Versa tertidur sangat pulas. Dari yang sempat Fergus lihat, perempuan itu bahkan tidak bergerak dari tidurnya. Sepertinya Versa benar-benar kelelahan sampai tidur pun tidak berpindah posisi.
Fergus sudah berjaga selama tiga jam. Udara semakin dingin sampai mulutnya mengeluarkan kepulan hangat.
Karena sudah tak kuat, ia masuk ke dalam gubuk. Setidaknya udara yang masuk di gubuk tidak terlalu kencang.
Fergus terduduk di sebelah Versa. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Suara kecil bisa jadi akan membangunkannya dan ia tak mau mengganggu tidur perempuan itu.
Dalam diam, Fergus tenggelam pada pikirannya. Meskipun matanya sedikit mengantuk, ia masih berusaha terjaga. Kembali Fergus melihat ke arah Versa. Gadis berambut merah itu terlihat begitu tenang.
[Saat tidur pun terlihat cantik,] gumam Fergus dalam hati. Ia menarik napas. Versa sungguh berhasil membuat pikiran Fergus sedikit kacau.
[Tiba-tiba muncul begitu saja di saat aku sangat mengharapkan bantuan. Tiba-tiba juga berteriak lalu melakukan tarian pedang. Rambut panjangmu itu berputar seiring langkah kakimu yang cepat. Nyaris semua yang terlihat di mataku adalah keindahan.]
[Belum pernah, satu orang saja, aku menemui perempuan sepertimu seumur hidup.]
Fergus menengadah. Kepalanya terangkat melihat langit-langit gubuk yang sedikit terbuka, menunjukkan ribuan bintang di angkasa. Lubang di atap membuat cahaya Bulan yang tak terlalu kentara masuk, mengisi kehampaan gelap monoton dalam gubuk itu.
[Cantik.]
Hanya satu kata. Satu kata yang menurut Fergus sungguh pas sebagai perwujudan dari Versa. Satu kata sederhana, satu kata yang mudah diucapkan, satu kata.. yang mampu membuat nalar sehat seseorang bertindak lain. Hanya satu kata, namun kekuatannya bahkan mampu mendorong hati seseorang untuk menjaga dan melindungi.
"Versa.." sebut Fergus berbisik tanpa suara.
"Versa.."
"Versa.."
Fergus terus mengucapkan nama gadis itu. Gadis yang ia sangka sebagai wanita yang serba mandiri, wanita hebat penyelamatnya. Gadis yang terlihat kuat, tapi Fergus tahu jauh di dalam, gadis itupun mengharapkan pertolongan.
Semakin berat. Pandangan Fergus sudah mulai mengabur perlahan. Ia juga merasakan kelelahan yang luar biasa seharian penuh ini. Belum lagi, ia sebenarnya sangat lapar. Fergus tak menyangka uangnya itu akan berakhir digunakan dengan hemat. Perkiraan Fergus meleset mengenai jumlah uang yang dipakai di Kota Hacres ini.
Hanya butuh beberapa detik saja sampai kesadaran Fergus tergoyahkan. Punggungnya jatuh terbaring dan beralaskan jubah miliknya. Mata Fergus terpejam.
Hal terakhir yang dilihat Fergus adalah rambut Versa, juga punggung gadis itu.
"Versa.."
"Kenapa.. aku merasa.. kita pernah bertemu.. jauh, jauh.. di masa lalu."
Akhirnya Fergus menyerah.
Ia membiarkan malam menelannya hingga pagi kembali membangunkan.
Fergus pun tertidur.
***
Cahaya kuning mengisi gubuk itu. Perlahan tapi pasti, sinarnya menerangi, memenuhi ruangan yang dingin dengan kehangatan pagi. Burung-burung berkicauan menyanyikan lagu pengantar hari. Semakin lama semakin terdengar meriah suara mereka.
Ketika pancaran Matahari mengenai wajah Versa, gadis itu mulai mengejapkan mata beberapa kali. Cahaya itu berhasil membuat Versa terbangun.
Gadis itu mengerang pelan. Tubuhnya terasa kaku. Otot-otonya sangat pegal, terutama pada bagian lengan tangan dan siku kaki. Belum lagi di dadanya, Versa merasakan sebuah beban yang berat.
Fokus Versa masih belum jelas. Pandangannya belum seratus persen melihat dengan tepat. Samar-samar, ia merasakan beban di dadanya itu memiliki warna kecoklatan, atau hitam. Tangan Versa terulur untuk meraba. Sekarang Versa mendapati tekstur lembut seperti bulu sedang ia remas. Semakin Versa menyentuhnya, semakin aneh. Itu bukan boneka. Lalu seingat Versa tak ada hewan kecil di gubuk itu. Mana mungkin juga hewan berukuran bulan sempurna ada di sana.
Bulat?
Sadar akan kejanggalan, Versa mencoba fokus.
Itu kepala Fergus yang tertidur tepat di dadanya.
Pipi Versa memerah. Kepalanya berkunang-kunang. Setelah sadar sepenuhnya, Versa dapat melihat posisi tidur Fergus sangatlah ambigu. Tangan laki-laki itu melingkar pada pinggul Versa.
[Bukannya dia berjaga di luar?!]
[Apa dia kedinginan lalu masuk?]
[Tapi bukan berarti dia akan melakukan yang seperti ini bukan?! Apa dia mengubah posisi tidurnya tanpa sadar karena dingin?! Tapi, ini.. i-inii!!]
Versa panik. Ia terus memukul kepala Fergus. Berusaha membuat laki-laki itu terbangun.
"Nggh.."
Sekarang Versa mendengar Fergus mengerang. Laki-laki itu bergumam tak jelas.
"Ngh.. eh? Ini.. apa?"
Ketika Fergus mengangkat kepalanya dan sadar bagaimana posisinya sebelum terbangun, dia panik tak karuan.
"Eh."
"Eh?"
"Ehh?!!"
"T-tunggu, Versa!" seru Fergus segera menjauh dari gadis itu. "Aku berani bersumpah tidak melakukan apapun! Aku tidur tepat di sisimu, tapi itu karena di luar dingin jadi aku masuk ke dalam! Pasti, ya pasti! Pasti aku bergerak tanpa sadar karena di dalam juga sedikit dingin!"
Fergus bahkan sampai berlutut saking paniknya. "Aku tahu meskipun ini tak sengaja, aku sudah melakukan kesalahan besar! Hukum aku, serang aku, tendang aku!! Lakukan sesukamu sebagai balasannya!! Akan kuterima sebagai penebusanku!!"
Versa masih menyilangkan tangan di dadanya. Wajah gadis itu telah merona sempurna seperti tomat.
"Cabul."
Dalam satu kata, Fergus runtuh seketika.
"Huaa, maafkan aku!!" Fergus sampai bertekuk lutut dalam-dalam. Wajahnya mendadak penuh kerutan. Ia sangat tak suka dan sungguh malu. "Ibu, aku berdosa! Aku melanggar ucapan ibu!! Astaga, aku pantas mati!!"
Wajah Versa masih memanas. Ia segera berdiri untuk memakai jubahnya lagi. "Menyebalkan."
"Sudah lupakan saja. Tadi malam memang dingin. Aku tahu kau orang yang sulit berbohong dalam sekali lihat, sejak awal sudah kusadari. Jadi, jangan membuatku marah dan berdiri!"
Fergus menggeleng. "Kau harus menghukumku!"
Versa mengacak rambutnya sebagai pelampiasan. Sekarang rambut Versa yang bergelombang terlihat semakin berantakan dan ikal. "Berdiri dan cari sarapan yang banyak. Aku takkan membantu. Kau usaha sendiri."
"Mau menghabiskan uangmu juga terserah. Itu hukumanmu."
Barulah setelah mendengar itu kepala Fergus terangkat.
"Hanya itu?" tanya Fergus memastikan.
"Memangnya apa lagi hukuman yang pantas untuk orang yang tak tahu apa-apa sepertimu?" Versa mengibaskan tangan, tanda menyuruh Fergus segera pergi. "Cepat sebelum siang! Kita masih harus menuju perbatasan kota."
"Kau menunggu di sini?"
"Haruskah aku menunggu di tengah lautan saja? Dasar bodoh. Cepat enyah dari hadapanku."
Sebenarnya Versa tak ingin melakukan ini. Ia ragu Fergus yang tak tahu apa-apa bisa menemukan, atau membeli beberapa roti. Dengan uangnya saat ini, bahkan bisa bertahan menghitung hari saja rasanya sudah harus bersyukur.
[Apa aku pulang saja?]
Sebuah pikiran terlintas di benak Versa. Namun berikutnya, Versa menggeleng cepat. [Tidak, aku tidak mau pulang.]
[Kalau pulang, usahanya akan sia-sia.]
[Aku masih penasaran dia akan membawa langkahku kemana.]
***
"Yang tadi itu.. mengerikan."
Fergus tak habis pikir bagaimana ia bisa tidur dengan posisi tubuh sedang memeluk erat Versa. Pikiran yang terakhir terlintas dalam ingatan Fergus memanglah mengenai Versa. Semua tentang Versa. Malam itu, pikirannya sangat abstrak sampai ia terus-menerus memuji Versa. Ia bahkan sempat meraba ujung rambut gadis itu sebelum akhirnya terlelap. Bisa saja, itu yang menggerakkan dirinya dari alam bawah sadar.
Pipi Fergus kembali bersemu merah ketika mengingat dimana kepalanya berada. d**a Versa hampir saja ia remas kalau Fergus tak cepat sadar dengan posisi tidurnya. Kemungkinan terburuk, ketika itu benar-benar terjadi nyawa Fergus telah melayang saat ini. Mengingat bagaimana Versa bersikap dan bagaimana kemampuan berpedang gadis itu.
"Ibu, aku harus bertanggung jawab karena telah melecehkan perempuan tanpa sadar."
"Ibu, maafkan aku!"
Fergus terus saja menyesal. Telinganya semakin memerah. Kata-kata 'c***l' yang diucapkan Versa, meskipun gadis itu tidak berteriak seperti biasa, tapi efeknya sangatlah tajam.
Laki-laki itu mempercepat langkahnya. Bahkan ia berlari entah kemana.
"Ah, aku berdosa!! Aku sungguh berdosa!!"
Beberapa nelayan yang melintas di tepian pantai sedikit bingung melihat Fergus yang berteriak-teriak bagaikan orang gila. Tidak, mereka benar-benar berpikir Fergus adalah orang yang tidak waras.
***
"Aku.. kembali."
Dengan lirih Fergus kembali masuk ke dalam gubuk. Ia semula tengah melirik dari ambang pintu reyot itu. Melihat Versa sedang mengoles pedangnya dengan sesuatu, Fergus pun masuk.
"Lama sekali!" protes Versa.
Semerbak aroma harum tercium.
"Itu roti?" tanya Versa mencoba mencari tahu apa yang dibawa Fergus. "Tidak.. itu ikan?"
Fergus tersenyum kecil. "Hampir benar." Selanjutnya laki-laki itu mengeluarkan dua mangkuk yang tertutup dengan daun.
"Ini sup roti ikan," jelas Fergus. Tangannya yang terampil mulai menyiapkan semua dengan indah. Apa yang tersaji di depan Versa sudah setara sarapan pagi yang ia lihat ketika di rumah.
Sup roti ikan itu berisi potongan roti dengan ikan bercampurkan s**u sebagai kuahnya. Berikutnya Fergus membawa kue-kue kering dalam toples kayu yang memancarkan aroma teh. Ia juga mengisi kantong air minumnya dengan teh. Semua itu sudah termasuk hidangan yang tak bisa dibeli dengan murah. Versa langsung bertanya-tanya darimana Fergus mendapatkan semua makanan itu. Sedari tadi alisnya berkerut. Ia sungguh tak menyangka Fergus akan membawakan sarapan yang benar-benar sarapan.
Versa bahkan sempat mengira Fergus hanya akan membeli buah.
"Darimana kau..?"
"Ah, aku membuatnya," potong Fergus cepat. "Makanlah sebelum dingin! Ini harus dihabiskan secepat mungkin, kalau tidak.. rasanya takkan enak. Suhu bisa menghilangkan cita rasanya."
Versa menantikan penjelasan lain, tapi perutnya sudah berbunyi duluan. Alhasil, ia meraih sendok kayu mangkuk itu dan menyeruput sup.
Asap mengepul dari mulut Versa seiring mata gadis itu terbelalak.
"Ini.. enak.."
Bahkan Versa sampai berkaca-kaca. Gadis itu terus menyendokkan sup hingga isinya separuh habis.
"Senang mendengarnya," ujar Fergus bahagia. Ia pun ikut menghabiskan sarapan.
"Kalau butuh teh, minum saja punyaku." Fergus menyodorkan kantong air miliknya. "Aku masih membawa air dalam tas."
"Kita bagi dua saja setelah ini," sahut Versa tenang.
"E-eh?" Fergus kembali bersemu merah. "Tapi.. itu nanti.. ci-ciuman tak langsung."
Versa terbatuk mendengar nada imut dari suara Fergus.
"Ah, kau merusak nafsu makanku." Versa mengelap bibirnya dengan sehelai sapu tangan bersimbolkan tameng yang ia keluarkan dari saku. "Kau sudah menyentuh dadaku dan yang kau khawatirkan adalah ciuman tak langsung?"
"I-itu tak sengaja!" seru Fergus tak terima. "Aku.. tak mau melakukannya dengan sengaja."
Versa tertawa masam. "Fergus, aku merasa seperti pria tua yang membujuk wanita muda meniduriku dengan paksa. Nadamu itu, kau serius? Berpikirlah dengan lebih terbuka. Aku hanya ingin kita berbagi minuman."
Fergus kemudian mengangguk. Ia kalah kalau Versa sudah mengatakan sampai titik. Pikirannya kolot, tapi itu prinsip yang ia pegang selama bertahun-tahun di Simia. Ajaran etika Sarah tak pernah ia remehkan ataupun ia langgar. Fergus sungguh patuh.
Versa meminum teh dari kantong minuman Fergus, menenggaknya hingga rasa haus di tenggorokannya hilang. Ia lalu menyodorkan lagi sisanya pada Fergus. "Habiskan. Teh hanya akan enak jika diminum saat panas."
"Mhm," gumam Fergus lalu menenggaknya. Suara bariton milik Fergus menghela napas setelah menghabiskan isinya sampai tuntas. "Hangat."
"Jadi," celetuk Versa. "Darimana kau mendapatkan semua ini? Memasaknya, kau yakin?"
Fergus mengangguk mantap. "Benar, itu sungguhan. Aku memasaknya sendiri di dapur rumah nelayan yang kutemui. Sedikit lama karena aku harus membantu mereka mengangkut ikan yang baru saja ditangkap semalam."
"Eh? Semudah itu?" Versa justru kebingungan. "Kau menghabiskan berapa keping?"
"Tidak ada," kata Fergus senang. "Aku hanya menawarkan bantuan dan meminjam dapur mereka. Ketika aku mengeluarkan keping perunggu, mereka menggeleng tak perlu karena masakanku enak dan mereka justru berterima kasih!"
Versa tertawa lagi. Kini giliran Fergus yang bingung dengan reaksi Versa.
"Kenapa?"
"Tidak, aku hanya ingin tertawa saja," gelak Versa. "Memang benar ya, kau selalu bisa membuat orang lain terbuka, bahkan pada orang yang baru ditemui. Unik sekali!"
Fergus menggaruk pipinya. Lagi-lagi rona kemerahan menghiasi wajah Fergus, tapi bukan berarti ia sedang malu, melainkan ia sedang senang dengan pujian Versa. "Yah.. aku tidak tahu juga. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.. seperti biasa."
"Jadi, kau bisa memasak? Sejak kapan?" Versa menegakkan punggung. Sosok Fergus benar-benar berhasil menarik perhatiannya. Sekecil apapun mengenai Fergus selalu membuat diri Versa tergelitik untuk mengetahui lebih. Baru kali ini ia merasakan hal semacam itu.
"Sejak kapan ya.. lebih tepatnya dari kecil?" gumam Fergus menerawang. "Aku merasa memasak itu bagian dari rutinitas, jadi tak pernah kupikirkan dengan berat. Lagipula, itu menyenangkan."
"Kalau saja aku mengenalmu lebih cepat, Fergus," sela Versa menerawang langit biru yang nampak dari celah gubuk. "Hidupku pasti sedikit berubah."
Fergus terdiam. Ia sepenuhnya bersedia mendengarkan semua ocehan Versa. Apapun itu. Hatinya selalu tergerak ketika itu mengenai Versa dan Fergus tak tahu mengapa.
Ia hanya ingin.
"Aku terlalu takut," kata Versa. Suaranya perlahan. Ia tidak lagi berseru, ataupun meninggikan suara. Semua kata yang ia ucap menjadi seringan bulu serta sedalam samudra. Begitu halus dan dalam. Bagaikan napas lembut bayi yang sedang tertidur.
"Aku takut pada semua orang.. semuanya menakutkan. Rumahku tak pernah terasa seperti rumah."
"Ironisnya, ketika aku mencoba pergi, tempat baru selalu terasa lebih menyenangkan untukku. Lebih terasa seperti rumah untukku tinggal. Aku tidak tahu.. perasaan apa yang mendorongku. Yang kutahu adalah.. tanggung jawab dan tanggung jawab. Mereka terus mengajariku pedang."
Versa menekuk lutut. Ia memeluk lututnya dengan kedua tangan. "Aku memang tak keberatan dengan pedang. Aku menyukai lebih dari apapun. Tapi.. aku tak mau kemampuan berpedangku hanya sebagai piala yang diperebutkan."
"Karena itulah aku memilih pergi." Versa tersenyum ke arah Fergus yang masih diam, mendengarkan semua ceritanya.
"Piala yang diperebutkan.. ya?" ujar Fergus mengulang perkataan Versa.
"Bukankah itu tidak buruk?"
Versa mendelik. "Piala itu kosong. Kenapa juga mereka memperebutkan piala kosong? Hanya karena indah dan terpandang saja mereka mati-matian membuat turnamen. Melempar undi pada siapa yang berhak ikut, dan pada akhirnya, sebuah calon pemenang justru ditentukan di belakang. Menurutmu itu tidak buruk?"
"Itu akan sangat buruk ketika kaulah yang menjadi piala dan merasakan api perebutan itu. Pasti, akan membuatmu muak."
"Itu bisa menyenangkan jika pialanya bisa memenangkan dirinya sendiri," gumam Fergus.
"Mana ada yang seperti itu." Versa tergelak. "Sebuah piala tak bisa memenangkan dirinya sendiri!"
"Bisa," kata Fergus penuh keyakinan. "Ketika semua pesertanya tak memenuhi syarat untuk memenangkan piala itu, sebenarnya pemenangnya adalah piala itu sendiri. Itu tanda bahwa tak ada orang yang layak menerimanya."
"Kau.. hanya perlu mengeluarkan satu perbedaan."
"Bawa orang yang lebih pantas, orang yang sudah kau pilih sendiri untuk kau berikan pialamu."
Mulut Versa ternganga. Fergus selalu berhasil membuatnya melihat hal baru. Semua yang dipikirkan anak laki-laki itu, sejak awal selalu berbeda dari kebanyakan orang biasa. Cara berpikirnya tak normal. Fergus selalu berusaha menenangkan apa yang ia inginkan hingga detik ini, sedangkan dirinya? Versa tak ubahnya putri yang pasrah saja ketika sayembara dibuka untuk calon suaminya.
Ini saatnya ia memilih.
"Fergus, kaburlah bersamaku lebih jauh lagi." Versa mengulurkan tangan tepat di depan wajah Fergus.
"Setelah sampai di Syre dan mengamankan posisiku dari pengejaran, aku ingin kau menunjukkan padaku, tujuanmu dan keinginanmu."
"Aku akan menjadi pialamu."
Versa tersenyum. "Bagaimana? Sekarang piala itu sudah memenangkan dirinya sendiri?"
Fergus tak pernah menyangka gadis itu bersedia membantunya. Membantu dirinya yang tak tahu apa-apa, tapi berkeinginan mengubah Meronia. Membantu dirinya yabg orang udik untuk menciptakan keadilan secara merata.
"Versa.. aku, tidak tahu harus menjawab apa.." ujar Fergus terbata. Gawatnya lagi, hampir saja Fergus menangis jika tak mampu menahan luapan emosi senang itu.
"Aku akan sangat berterima kasih, Versa.."
Berikutnya Fergus menjabat tangan Versa dengan erat. "Ya, piala itu sudah memenangkan dirinya sendiri dengan membuat keputusan yang hebat."
"Aku akan melindungimu dan tak membiarkanmu merasa sedih lagi."
Perjalanan mereka berdua akan menjadi sangat menarik. Perjalanan yang tanpa tujuan jelas. Hanya membiarkan takdir menuntun langkah mereka perlahan.
***