya suruh beli semalam?” Kedua bahu Caca melemah, dia menggigit bibir. Memantapkan hati sebelum menerima makian selanjutnya. “Jatuh pas aku kecelakaan semalam, Ma, dan … hilang.” “Mana sisa uang pembeliannya?” bu Tari menengadahkan tangan, meminta uang kembalian. Bahkan di saat dia tau keadaan Caca yang kecelakaan pun, sama sekali tak peduli. Yang terpenting justru uang dan barang titipan. Sekali pun Caca benar, yang dicari tetap kesalahannya. “Hilang, Ma,” jawab Caca setelah detik berlalu. Plak! Caca sampai terhuyung ke arah pintu. Dadanya naik turun karna terkejut. Tamparan keras mama Tari hampir membuat Caca jatuh kalau tangannya tak berpegangan di pintu yang terbuka. “Ganti uangnya, mana?!” pintanya dengan membentak. Caca memegangi pipi kirinya yang tentu saja terasa panas dengan cap lima jari yang begitu kentara. Dia melirik mama tirinya yang seperti akan menelannya hidup-hidup. Ini perkara uang seratus ribu yang hilang. Setidak berharga ini Caca di mata mama Tari. “Ma, motorku masuk bengkel. Aku butuh uang untuk ambil motornya. Dan hari ini aku bolos kerja karna aku baru pulih—” “Astaga, mama nggak nanya, Ca!” bu Tari memotong kalimat yang akan Caca katakan. “Kamu nggak usah curhat ya! Mama nggak mau dengar curhatan kamu yang nggak penting itu! uang seratus ribu itu mau mama pakai buat beli kuotanya Aruna juga. Bisa seenaknya kamu hilangkan begitu. Soal kecelakaan, itu karna kamu nggak hati-hati! Kamu harus ganti itu! Sekalian saja, tambahi buat beli tas baru. Bulan depan Aruna sudah mulai daftar kuliah. Dan satu lagi.” Mama Tari menjeda, kali ini tatapannya sedikit lunak. “Karna teman-teman Aruna kuliah pakai motor sendiri, tolong kamu hutang ke kantormu ya.” “Hah?!” pekik Caca dengan kedua mata yang melebar. Pastinya terkejut dengan permintaan mama Tari ini. Kedua tangan mama Tari langsung menekuk di pinggang begitu melihat wajah Caca yang terlihat ingin menolak. “Kamu kalau bukan aku yang ngasih makan, enggak mungkin bisa sehat seperti sekarang ini! Cuma disuruh beliin motor sudah belaga terkejut begitu!” “Ma, aku—” “Hutang, Ca! di tempat kerjamu kan bisa berhutang dan dipotong gaji. Ini demi adikmu lho! Masa’ kamu nggak mau sih? Kamu tau penghasilan mama itu nggak menentu. Kalau sehari bisa dapat satu jahitan ya itu bisa jadi uang. Itu juga kalau langsung dibayar, kalau enggak langsung dibayar ya mama nggak ada uang,” ujarnya panjang memotong kalimat yang akan Caca katakan. Caca sampai terpaku melihat mama Tari yang mulai mengomel. Sebenarnya sudah sadar sejak lama jika dia memang hanya diperas untuk menghidupi. Tetapi sejauh ini masih bisa bertahan dan diam. Namun untuk sekarang, dirasa Caca tak mau lagi berkorban. Apa lagi untuk kuliah Aruna. Dia saja nggak kuliah, kenapa harus memikirkan kuliah Aruna? “Maaf, Ma, aku nggak bisa.” Jawaban lemah yang membuat Bu Tari menghentikan gerakan tangan yang hampir menjepitkan kain ke mesin. Dia menoleh, menatap tak kedip dengan omelan dan cacian yang sudah bisa Caca bayangkan. “Kamu—” “Selama ini aku udah kerja buat makan dan biayain sekolahnya Aruna, Ma. Aku pun nggak kuliah karna setiap kali gajian selalu mama minta. Dan aku nggak pernah mempermasalahkan semua itu. Aruna sudah lulus SMA, kenapa dia tidak bekerja saja jika memang tidak ada biaya untuk kuliah? Atau … dia bisa kerja dulu untuk ngumpulin uang beli motor. Kuliah terlambat nggak akan masalah, kan?” Plak! “Lancang kamu ya!” teriak mama Tari setelah kembali mendaratkan tangan di pipi Caca. “Aruna itu beda sama kamu! dia itu pintar, dia harus berpendidikan biar dapat kerjaan yang bagus. Bukan jadi OB rendahan seperti kamu itu!” Tangan Caca mengepal mendengar kalimat hinaan yang tentu bukan pertama kalinya. Dia melirik mama Tari dengan satu tangan yang memegangi pipi kirinya. “Bisa-bisanya mama merendahkan pekerjaan yang sejauh ini mengenyangkan perut mama dan Aruna. Kalau aku berhenti bekerja, apa yang akan mama pakai untuk bayar listri dan beli makan?” Mama Tari meradang. Tangannya terkepal dengan rahang yang mengeras. Yang Caca katakan memang benar, tapi sama saja dia direndahkan, kan? Dia melangkah masuk, mengambil plastik hitam besar yang ada di bawah mesin jahit lalu masuk ke kamar Caca. Dengan amarah yang tersulut Tari memasukkan semua baju-baju Caca ke dalam plastik. “Pergi kamu dari rumah ini! Kamu kira saya tidak mampu menghidupi Aruna dan mencukupi kebutuhan rumah ini?! Yang ada, kamu yang akan jadi gelandangan di luaran sana!” “Aaa!” jerit Caca ketika dia diseret dan di dorong keluar dari rumah. “Pergi! pergi yang jauh!” usir mama Tari setelah melemparkan plastik hitam berisi baju-baju milik Caca. Brak! Lalu pintu bercat merah tua itu ditutup kencang sampai berdembum. Caca memeluk plastik hitam yang tadi sempat mengenai wajahnya. Dia mengusap pelan kedua mata yang berair. Sedih itu sudah pasti, tapi jika tak melawan, entah sampai kapan dia akan terus menjadi babu di dalam rumahnya sendiri. Mungkin seperti ini akan lebih baik. Hhmm, maybe. Di tempat yang sama, di jarak yang lumayan jauh Va’as terpaku melihat tontonan di depannya. Mendadak ada rasa kasihan yang muncul di dalam hatinya sana. Sejauh ini dia merasa hidupnya terlalu banyak masalah dan mengesalkan karna mami Iren yang terus-terusan mendesaknya untuk menikah. Tapi ternyata … hidup Caca membuatnya mengaca. Mami Iren jauh lebih baik. “Ya Allah,” lirih Bu Rima yang sudah lama menjadi tetangga Caca. Dia melangkah menghampiri Caca, membantu Caca bangun. “Ca, pipimu ….” Dia menatap iba melihat pipi kiri Caca yang memerah dan terlihat ada cap jarinya. Caca tersenyum getir. “Enggak apa-apa, budhe.” Bu Rima mengusap dadanya. “Terus, kamu mau ke mana? Ini rumah peninggalan ibumu, Ca. si Tari sama Aruna itu yang harusnya keluar dari rumah ini, bukan kamu.” Caca menghela nafas, melirik ke arah rumah sederhana yang sudah dia tempati sejak kecil. Dia tak bisa mengusir dua keluarganya itu, tapi untuk tetap bertahan dan terus-terusan dimanfaatkan, Caca juga tak kuat. “Enggak apa-apa, budhe,” katanya, pasrah. “Aku boleh duduk sebentar di teras rumah budhe, nggak?” “Iya, ayok ke rumah budhe dulu.” Bu Rima menuntun Caca ke rumahnya. Membiarkan Caca numpang duduk di teras rumah. “Budhe nggak ada es batu buat ngompres pipimu, Ca.” Caca tersenyum lagi, tangannya mengusap pipi yang terasa perih. Lalu menggeleng kecil. “Aku nggak apa-apa kok.” “Kamu udah benar, Ca. Jangan terus-terusan ngalah. Tari bakalan makin semena-mena sama kamu. Tapi kalau membiarkan mereka tetap tinggal di rumah itu, itu juga salah, Ca.” bu Rima malah yang etrlihat gregetan sama tingkah ibu tiri Caca. “Sertifikat rumah itu di mana, Ca?” “Ada di dalam kamarku.” Bu Rima terlihat khawatir. “Lha kok kamu simpan di sana. Nanti kalau diambil Tari terus dijual gimana, Ca? Itu rumah sama tanahnya warisan dari kakekmu lho.” Caca terilihat tenang. “Semoga enggak, budhe. Seharusnya mereka nggak tau aku nyimpennya di mana.” Caca dan bu Rima menatap pada mobil warna merah yang berhenti di pinggir jalan. Tepat di depan halaman rumah bu Rima yang tidak luas. Dari mobilnya yang mulus dan bentuk mobil yang tidak pasaran sudah cukup menunjukkan jika pemiliknya bukan orang sembarangan. Bu Rima sampai beranjak dari duduk dan menatap dengan penasaran pada mobil itu. Tak lama kaca mobil di bagian kemudi bergerak turun, seorang lelaki yang duduk di sana menatap ke arah Caca yang tentu saja menatap padanya. “Masuk.” suruh si lelaki yang tak lain adalah Va’as. Bu Rima jadi menoleh, memerhatikan Caca yang wajahnya sama seperti dirinya, terkejut. “Ca,” panggilnya yang mengartikan jika bertanya tentang si pengemudi mobil itu. Caca terlihat bingung, tapi kalau nggak menuruti boss-nya itu, dia mau bagaimana? “Bentar, budhe. Aku bicara sama dia dulu.” Caca melangkah mendekati mobil itu. Dia berdiri tak jauh dari dari mobil Va’as. “Pak Jalvas dari tadi belum pergi?” Va’as melirik malas. “Masuk.” kembali dia mengulangi perintahnya yang tadi. Caca melirik ke arah kursi samping Va’as sana. Wajahnya terlihat kebingungan. Va’as jadi mengehela nafas kasar. “Masuk atau kamu kulempar di atas baleho sana?!” kesalnya. Caca tak menjawab, dia balik badan untuk mengambil barangnya. “Ca, dia siapa?” tanya bu Rima lirih. Caca mengambil tas dan plastik hitam berisi baju-bajunya. “Dia … dia boss di tempat kerjaku, budhe.” Kedua mata bu Rima melebar, reflek tangannya menutup mulut yang menganga. “Kamu pacaran sama boss-mu?” Cepat Caca menggelengkan kepala. “Enggak.” “Satu!” “Dua!” Di pinggir jalan sana Va’as menghitung dan ini membuat Caca menoleh dengan wajah kesalnya. “Aku pergi dulu ya, budhe. Jangan bilang ke mama kalau aku pergi ikut boss-ku,” pesannya. Bu Rima mengangguk dengan sangat meyakinkan. Dia meraih tubuh Caca, memeluknya. “Hati-hati, Ca. jangan lupa sama budhe ya.” Caca hanya mengangguk dan melangkah pergi meninggalkan halaman rumah bu Rima. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di sebelah Va’as. Mobil melaju pelan meninggalkan rumah Bu Rima, melewati rumah tinggal Caca yang sepi dengan pintu tertutup rapat. Caca menghela nafas setelah mobil menjauh dari kampung tempat tinggalnya. Dia menjatuhkan punggung ke sandaran kursi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. “Kita mau ke mana, Pak?” tanya Caca setelah menit berlalu hanya terlewati dengan diam. “Klinik.” Jawaban singkat yang membuat Caca menoleh cepat. Dia menatap heran, tak mengerti. “Klinik?” tanyanya, meminta penjelasan. “Buat syarat nikah sama itu.” Dia menatap pada pipi Caca yang memerah dan sudah sedikit membengkak. “Obati pipimu itu.” Caca menunduk, memegangi pipinya yang perih itu pelan-pelan. Menyadari sesuatu Caca jadi mengangkat wajah dan menatap Va’as lekat. “Syarat menikah?” Va’as melirik Caca yang terkejut. “Lupa?” Caca jadi menarik wajah dengan helaan nafas panjang. Perlahan dia menggelengkan kepala. Lalu kembali duduk tenang dengan punggung yang menyandar di kursi. “Pak Jalvas suka sama saya?” Chiit! “Aaa!” jerit Caca karna tubuhnya terpentok dashboard. Pertanyaan yang membuat Va’as mengerem mobilnya secara dadakan. Dia menatap Caca kesal dan … jijik. “Kamu kira kamu itu cantik?” Caca mengusap keningnya yang jadi sakit. “Iya, saya sadar saya jelek. Makanya saya nanya ke pak Jalvas. Kok bapak mau menikahi saya? Bahkan … bahkan saya saja nggak mau menikah sama pak Jalvas.” “Heh!” seru Va’as dengan nada tinggi. “Kamu baru saja diusir dari rumahmu sendiri, kan? Mau pergi kemana kamu dengan keadaanmu yang tak punya apa-apa ini? Tidur di rumah tetanggamu? Memangnya kamu nggak ngerepotin di sana?” Caca memberengut karna yang dikatakan Va’as memang benar. “Dari pada kamu jadi gelandangan tak jelas, lebih baik menikah denganku, kan? Kamu bisa tinggal di rumahku sesukamu. Dan aku bisa membuat mamiku diam karna sudah menikah. Bukankah kita akan sama-sama untung?” Va’as berdecak setelahnya. “Kamu yang untung, bukan aku,” lanjutnya lirih dan kembali menjalankan mobilnya. Kening Caca berlipat mendengar kalimat terakhir Va’as. “Pak Jalvas tidak akan meminta apa pun dari saya?” Kedua mata Va’as menukik. “Minta apa? Memangnya kamu punya apa sampai aku harus memintanya?” Caca tersenyum mendengarkan itu. “Oke, saya bersedia menikah dengan bapak.” Va’as menghela nafas. “Saya ini tidak sedang menanyakan kesediaanmu. Jangan ge-er kamu!” Caca tak menanggapi itu. Dia hanya melirik dengan wajah yang berbinar. Bahagia karna bisa bebas dari dua wanita di rumah itu. Apa lagi menjadi istri bossnya yang tidak akan meminta apa pun darinya. Dia tidak akan rugi di sini. Padahal awalnya Caca sudah membayangkan sebuah pernikahan kontrak yang mungkin menginginkan seorang anak dan akan membuatnya rugi. Cckk, ternyata dia salah. ** Di sini. Di KUA sini Va’as menjabat tangan seorang lelaki yang menjadi wali hakim di pernikahan. Caca tak memiliki keluarga lagi, jadi tidak perlu persetujuan dari siapa pun untuk menikah. “Saya terima nikah dan kawinnya Carmilla Arlivia binti Yudi Hartono untuk saya dengan mas kawin uang senilai dua ratus juta dibayar tunai.” “Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak penghulu. “Sah!” “Saah!” semua menyahuti, termasuk mami Iren yang menyaksikan ijab kobul putranya. “Alhamdulilahirobil’alamin ….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN