"Maaf ... aku telat." Adam mengerutkan kening menatap Ballroom yang seharusnya di lpenuhi tamu undangan kini kosong melompong, bahkan beberapa sampah pun tidak terlihat di lantai, hanya seorang wanita bergaun putih yang sedang memunggunginya dan menatap jendela besar dalam diam.
Terlihat begitu kesepian.
"Kau seharusnya tidak perlu datang." Rose, gadis yang seharusnya menjadi ratu sehari itu berbalik, memperlihatkan paras cantiknya yang semakin menonjol dengan riasan make up pengantin, tidak ada setitik pun kesedihan di matanya. Hanya ketenangan seorang wanita dewasa.
"Aku memiliki beberapa pasien hari ini." Adam bergerak menghampiri.
"Bukan masalah, resepsinya memang selesai lebih awal." Rose kemudian menyodorkan buket mawar putih yang sejak tadi di pegangnya ke arah Adam "Aku menyimpannya untukmu."
"Untukku?" Adam mengangkat alis.
Rose mengangguk "Agar kamu dapat mengakhiri masa lajangmu yang berkepanjangan itu segera."
Adam tertawa kecil dan meraih buketnya "Kau masih percaya khayalan seperti itu?"
Rose mengendikkan bahu. "Tidak ada salahnya untuk mencoba, mungkin saja berhasil untukmu."
"Aku tidak akan menikah dalam waktu dekat?"
"Siapa yang tahu, mungkin saja lusa kau akan menyebar undangan." Dia kemudian mundur dua langkah dan berputar sekali untuk memperlihatkan keseluruhan penampilannya pada Adam "Bagaimana penampilanku hari ini? Gaun ini aku pesan langsung dari desainer ternama dan hanya ada satu di dunia." Dia mengibaskan rambut hitamnya.
Adam tersenyum lembut "Terlihat luar biasa, kau sangat cantik," pujinya sembari mengacungkan jempol. Ya siapa yang bisa mengatakan seorang Rose tidak cantik? Jika ada, maka di pastikan dia adalah pembohong sejati.
"Aku tahu." Rose mengangkat dagunya bangga. "Aku melihat selama berjam-jam di kaca jendela dan tidak bosan." Dia kembali ke tempatnya semula, menatap pantulan samar dirinya dan Adam di kaca jendela, dengan senyum yang tidak pernah pudar.
Adam berkedip, jadi sejak tadi gadis ini berdiri diam sendirian bukan untuk bersedih tapi untuk mengagumi dirinya sendiri?
Dokter muda itu hanya bisa tertawa pelan. Dia lupa bahwa gadis ini tidak pernah memiliki kekhawatiran apapun dalam hidupnya. Jangankan pernikahannya, bahkan penyakit kritisnya pun tidak pernah membuatnya khawatir.
"Dokter, Lihatlah. Kau terlihat seperti mempelai pria di sana." Rose tiba-tiba mengaitkan lengannya ke lengan Adam dan tersenyum lebar, tidak perduli bagaimana pria yang dia gandeng sedikit menegang karena terkejut.
Di pantulan jendela yang mereka lihat, berdiri seorang pria tinggi dengan jas hitam memegang buket di tangan kirinya sedangkan lengan kananya dipeluk oleh seorang pengantin wanita yang tersenyum lebar.
Adam menghela nafas lembut untuk pemandangan itu dan memiringkan kepalanya ke arah Rose, "Kau benar, seperti foto pernikahan."
"Ayo kita berfoto." Rose mengeluarkan ponselnya dan membekukan momen keduanya dengan senyum lebar "Apa hari ini kamu masih punya pasien?" Dia bertanya sembari mengutak-atik ponselnya.
"Ya, pukul 13.40," jawab Adam.
Rose memutar mata bosan "Mengapa begitu sibuk? Luangkan waktu sesekali untuk bermain, Jika tua nanti kamu tidak akan bisa bersenang-senang lagi."
"Bukankah aku meluangkan waktu untuk bertemu denganmu sekarang?"
"Kamu seharusnya bertemu teman-temanmu."
"Aku tidak punya teman, hanya ada pasien."
"Workaholic." Rose mencibir "Baiklah. ayo pulang, sekarang sudah tengah hari." Dia melihat lemari jam di sudut ruangan yang tak jauh dari sana.
Adam mengangguk "Aku akan mengantarmu," tawarnya berjalan berdampingan dengan Rose keluar dari Ballroom.
"Aku bisa menyetir sendiri."
"Dengan gaun pengantin? "Adam mengerutkan kening "Itu akan terlihat benar-benar menyedihkan."
Rose menghentikan langkahnya dan menoleh "Kau baru saja mengatakan aku menyedihkan?!" Matanya menyipit berbahaya.
"Tidak, maksud aku jika kau menyetir, Kau belum menyetir sekarang, jadi belum menyedihkan. "
Rose mendengus dan melanjutkan langkahnya, keluar dari villa melintasi taman yang cukup luas menuju parkiran.
Tepat di tengah taman dia tiba-tiba berhenti, berkacak pinggang dan menatap satu persatu pelayan di sana. "Apa yang kau lihat! Hah! pertama kali melihat pengantin wanita bersama pria lain di hari pernikahannya?"
Semua Pelayan yang sejak tadi mencuri pandang dengan tatapan penuh gosip segera menunduk.
Rose mendengus marah dan berjalan menghentakkan kaki sedangkan Adam hanya tertawa diam-diam tanpa di belakang.
Setibanya di parkiran, hanya tersisa dua mobil yang terparkir berdampingan. Satunya adalah Toyota Camry hitam milik Adam dan yang lainnya adalah Mercedes benz X-class cabriolet yang telah di rangkai sedemikian rupa menjadi Wedding car yang cantik,dengan bunga dan pita. Namun, Rose hanya melirik Wedding car nya sekilas dan meluncur bersama Adam meninggalkan villa menggunakan mobil Adam tentunya.
Lokasi pernikahan itu dilaksanakan di sebuah Villa mewah warisan dari mendiang ibu Rose, terletak di kaki bukit yang cukup jauh dari keramaian. Karena letak dan desain arsitekturnya, banyak keluarga kaya yang jatuh cinta dengan Villa itu, bahkan menawarkan hingga milyaran dollar hanya untuk memilikinya namun Rose selalu menolak dengan jawaban...
"No. Saat aku mati, aku ingin dikuburkan di sana dan menjadikan Villa itu istana hantuku, aku sudah mengumpulkan banyak teman di sana."
Jika pemiliknya berkata seperti itu, siapa yang akan berani menawar lagi?
"Mengapa tidak bertanya?"
"Apa?"
"Bertanya di mana suamiku, keluargaku dan temanku." Rose menatap keluar jendela. "Bertanya mengapa aku sendirian di sana."
"Jika aku bertanya, Apa kamu akan menjawab?" Adam menghentikan mobilnya ketika seorang penggembala domba sedang membantu domba-dombanya menyeberangi jalanan.
"Tentu saja."
Adam menoleh "Lalu di mana mereka?"
"Pertama" Rose mengangkat jari telunjuk "Suamiku pergi menemui kekasihnya, kedua ayahku, harus menemani putra bungsunya makan siang dan ketiga, teman?" Gadis itu tertawa "Menyedihkan namun aku harus mengakui tidak punya."
Adam terdiam, menatap gadis muda yang masih bisa tersenyum meski setiap kata-katanya terdengar menyedihkan. "Jadi kau berbohong tentang menyimpan buket itu untukku huh?" Adam berpura-pura marah dan mencubit pipi Rose. "Kau memberikannya padaku karena memang hanya aku yang bisa di berikan."
"Aww ... Lepaskan tanganmu, siapa bilang kau pilihan terakhir, jika Paman Jose datang lebih dulu, dia akan memenangkan bunganya." Rose melotot marah.
Adam melepaskan tangannya ketika melihat rombongan terakhir domba selesai menyeberang. "Paman jose? Supirmu? Bukankah dia sudah punya anak dan istri?" Mobil kembali melanjutkan perjalanan.
"Apa salahnya, jika dia beruntung, dia bisa menemukan istri baru." Rose mengelus pipinya yang merah "Belok kanan di perempatan jalan." ucapnya lalu mengetik sebuah lokasi perumahan di layar navigasi mobi.
"Membeli rumah baru?"
"En, pak tua itu selalu berceloteh bahwa aku seharusnya memberikan rumah itu kepada putra sulungnya sebagai hadiah pernikahan, jadi aku menjualnya saja."
"Kau seharusnya tidak perlu menjualnya kan? Itu salah satu warisan dari ibumu dan kau menghabiskan masa kecil mu di sana."
"Di ingatanku hanya ada kenangan buruk di sana." Rose mendengus.
Tak lama kemudian, mereka memasuki gerbang sebuah perumahan elit dengan sistem pengamanan yang cukup ketat, Rose harus memperlihatkan tanda pengenalnya agar bisa masuk.
"Aku ingin mengajak mu mampir, tapi aku tau kau sibuk." Rose mengangkat gaunnya dan turun dari mobil "Bibi Daisy juga masih libur, aku tidak bisa membuatkan teh untukmu."
Adam mengangguk "Aku akan berkunjung lain kali."
Di hadapan mereka adalah sebuah rumah berlantai dua minimalis yang tampil elegan dengan cat berwarna putih gading, memiliki taman bunga yang luas dan juga kolam ikan di halaman depannya.
"Apakah rumahnya Bagus? Aku menggambarnya sendiri."
"Kau punya bakat menjadi arsitek." Adam mengangguk-angguk takjub.
"Tidak sudi, sangat malas untuk membuat rumah untuk orang lain." Rose menyilangkan tangan di depan d**a dengan bibir mengerucut. "Tapi aku akan membuat pengecualian untukmu dokter."
Adam terkekeh "Aku akan membertahumu pertama kali jika akan membangun rumah," ujarnya.
"Aku menunggu, sebaiknya kamu memiliki calon istri saat itu."
Senyuman Adam memudar.
Rose melambai lalu membuka gerbang rumah barunya seperti membuka gerbang dunia baru, hari ini adalah hari pernikahannya, bagi orang lain hari ini mungkin menyedihkan karena dia harus kembali ke rumah sendirian tanpa suaminya namun bagi Rose, hari ini sangat memuaskan.
Ketika Rose sampai di teras, dia menatap sebuah papan bertuliskan 'Happy wedding' yang tergantung di depan pintu dengan senyuman lebar. Dia meraih papan itu dan melemparnya ke tong sampah besar di samping. "Jika dia melihat ini, dia pasti akan marah," Gumamnya.
Dengan bunyi decitan kecil, pintu rumah berdaun dua itu terbuka. Rumah baru yang terlihat hangat namun dingin di dalam.
Adam yang masih duduk diam di dalam mobil sedang menatap buket yang Rose berikan dengan nanar. "Dia terus mengomel dan menyuruhku mencari pasangan, tapi dia menikah lebih dulu." Dia meremas tangkai buket itu dengan sangat erat. "Bagaimana bisa menikah jika satu-satunya gadis yang ingin aku nikahi menikah lebih dulu," gumamnya pelan.
Bersambung...