Aska menelan makanan dengan susah payah, seolah nasi gorengnya telah berubah menjadi kerikil. Hatinya berdenyut sakit, tapi ekspresinya masih saja dingin. Dia sangat ingin membantu Winny, tapi dia tahu sang istri akan bereaksi seperti itu ketika dibantu. Dia tidak tahan melihat kebencian di matanya, maka menjauh menjadi pilihan.
Winny melakukan respirasi singkat untuk meredakan gejolak di d**a karena amarah. Dia perlahan bangkit, berjalan tertatih menuju ruang makan, lalu duduk di kursi depan Aska dengan kepala tegak penuh arogansi, seolah yang tadi jatuh bukanlah dia. Sayangnya, suami posesif itu telah menangkap rasa malu yang coba disembunyikannya.
Entah mengapa, Aska melihat kesombongan Winny sebagai sesuatu yang imut. Wanita itu seperti anak kucing liar yang menutupi rasa takut dengan menunjukkan cakarnya. Bukan menjauh, orang lain justru ingin memeluk atau sekadar mengusap bulu lembutnya. Walaupun saat ini hanya cakaran yang didapatnya, dia yakin akan datang hari saat si kucing liar mendengkur manja di pangkuannya. Tapi, itu pasti membutuhkan waktu yang sangat lama, kan?
Winny menatap makanan di meja dengan malas, seolah tidak nafsu makan. Tapi dalam hatinya: “Ya Tuhan.... Semua ini makanan kesukaanku! Aku ingin makan dengan lahap, tapi nanti out of character! Oh… aku benar-benar lapar! Tapi masih harus berpura-pura tidak nafsu makan! Ini siksaan yang sangat kejam!”
"Apa ada yang salah dengan makanannya?" tanya Aska ketika memerhatikan Winny hanya makan sesuap, lalu membolak-balik makanan dengan tidak nafsu.
Berhadapan dengan makanan harusnya membuat amarah Winny lenyap, tapi karena tidak bisa menikmatinya dengan nyaman, dia malah menjadi semakin marah. Ketika dia marah atau kesal, orang lain harus lebih marah dan kesal darinya, barulah dia akan puas. Apalagi sumber marahnya adalah si suami posesif, yang masih berani bertanya setelah mengabaikannya yang terjatuh. Bukankah pria ini mengundang perang?
"Ini bukan tentang apa makanannya, tapi dengan siapa memakannya. Sekalipun makanan terbaik disajikan di depanku, tapi jika teman makanku adalah pembunuh ayahku, apa menurutmu, aku bisa memakannya dengan nyaman?”
Jejak keimutan Winny di benak Aska pun lenyap. "Sudah berapa kali kukatakan, bukan aku yang membunuh ayahmu."
"Kalau bukan kau, lalu siapa lagi? Kau yang terakhir bersamanya di ruangan itu!”
“Ayahmu memang sudah sakit. Aku ada di sana untuk mendengar wasiat terakhirnya.”
“Mendengar wasiat, atau memaksanya membuat wasiat terakhir itu?”
“Terserah!”
“Kau memaksanya. Kau selalu seperti itu. Pemaksa, serakah dan sangat sombong. Kau membunuh ayahku untuk mendapatkan perusahaannya. Sebelumnya juga kau telah menjebaknya dalam permainan saham, sehingga dia terlilit hutang.”
Aska dalam hatinya: “Itu ulah sekretaris dan ibu tirimu.”
“Belum cukup puas dengan itu, kau juga memaksa ayahku membuat wasiat agar kau menikahiku, dengan dalih untuk membantuku melunasi hutang, padahal kau menginginkan perusahaan ayahku yang saat itu telah beralih kepemilikan menjadi atas namaku.”
“Apa kau pikir aku tertarik dengan perusahaan yang hampir bangkrut itu? Aku sudah cukup puas dengan Triple A milikku.”
“Perusahaan yang hampir bangkrut itu telah membuat antrian pembeli, dengan harga penawaran fantastis. Perusahaan ayahku bukan perusahaan kecil, sekalipun tidak ada apa-apanya dibandingkan perusahaanmu yang telah mencapai mancanegara.”
Belum sempat Aska membalas, Winny telah menyela kembali.
“Perusahaan ayahku telah berdiri lama sejak generasi kakek buyutku. Diwariskan turun temurun ke setiap putra terbaiknya. Perusahaan itu telah menangani ratusan proyek dan menjalin kerja sama dengan banyak relasi. Tidak ada satu pebisnis pun di negeri ini yang tidak mengenal Aratex. Bahkan pakaian yang kau pakai saat ini adalah keluaran Aratex.”
Winny memegang erat garpu di tangan, lalu sedikit mencondongkan badannya ke depan. Dia menatap tajam Aska di seberangnya, tidak memberi kesempatan lawan untuk menyela.
“Saat semua orang membicarakan kosmetik Triple A milikmu, mereka tidak lupa menyandingkannya dengan fashion Aratex milik perusahaan ayahku. Brand kami telah ada sejak lama, dan itu belum mati sampai sekarang. Sekalipun akan bangkrut, aku tetap bisa hidup nyaman selama tiga generasi jika perusahaan itu dijual. Jadi, jangan pernah meremehkan Aratex. Apa Anda paham, Bapak Aysar Aska Aozora?”
Aska tertegun karena pertama kalinya mendengar Winny bicara sepanjang itu sejak setahun pernikahan mereka. Wanita itu bahkan memanggil namanya dengan lengkap. Sekalipun tahu perbincangan panjang ini bertujuan memojokkan dan mempermalukannya, tapi dia tetap senang karena sang istri selalu menatapnya selama perbincangan berlangsung. Dia sangat bahagia dan tidak tahu kalimat apa yang cocok menggambarkan suasana hatinya saat ini.
Si posesif Aska pun hanya bisa bergumam tidak jelas, lalu menunduk untuk menyembunyikan senyum. Apa ini bisa dibilang kemajuan dalam hubungan mereka?
Melihat Aska menunduk sembari bergumam tidak jelas, Winny berpikir pria itu merasa malu karena kalah berdebat. Dia pun tersenyum puas, merasa menang atas perdebatan sepihak tersebut. Setidaknya dia telah melampiaskan kesal dengan bicara panjang lebar. Sekarang dia bisa makan dengan nyaman.
Aska kembali tertegun ketika melihat senyum singkat Winny. Jantungnya berdebar gila-gilaan karena terpesona. Ini juga pertama kalinya dia melihat istrinya tersenyum. Sekalipun senyuman itu hadir karena kekalahannya, itu tetaplah sebuah senyuman. Dengan bodohnya, dia mengabadikan senyuman singkat itu baik-baik di benaknya.
Jika dengan kalah dalam perdebatan bisa membuat senyuman sang istri terbit, Aska rela kalah selama sisa hidupnya. Jika akhir dari omelan panjang lebar sang istri adalah seulas senyum manis, dia rela diomelin sepanjang hidupnya. Sepertinya relasi-relasi bisnisnya salah, tentang omelan istri yang bagaikan nada sumbang atau radio rusak. Bukankah omelan istri itu seperti nyanyian merdu yang membuat candu? Buktinya, Aska ingin diomelin lagi jika itu berarti bisa melihat senyuman sang istri. Apapun rela dia lakukan demi senyuman sang istri.
Sementara Aska memikirkan senyuman Winny, pemilik senyuman malah memikirkan: “Makanan ini sangat enak! Lebih enak dari masakan Mommy Oki.”
Ketika keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing, seorang pelayan datang dan melaporkan, "Tuan, di depan ada tamu yang mengaku teman Nyonya Winny."
"Siapa?" tanya Aska, yang nada lembutnya hampir membuat pelayan terkena serangan jantung.
"Nona Rulma Lane."
Winny menyeringai. “Itu nama teman parasit yang selama ini mempengaruhi Kakak untuk membenci Aska. Kakak tidak tahu saja kalau Gulma ini sebenarnya ngiler pengen jadi istrinya Aska. Ckckck... benar-benar parasit. Baiklah. Karena selama ini si Gulma telah memanfaatkan Kakak, sekarang giliranku untuk memanfaatkannya.”
“Bukankah sudah kubilang, jangan berteman dengannya?"
Winny merinding karena mendadak suara Aska melembut. Meskipun tidak terlalu ramah, tapi untuk ukuran si kutub es Aska, nada bicara itu sudah terkesan hangat.
"Sudah, tapi aku akan melakukan apapun yang kau larang."
Karena senyuman Winny masih terbayang di benak, Aska tidak merasa kesal dengan perlawanan wanita itu. Dia hanya berkata kepada pelayan, "Usir wanita itu."
"Aku akan menemuinya," ujar Winny.
"Jangan menemuinya. Dia tidak baik."
"Apa yang baik menurutmu, belum tentu baik menurutku, jadi kenapa aku harus mengikuti standar baikmu?”
“Tetap saja, kau tidak boleh menemuinya.”
“Kami berjanji berbelanja bersama hari ini.”
“Aku akan meminta Tian membawa pakaian di Mall yang bisa kau pilih. Apa kau ingin berbelanja tas? Sepatu? atau perhiasan? Aku juga akan memintanya membawakan semuanya ke rumah nanti.”
Winny mendengkus. “Itu bukan berbelanja, tapi memindahkan pusat perbelanjaan.”
“Sama saja.”
“Aku ingin keluar rumah. Aku stres terkurung di sini.”
Aska mengernyit, jejak curiga mulai muncul lagi. “Sebenarnya kau hanya ingin kabur dari rumah, kan?”
“Siapapun pasti ingin kabur kalau punya suami gila sepertimu.”
“Oh, jadi benar kau ingin kabur dari rumah? Kau ingin menemui mantan pacarmu itu? Apa senyuman ramah tadi malam adalah kode untuk janji bertemu hari ini?”
Winny tertawa kecil, walau jantungnya berdebar cepat karena pikiran posesif Aska mulai menggila lagi. “Kau terlalu banyak berpikir. Aku hanya ingin berbelanja dengan Rulma selama sehari saja.”
“Tidak!”
“Anggap saja ini kompensasi atas p*******n tadi malam."
"Winny!"
Senyum Winny pun luntur di benak Aska, dan nada dinginnya yang biasa telah kembali lagi. Seperti dugaan, memang susah bicara baik-baik dengan istrinya ini.
“Apa? Kau tidak tahan dengan kata p*******n?” Winny tersenyum sinis.
Aska mengendurkan dasinya karena mulai merasa sesak. Tidak ingin terus berdebat dengan Winny, dia berdiri, lalu memerintah pelayan, "Aku ke kantor sekarang. Awasi Nyonya-mu agar tidak pergi dari rumah."
"Baik, Tuan."
“Kau mau mangkir dari tanggung jawab p*******n tadi malam?” Winny juga berdiri, menghalangi jalan Aska.
“Minggir.”
“Bahkan seorang p*****r mendapat bayaran tinggi ketika ditiduri, tapi kau tidak mau memberiku sedikit saja kompensasi?”
"Winny Anastasia!"
"Aku tidak butuh uang. Aku ingin menukarnya dengan kebebasanku.”
“Menyingkir. Sekarang. Juga.”
“Kau tidak mau memberiku kompensasi, apa artinya aku lebih rendah dari seorang p*****r?”
“Minggu depan!” Aska meninju dinding di sebelah pintu yang berada di belakang Winny. “Kau bisa pergi minggu depan.”
Menggemeretakkan gigi untuk menahan marah, Aska mengabaikan buku jarinya yang kembali berdarah, lantas sedikit menggeser Winny yang menghalangi jalan.
“Kenapa harus minggu depan? Aku ingin sekarang!”
Bertolak belakang dengan nada lantangnya, Winny dalam benak justru berpikir, “Aku tahu ini mencari kematian, tapi aku harus melakukannya karena beginilah karakter Kakak.”
Pemikiran Aska: “Kau masih sakit, tapi memaksa ingin pergi hari ini? Apa kau benar-benar ingin pergi dariku?”
Aska berhenti melangkah, lalu balik badan. Jika tatapan bisa membunuh, maka Winny sudah dipastikan mati sekarang.
“Kau mau pergi dengan semua tanda itu?”
Winny menatap jejak yang ditinggalkan Aska, lalu berdeham pelan karena merasa malu. Tanpa menjawab, dia duduk kembali dan lanjut makan.
Aska menghela napas. Baru mengambil dua langkah, sang istri kembali memanggilnya.
“Hei, Aska.”
“Apa lagi?”
“Obati tanganmu.”
“...” Aska tertegun. Amarahnya menguap karena perhatian kecil Winny.
“Darahnya menetes di lantai. Itu kotor dan menjijikkan.”
Sekalipun tahu bukan perhatian akan lukanya yang dipedulikan oleh Winny, tapi Aska tetap merasa senang karena sang istri tahu dia terluka. Bergumam rendah, “Hemm...” lantas dia keluar rumah dengan sisa senyuman tipisnya.
Suasana hati Aska selalu berfluktuasi jika terkait istrinya. Bagaimana dia bisa begitu mudah marah dan begitu cepat pula memaafkan? Dia pasti sudah gila, seperti kata Winny. Tapi jika kegilaan ini karena sang istri, itu tidak jadi masalah, kan?
“Sepertinya ada hal baik yang terjadi, Pak?” tanya Tian, selaku sekretaris Aska, sembari membukakan pintu mobil untuk bosnya.
“Ya. Aku melukai tanganku.”
Saat Tian bingung melihat bosnya bahagia karena tangan yang terluka, si penyebab luka sedang makan pancake dengan lahap walau tangannya gemetar.
“Huwaaaa... suamiku sangat menyeramkan saat marah... kenapa dia suka memukul dinding ketika marah? Apa dia tidak tahu kalau aku fobia darah? Astaga, bagaimana ini? Tanganku terus gemetar dari tadi.”
Sementara itu, ponsel Winny bergetar tanda masuk satu pesan baru dari nomor tak dikenal: Hai, Win. Ini Kai. Apa kita bisa bertemu? Ada yang ingin aku katakan.
***