Rose menghentikan langkahnya sebelum mencapai parkiran, karena sosok tinggi yang sedang bersandar disamping mobilnya terlihat begitu mengejutkan, siapa lagi jika bukan Dion.
Rose menatap sekeliling dan memastikan bukan hanya mereka berdua di sana, sebelum berani bergerak mendekat. Bagaimana pun, dia membuat Dion sangat marah di kantin dan Laura pasti akan melaporkan kejadian di depan lift.
Dion adalah salah satu mahasiswa paling populer di kampus, dia tinggi, tampan dan kaya. Hanya bersandar santai di sana sudah cukup untuk menarik perhatian beberapa mahasiswi yang lewat.
Tapi, bagi Rose, penampilan Dion masih kalah tampan dari Adam. Walaupun karakter Dion lebih aktif dan mudah berbaur daripada Adam.
Meski begitu, tak berbeda jauh dari gadis lain, Rose juga merasakan detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dan pesona pria itu cukup untuk membuatnya ingin berdiri lama hanya untuk melihat. Karena ketika keduanya membuka mulut, ketenangan seperti ini tidak akan terjadi.
Tapi tidak mungkin dia benar-benar berdiri seperti orang bodoh di parkiran. Dia menghela napas dan mendekat. "Apakah matahari terbit dari barat hari ini? Mengejutkan sekali melihatmu datang menemuiku tanpa membawa Laura."
Begitu mendengar nada sarkastik dari Rose, Dion sekuat tenaga menahan amarahnya, lagipula dia datang bukan untuk membuat masalah semakin rumit. "Kunci mobilnya."
Rose mengangkat alis. "Mau pulang bersama?" tanyanya.
Dion mengangguk sebagai tanggapan dan menengadahkan tangan untuk meminta kunci.
Rose merasa curiga, apakah Dion sedang merencanakan balas dendam dengan membawanya ke tempat tertentu. Tapi dia masih memberinya kunci dan masuk ke dalam mobil.
"Aku sedang tidak ingin bertengkar di mobil, jadi usahakan untuk tidak berbicara hingga kita sampai di rumah," kata Dion dengan serius.
Rose hanya mengangkat bahu dan benar-benar menutup mulutnya selama perjalanan pulang. Tapi, setibanya di rumah, keduanya tidak sempat berbicara apa-apa, karena tamu tak diundang telah menunggu mereka di gerbang.
Begitu melihat mobil ayahnya terparkir di depan gerbang dan menghalangi jalan, Rose langsung menoleh ke arah Dion dengan mata penuh curiga.
"Aku tidak memberitahunya." Dion menyangkal dengan cepat.
"Kau yakin?"
"Sungguh."
"Bagaimana dengan Laura?"
Dion yang berniat menggelengkan kepala lagi berhenti, dia berkedip beberapa kali dan bersitatap dengan Rose yang terlihat kecewa.
Diantara segelintir orang, Dion adalah salah satu orang yang mengetahui riwayat keluarga Rose dengan lebih rinci, dan juga tau dengan jelas mengapa Rose begitu membenci Laura.
Sebenarnya, bukan hanya Laura, tapi seluruh keluarga Deborah.
Rose tertawa pelan, namun tatapannya yang nanar membuat rasa bersalah Dion semakin menjadi. "Rose, aku sudah memberitahu Laura untuk tidak mengatakannya pada siapapun."
"Tapi hasilnya?"
Bang...
Tanpa menunggu penjelasan dari Dion lagi, Rose keluar dari mobil, bersamaan dengan pria paruh baya di mobil yang lain.
Donis Deborah, tidak memiliki wajah yang tampan, tapi dengan proporsi tubuh yang ideal. Tapi setelah termakan usia, poin yang menonjol darinya hanya tinggi yang mencapai seratus sembilan puluh, tapi tubuhnya mulai berisi dan perutnya mulai membuncit.
Untungnya Rose hanya mewarisi ketinggian pria itu, yang membuatnya jauh lebih tinggi dari gadis lainnya, jika sampai dia juga mewarisi beberapa poin dari wajah pria ini, Rose tidak yakin masih bisa bercermin setiap hari tanpa rasa jijik.
Rose tidak menilai penampilannya, dia hanya benar-benar tidak suka pada pria yang pernah dia panggil ayah ini.
"Rose! Bagaimana bisa kau menjual Mension ibumu?"
Donis menghampiri Rose dengan marah, mata hazelnya bersinar tajam. Bahkan tidak menunggu Rose menjawab pertanyaannya, dia sudah menyeret gadis itu melewati mobil dan menuju gerbang.
"Paman!" Dion keluar dari mobil dan mencoba memisahkan Rose dari Donis.
"Ini bukan urusanmu. Jangan ikut campur!" Donis menoleh ke arah Rose. "Buka gerbangnya, kita bicara di dalam."
"Ini rumahku, jangan bersikap seperti kau adalah pemiliknya." Rose menghempaskan cengkeraman Donis dan mundur beberapa langkah. "Jika ingin mengatakan sesuatu, katakan saja di sini."
"Kau ingin menjadi tontonan orang-orang?" Donis menyipitkan mata, beberapa orang yang lewat memang mulai tertarik dan saling berbisik.
Rose bersedekap. "Memangnya apa yang ingin kau lakukan hingga menarik perhatian orang-orang? Memukulku?"
Dion terkejut, dia menatap Donis dan Rose bergantian, lalu mulai bertanya-tanya apakah Rose pernah dipukuli sebelumnya? Tapi mengapa dia tidak tau?
Donis menarik napas dalam. "Buka pintunya sekarang!" Rahangnya terkatup rapat.
"Tidak." Rose tidak ingin menyerah, rumah ini adalah rumah impiannya. Membiarkan Donis masuk akan mempengaruhi suasana hatinya tentang rumah ini. "Bukankah kau ingin membahas masalah mension yang aku jual."
Melihat Rose bersikeras, Donis tau dia tidak bisa memaksa masuk lagi, tapi demi tidak menarik perhatian, dia mencoba untuk memelankan suara. "Benar, bagaimana bisa kau menjual mension itu? Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk menyimpannya untuk Deniel sebagai hadiah pernikahan?"
Rose mengepal, kemarahan naik dari hati dan mencapai otaknya. Bagaimana bisa ada seseorang yang sangat tidak tau malu seperti ini?
"Mr. Deborah? Jika aku boleh bertanya siapa nama belakang Deniel?"
"Rose, diluar dari nama belakang, kalian masih saudara." Donis mengerutkan kening. "Apa mungkin setelah hampir sepuluh tahun, kau masih menyimpan dendam?"
"Aku tidak pernah menganggap kalian keluarga, apalagi menganggapnya sebagai saudara. Memikirkannya saja membuatku merinding karena jijik."
"Rose! Kau tidak bisa terus seperti ini, bisakah kau berhenti hidup di masa lalu?" Mata Donis merah. "Ini sudah hampir sepuluh tahun, Rosaline juga pasti sudah...
"Jangan menyebut nama ibuku!" Rose tiba-tiba kehilangan kesabaran. "Jangan. Menyebut. Nama. Ibuku. Dengan. Mulut. Kotormu."
Donis terkejut dengan teriakan yang tiba-tiba. Melihat dari reaksi Rose, dia tau percakapan ini tidak akan berakhir baik jika dia juga termakan emosi. Ditambah orang-orang mulai berdatangan untuk menonton.
"Ayo kita bicara di dalam, dinginkan kepalamu, ayah datang bukan untuk bertengkar." Donis melunakkan suara dan mencoba untuk meraih Rose, tapi Rose menghindarinya seperti wabah. "Rose aku hanya ingin kau menghadiahkan Mension itu untuk saudaramu, bagaimana pun, kau tidak memakainya lagi."
"Mension itu adalah milik Miller, istana yang ibu bangun dengan harapan bisa hidup bahagia di sana. Aku bisa menjual atau memberikannya pada siapa saja." Rose menatap datar pada Donis. "Tapi tidak dengan keluarga Deborah, bahkan jika aku mati, jangan berharap bisa meletakkan tanganmu pada satu pun harta keluarga Miller."
"Rose! Aku ini ayahmu, bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?"
Dua petugas keamanan tiba-tiba datang. "Permisi, kami mendengar bahwa di sini ada sedikit keributan."
"Ini masalah keluarga."
"Ya, orang asing memaksa masuk ke dalam rumahku."
Jawab Donis dan Rose bersamaan, mengundang tatapan tanya dari dua petugas keamanan. Mereka sebenarnya tau bahwa Donis Deborah adalah ayah kandung Rosetta Miller, tapi jika Rose mengaku bahwa Donis orang asing, maka mereka tidak bisa serta merta mengambil keputusan.
"Rose...
"Tolong bawa dia keluar dari sini," kata Rose pada dua petugas keamanan itu. "Selanjutnya, jangan biarkan dia masuk sesuka hati tanpa izinku."
Donis menatap tak percaya" Rose!"
Rose menoleh. "Benar, selama ini aku mungkin lupa memberitahu mu. Tapi bagiku, kau bukan lagi ayahku setelah kau membawa wanita itu pulang."
Bersambung...