'Aku harus ke mana?'
Elif menengadah ke langit dengan tangan menyilang di d**a. Berharap siang ini hujan turun lebat seperti semalam, agar wanita itu dapat bersembunyi di baliknya.
Ya, jika di bawah guyuran, siapa yang mampu membedakan air mata dan air hujan yang bercampur di pipinya.
Namun, sepertinya angan tak pernah jadi kenyataan. Sebab bumi tengah begitu hangat dipeluk matahari.
Elif pun bisa merasakan panas yang merasuk pada kedua kaki telanjangnya.
"Apa aku pulang ke rumah saja?"
Elif tersenyum getir, rumah gubuk yang ditinggal puluhan tahun lalu, masihkah ada hingga hari ini?
Tidak. Elif menggelengkan kepala. Untuk dapat melihat bekas rongsokannya saja, wanita itu merasa terlalu berlebihan.
Lalu, ke mana kaki mungil itu hendak melangkah? Arah mana yang akan dituju dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Tidak mungkin 'kan dia mengikuti arah mata angin?
Mencari kerja?
Secepat itu?
Tanpa ijazah, tanpa alas kaki, tanpa apapun selain pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Jangankan kesiapan fisik, kesiapan mental pun Elif belum punya.
Hatinya baru saja patah, mungkin di dalam sana luka sudah berdarah-darah. Dikhianati, disuruh pergi setelah dihina sedemikian keji.
Harusnya Elif berada di suatu tempat untuk menenangkan diri. Misalnya, liburan, atau berdiam diri di sebuah tempat yang aman serta mendamaikan. Bukan berpikir untuk sebuah pekerjaan.
Iya 'kan?
Tentu saja tidak untuk Elif Sabrina. Memangnya tempat seperti apa yang akan menerimanya dalam keadaan semengenaskan itu?
Mati.
'Apa aku mati saja. Aku sudah tidak mampu berpikir dengan baik untuk kehidupan selanjutnya.'
Elif menghirup udara dalam-dalam. Sekelabat bayangan orangtuanya tetiba menari-nari dalam pikiran.
"Ibu doakan saat besar nanti Elif jadi anak yang sukses dan berbakti pada orangtua."
Ucapan terindah ibu Elif di suatu ketika, saat penyakit mulai semakin ganas menyerang sel-sel dalam tubuhnya. Namun, Elif belum mengetahuinya.
"Nak, sekeras apapun hidup. Jangan pernah menyerah dan menyalakan takdir. Bagaimanapun keadaannya, tetap berbaik sangka pada Tuhan. Jangan mudah berputus asa, sebab senantiasa Tuhan telah mempersiapkan rencana-rencana indah yang akan menghampiri kita nantinya dengan cara yang tidak mampu kita duga."
Nasehat bijak ayah pada suatu hari, ketika Elif masih belum bisa lepas dari keterpurukan setelah kepergian sang ibu.
Kenapa kalian begitu jahat. Saat sudah tidak lagi bersama pun kalian harus menyiksaku dengan melarang apa yang ingin aku lakukan.
Kenapa? Harusnya jika ingin menasehati, kalian tetap berada di sini, di sampingku. Bukan malah pergi meninggalkanku dalam keadaan hancur seperti ini.
Kenapa?
Batin Elif menjerit. Tangisnya tak lagi mampu ditahan. Elif hanya tengah menyalurkan kebenciannya pada dua orang terkasih yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya.
Itu garis takdir. Tapi, akal sehat Elif seolah tidak berfungsi dengan baik saat ini. Dia bahkan tidak lagi peduli pada tubuh terguncang yang semakin menjadi perhatian orang-orang.
Hidupku memang sudah hancur sejak aku menginjakkan kaki di rumah itu. Apalagi yang harus diperbaiki? Tidak ada lagi yang tersisa, selain menunggu kematianku saja. Menurutnya.
"Elif?!" pekik seseorang panik.
Elif mendongak, saat merasa ada yang mengguncang tubuhnya.
"Hil–ya," ujar Elif terbata.
"Elif ya ampun. Apa yang terjadi?"
Hilya menatap tidak percaya pada pemandangan di hadapannya kini. Sahabatnya, berdiri di pinggir jalan dalam keadaan sangat kacau dan menjadi perhatian orang-orang yang lalu lalang.
"A–ku ... ak—"
Elif tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Tapi, bulir bening yang kembali mengucur deras membuat Hilya menemukan sebuah jawaban.
Yang intinya, Elif sedang tidak baik-baik saja. Dan sekarang bukan saat yang tepat untuk menghakiminya dengan banyak pernyataan yang akan membuat hatinya semakin terluka.
"Sudah, jangan dipaksakan. Ayo kita ke mobil, di sini panas," ajak Hilya. Dan Elif hanya menurut saja.
Dalam hati, Elif bersyukur karena bertemu dengan Hilya. Salah satu sahabat yang baru kemarin siang bertemu setelah sekian lama berpisah oleh jarak dan keadaan.
Baru kemarin mereka bergurau dengannya dalam pembahasan-pembahasan ringan yang mampu membuat Elif melupakan sejenak luka hatinya.
Tapi, siapa sangka, hari ini Hilya menemukan Elif dalam kondisi yang macam apa? Sepertinya, semesta memang tidak mengizinkan Elif berpura-pura bahagia di depan para sahabatnya.
Sebab terkadang, luka memang bukan untuk dipendam sendiri. Siapapun butuh berbagi, barangkali pada kepala-kepala orag lain terdapat solusi, atau setidaknya mereka akan menjadi pendengar yang baik, dan kita akan merasakan ringan, setelahnya.
"Kita ke kafe? Pantai? Atau ke mana pun. Aku akan mengantarmu," tawar Hilya memecahkan keheningan saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Namun, Elif hanya menggeleng lemah.
"Eum, apa ingin pulang?" tanya Hilya kembali yang menyebabkan tangis Elif kembali pecah.
"Aku mengenalmu dari dulu. Apa kau sedang ada masalah dengan suamimu? Kalau tidak keberatan, ceritalah! Atau katakan kau ingin apa, ke mana," ujar Hilya lembut sembari menepuk-nepuk pundak sahabatnya.
"Ak–u pergi, tanpa diizinkan membawa apapun. Se–ka–rang aku tidak punya rumah dan tidak punya siapa-siapa. Aku tidak tahu harus kemana, hiks."
Beberapa saat Hilya tertegun. Mencoba mencerna ucapan Elif dengan susah payah.
"Ya ampun Elif. Jangan berkata seperti itu. Kau masih punya aku dan yang lainnya. Aku saudaramu Elif, kita semua saudara. Tolong jangan berkata kau tidak punya siapa-siapa."
Hilya memeluk Elif dengan erat. Setetes bulir bening lolos dari sudut matanya. Ingin sekali gadis itu bertanya, apa yang sudah menimpa rumah tangga sahabatnya.
Tapi, sekali lagi gadis itu menahan diri. Sikonnya tidak tepat sama sekali. Yang jelas hatinya tergores kala mendengar penuturan Elif barusan.
'Elif tidak pernah sekacau ini. Awas saja. Jika sampai telah terjadi sesuatu dengan sahabatku. Aku akan sangat membenci laki-laki itu,' batinnya tak terima.
Setelah merasa Elif lebih tenang. Hilya melepas pelukannya.
"Sekarang kita pulang ke rumahku ya! Jangan menangis lagi! Kamu tidak sendirian, apapun yang terjadi ceritakan padaku, walau tidak sekarang."
"Tapi ... apa tidak merepotkanmu?"
"Tentu saja tidak, Elif Sabrina. Kecuali, jika kau menganggapku orang asing, baru pantas kau berkata begitu." Hilya sengaja memasang tampang kesalnya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Terima kasih banyak, sebelumnya."
"Nih, hapus air matamu! Kalau lagi sedih kau bisa berubah seformal itu ya."
Hilya menyodorkan kotak tisu pada sahabatnya. Sesaat suasana mulai mencair, tak lagi sekaku tadi. Elif tersenyum walau terkesan hambar. Sebelum akhirnya, mobil yang membawa mereka melaju dengan kecepatan standar membelah jalanan kota.
Lagi-lagi wanita yang hampir putus asa beberapa saat yang lalu itu bersyukur, dipertemukan dengan orang-orang seperti Hilya dalam hidupnya.
Di samping manusia keji seperti Ammar yang ikut memberi warna gelap dalam kehidupan Elif. Ada teman yang tidak keberatan menyebut dirinya sebagai saudara untuk seseorang yang malang seperti Elif.
Elif sadar, selama ini menjalani hidup dari belas kasih orang lain. Yang akhirnya harus kembali ia lepas pada lebih berhak. Siapa lagi, kalau bukan suami yang berhasil membunuh batin Elif untuk ke sekian kalinya.
.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ammar terbangun dari lelapnya. Sesaat laki-laki itu tampak bingung dan memperhatikan sekeliling dengan saksama.
Menit kemudian, dirinya tersadar, setelah melihat barang-barang di atas meja. Ternyata dirinya sedang di apartement. Entah berapa lama laki-laki itu menunggu Elif kembali, sampai tertidur di sofa.
Yang jelas, saat terbangun seseorang yang Ammar tunggu belum tertangkap oleh mata.
Setelah mengumpulkan nyawanya, gegas Ammar memeriksa setiap sudut ruangan, mulai dari kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Tapi, nihil. Elif Sabrina tak ditemukan di sana.
Seketika dia teringat percakapan terakhirnya dengan Elif.
"Aku hanya ingin menyampaikan satu hal sebelum kau pergi. Barangkali kau sudah lupa. Tidakkah apa kau bawa itu milik keluargaku. Kunci mobil, pakaian, ponsel, bahkan uang yang kau dapatkan itu hasil bekerja di perusahaanku dengan ijazah sarjana yang juga kau peroleh karena belas kasih keluargaku.
Kau masih ingat 'kan, apa yang kau bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku? Jadi, jika berkeras ingin pergi, maka pergilah tanpa membawa apapun."
Ammar mengacak rambutnya kasar. Benar-benar tidak habis pikir dengan istrinya itu.
"Ck, dia benar-benar pergi. Tapi, ke mana? Apa ke rumah Mama?"
Seketika Ammar meraih ponselnya dan mencari kontak 'Pak Imran', petugas keamanan di rumahnya.
Kalau Elif pulang ke rumah tentu saja pak Imran tahu, karena beliau bertugas menjaga gerbang di kediaman mereka. Menurutnya.
Kenapa bukan pada Ny. Risma? Ammar tidak akan melakukan kesalahan itu. Mamanya sudah sangat kesal dengannya semenjak Elif pergi dari rumah.
Kalau Ammar menghubungi wanita yang sudah melahirkannya sekarang untuk menanyakan Elif, mungkin saja mamanya berbohong 'kan. Begitu pikir Ammar.
"Halo, Pak Imran," sapa Ammar saat panggilan terhubung.
...
"Apa Elif ada ke rumah?"
...
"Pak Imran yakin?"
...
"Baiklah. Tolong jangan bilang sama mama kalau aku menghubungi pak Imran menanyakan Elif!"
Tut.
"Argh ...! Aku tidak peduli, mau dia mati pun aku tidak peduli!"
Ammar terduduk lemas di sofa. Seketika pandangannya jatuh pada sepatu dan barang-barang lainnya yang tadi Elif tinggal bersama perasaan yang telah lama tak berbalas.
Elif pergi hanya membawa dirinya sendiri dengan segudang rindu yang telah berhamburan dibawa angin, tak berarah tak bertujuan.
Barangkali Elif tak sampai membenci, tapi seiring waktu tempat untuk Ammar di hatinya telah terkikis dengan rapi.
Kosong. Jiwa istrinya tak lagi terisi. Ammar sendiri yang memiliki peran besar dalam mengosongkannya.
'Dia bahkan tidak memakai alas kaki dan membawa ATM.'
'Bagaimana kalau dia lapar dan ... bagaimana kalau ada yang mengganggunya,' batin Ammar tidak tega.
Tak ingin berpikir terlalu lama, Ammar meraih jas dan kunci mobilnya, lalu pergi dengan tergesa.
"Awas saja kalau dia sampai kenapa-kenapa," makinya tidak terima.
Aneh.
Bersambung ...