Andhara menghela nafas panjang, ia melepaskan snelinya lalu menggunakannya untuk menyelimuti sosok yang sudah tidur bersandar di kursinya itu. Ia tersenyum kecut, sejenak ia menatap wajah yang telah terpejam erat itu, air mata Andhara tiba-tiba menitik, tidak ia sangka bahwa lelaki yang terlihat tangguh dan tegar itu ternyata menyimpan duka yang sama dengan dirinya.
Andhara menyusut air mata yang menitik membasahi pipinya, kenapa cinta sekejam itu? Kenapa cinta tega mengorbankan perasaan dan hidup seseorang? Kenapa hidup mereka harus sedemikian keras dan menyakitkan seperti ini?
Andhara mengelus lembut pipi gadis itu, diciumnya dengan lembut, lalu dibisikinya dengan lirih, "Cecil, cepat bangun ya, nanti Dokter ajak jalan-jalan. Sekarang Cecil istirahat dulu ya, Dokter izin pulang ya, Sayang."
Andhara kembali tersenyum, ia kemudian melangkah dengan hati-hati meninggalkan bapak-anak itu di sana. Sekuat tenaga ia menahan air matanya. Ternyata ia tidak sendirian, di sisi lain ternyata ada juga korban cinta yang bernasib sama sepertinya.
"Sus, saya pulang dulu ya, ini nomor w******p saya, tolong kalau ada apa-apa pada Cecil, saya dihubungi ya, Sus."
Perawat itu tampak tersenyum, ia menerima nomor itu lalu memasangnya di papan yang ada di mejanya, "Baik, nanti saya hubungi, Dokter," gumannya sambil tersenyum, "Ngomong-ngomong, Dokter Yudha apakah masih di dalam, Dok?"
"Masih, beliau sedang istirahat, saya suruh kembali ke kamar tapi beliaunya keras kepala menolak. Saya pamit dulu ya, Sus!" Andhara tersenyum, ia kemudian melangkah menyusuri lorong rumah sakit guna menuju tempat di mana ia memarkirkan mobilnya.
Andhara menghela nafas panjang, ia bergegas masuk dan menghidupkan mesin mobilnya, membawa mobil itu keluar dari halaman parkir RSUD terbesar di kota ini. Jalanan sudah mulai sepi, Andhara menyusuri jalanan untuk segera kembali ke kontrakannya, ia sudah cukup lelah, harapannya tidak ada lagi cito yang harus ia handle.
***
Andhara sudah sampai di depan rumah kontrakannya, ia bergegas mematikan mobilnya dan melangkah masuk kedalam rumah. Rasanya mandi sejenak tidak ada salahnya bukan? Sudah sejak tadi pagi ia belum mandi lagi, dan ini sudah pukul setengah dua belas.
Andhara bergegas melankah ke kamar mandi, tubuhnya terasa begitu lengket luar biasa, guyuran air membuat tubuhnya sedikit lebih dingin dan sejuk. Rasanya setelah ini ia bisa tidur dengan begitu lelap. Setelah mencuci muka dan gosok gigi, Andhara bergegas keluar dan mengeringkan tubuhnya. Tak perlu waktu lama, ia sudah siap dengan setelan piyamanya, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamarnya.
Kenapa ia malah tidak bisa tidur sekarang? Kenapa pikirannya malah kembali pada saat dimana sosok itu menangis sesegukan menceritakan semua pengalaman buruk yang ia alami itu?
"Anda bertanya di mana mama Cecilia?" tanya sosok itu sinis.
Andhara tertegun, kenapa sorot mata misterius itu makin menyeramkan? Tampak sangat jelas di mata itu berkobar dendam yang luar biasa, sebenarnya ada apa?
"Mungkin Anda kenal dengan dia, atau setidaknya pernah melihat dia di papan reklame, surat kabar atau majalah fashion," guman sosok itu kemudian sambil tersenyum sinis.
"Jadi isteri Anda seorang model?" tanya Andhara hati-hati.
"Izinkan saya mengkoreksi, Dok, mungkin lebih tepatnya mantan isteri."
Andhara tersentak mendengar apa yang barusaja keluar dari mulut laki-laki itu. Jadi dia dan isterinya itu sudah bercerai? Pantas saja ia tampak tidak suka ketika ANdhara mempertanyakan di mana keberadaan mama Cecilia ketika kondisinya koma seperti ini.
"Maafkan saya, Dok. Saya tidak bermaksud untuk ...,"
"Namanya Liliana Andalusia jika Anda ingin tahu siapa wanita itu, Dokter," potong Yudha cepat.
Andhara tersentak, jadi fotomodel terkenal itu mantan isteri dokter ini? Mama dari Cecilia? Pantas saja paras Cecilia begitu cantik rupawan macam ini. Andhara tersenyum kecut ketika mengetahui ternyata sosok mantan isteri sejawanya itu adalah seorang foto model kenamaan.
Andhara hanya menghela nafas berat, tampaknya ia sudah salah bicara hingga membuat paras laki-laki itu tampak begitu muram, matanya memerah. Andhara tahu betul, laki-laki itu terluka.
"Sekali lagi saya minta maaf, Dokter."
"Tidak apa-apa, sudah sangat manusiawi jika Anda menanyakan hal tersebut, Dok."
Andhara melirik sejenak sosok itu yang masih tampak begitu payah itu, matanya memerah. Membuat Andhara makin merasa bersalah. Ia menjadi kikuk dan bingung harus melakukan atau berbicara apa, ia takut kembali melakukan kesalahan.
"Apakah wanita di zaman sekarang, setelah masa emansipasi, mereka cenderung lebih mementingkan karier dan popularitasnya dibanding suami dan anak kandungnya sendiri, Dok?" Yudha tersenyum kecut, ditatapnya Andhara yang masih membeku di tempatnya duduk itu.
"Tidak semua, Dok. Bahkan ada beberapa dari mereka yang rela melepas karier dan posisinya hanya demi anak dan suaminya," guman Andhara lirih.
"Berarti saya pas apes gitu ya, Dok," Yudha terkekeh, ia menengadahkan kepalanya menataap langit-langit ruangan, "Dia pergi hanya demi mengejar karier dan popularitasnya. Saya tidak masalah dia pergi meninggalkan saya demi karier dan kekasih barunya itu, namun yang sampai sekarang masih belum bisa melupakan adalah bagaimana ia bisa tega meninggalkan begitu saja Cecilia yang bahkan dulu masih berusia enam bulan."
Andhara tertegun, ditatapnya laki-laki itu dengan seksama. Matanya memerah, dan Andhara tahu laki-laki itu tidak sedang mengarang atau mendongeng. Jadi seperti itu? Kisah hidup laki-laki itu serumit itu? Apakah itu yang kemudian menjadikan dia begitu kaku dan killer terhadap juniornya? Pelampiasan terhadap luka yang menggores hati dan perasaanya?
Entah dari mana keberanian itu, Andhara sontak mengelus lembut pundak sosok dokter bedah tulang itu. Yudha tampak tersentak, mata mereka kembali bertemu sesaat hingga kemudian Andhara menyungingkan senyumnya.
"Saya percaya Anda kuat, Dok. Anda laki-laki yang luar biasa, dan saya percaya pula semua pengorbanan Anda untuk Cecilia besok tidak akan pernah sia-sia."
Yudha ikut tersenyum, air matanya menitik. Sontak ia segera menyeka air mata yang menitik membasahi pipinya itu.
"Saya harus tetap kuat apapun yang terjadi, Dok. Cecilia butuh saya, hanya saya yang ia punya sekarang."
***
Yudha mengerjapkan matanya, ia mengangkat kepalanya dan mendapati ruangan itu sudah kosong. Hanya ada dia dan Cecilia. Yudha tertehun ketika menemukan snelli itu menutupi tubuhnya. Diraihnya snelli yang begitu bersih dan harum itu, sontak Yudha tersenyum. Bayangan wajah dan senyum pemilik snelli itu tiba-tiba menganggunya. Kenapa Yudha begitu tertarik untuk tahu lebih dalam mengenai sejawatnya itu?
Yudha mencium snelli itu, diremasnya lembut lengan snelli itu. Ia kemudian menyampirkan snelli itu ke bahunya, bangkit dan mencium lembut pipi Cecilia yang tampak masih begitu tenang dan pulas dalam tidur panjangnya itu.
"Papa balik ke kamar dulu ya, cepat sadar Sayang."
Yudha tersenyum, lalu bergegas pergi dari ruangan itu. Ia mampir ke nurse station guna mencari si pemilik snelli yang bertengger di bahunya itu.
"Sus, Dokter Andhara kemana?" tanya Yudha pada perawat jaga.
"Beliau sudah pamit pulang sejak tadi, Dok."
"Kira-kira beliau bilang nggak kapan mau balik ke sini?"
"Tidak, cuma beliau meninggalkan nomor telepon beliau dan minta dihubungi untuk laporan perkembangan Cecilia, Dok."
Sontak mata Yudha berbinar-binar cerah, "Boleh saya minta nomornya?"