Fergus meminta izin pada Vincent untuk sementara waktu berada di dalam tokonya. Vincent tentu tak keberatan dengan hal itu, mengingat kejadian yang telah terjadi cukup mengejutkan. Perlu waktu bagi seseorang untuk tenang.
Melihat Versa tiba-tiba menangis, Vincent semakin percaya kesalahan besar telah menimpa negeri itu. Entah pada Hacres, entah pada Lydei, atau Meronia secara keseluruhan. Mereka perlu saling menolong untuk bisa mengungkapkan catatan sejarah yang telah menipu semua orang.
Ini bentuk kesadaran hati. Jika hati tidak terketuk, percuma saja mendapatkan penjelasan sepanjang apapun.
"Fergus, ah tidak, haruskan kupanggil Tuan lagi?" ujar Vincent hati-hati.
"Tak perlu, aku masih belum terbiasa dengan sebutan itu," sahut Fergus yang sedang duduk di sudut ruangan. Ia menunggu Versa.
Setelah menangis begitu keras, Versa diam. Dia tidak mau bicara sepatah kata saja. Gadis itu duduk meringkuk dengan seluruh jubah menutup tubuhnya, membelakangi Fergus. Fergus sendiri memberi waktu bagi Versa untuk mengambil jeda sebanyak mungkin yang ia mau. Beristirahat atau apa, semua bisa diatur.
Asalkan Versa mau kembali seperti semula.
Langit mulai kemerahan. Sebentar lagi sudah larut malam. Mereka tak memiliki tempat untuk menginap. Berada sementara waktu di toko seseorang yang belum dikenal lebih dari sehari itu tidak enak. Ada rasa bersalah yang mengganjal di hati.
Fergus melirik Vincent. Ragu-ragu ia berkata.
"Kami tak memiliki tempat untuk menginap."
Vincent mengibaskan tangan. Alih-alih bertanya lagi, Vincent paham apa yang akan diutarakan Fergus. "Menginaplah saja di rumahku setelah toko tutup."
"Terlantar di jalanan bukanlah hal yang bagus bagi seorang penerus kerajaan."
Vincent kemudian berkedip sebelah mata. "Aku akan memberikan yang kupunya agar bisa membantu."
"T-tidak perlu sejauh itu," gumam lirih Fergus. "Kesannya kami merepotkan."
"Tidak perlu sungkan juga," sahut Vincent kembali duduk di dekat Fergus setelah menyelesaikan pekerjaan. "Kesannya aku bukan orang baik."
"Itu tidak benar, kau sungguh baik!" seru Fergus tak terima. "Sungguh! Kami tertolong!"
"Jangan menolak kalau begitu." Vincent tergelak.
"Nona Versa juga. Aku mengharapkan suasana hatimu membaik."
Versa tidak merespon. Gadis itu masih diam tanpa kata.
Rick, Yuos, Lan, dan Dio, keempat pegawai toko Vincent masih perlu waktu untuk membereskan toko. Pesanan khusus masih harus dilayani. Itulah mengapa mereka mondar-mandir dari gudang menuju lantai satu. Paling tidak mereka harus melayani pelanggan setia yang sudah memesan jauh hari.
Setelah malam tiba, keempatnya berpamitan pulang. Meninggalkan Vincent dan Fergus serta Versa di lantai atas.
Di luar saat ini sudah menunjukkan pukul enam. Langit mulai menggelap, tidak kemerahan seperti sebelumnya.
Vincent membalikkan tanda pada toko. Tak lupa ia memasang sebuah pengumuman.
Seperti yang sudah Vincent katakan pada Fergus, ia bersedia membantunya. Karena itu, Vincent memutuskan untuk meliburkan tokonya sementara waktu untuk hari-hari tertentu lalu membiarkan tokonya dikelola oleh Yuos untuk hari normal biasa.
Yuos dikenal sebagai wakil dari Vincent. Apabila Vincent bepergian, biasanya memang Yuos yang menggantikan posisi Vincent untuk sementara waktu.
Yuos sudah paham dengan tugasnya. Ketika Vincent diam-diam memberitahu Yuos mengenai Fergus dan Versa, juga rencana pribadi Vincent, Yuos mengangguk dan berkata, "Aku akan menjalankannya sebaik dirimu, Vincent."
Mereka seumuran, rasa percaya sudah hal biasa di antara mereka. Apalagi sikap Vincent yang memperlakukan pegawainya seperti keluarga. Tentu takkan ada yang meragukan keputusan Vincent. Pria muda itu adalah orang yang memperhatikan banyak hal.
Keputusan Vincent bulat. Dirinya akan totalitas dalam mengikuti Fergus de Rasel, keturunan terakhir Keluarga de Rasel dari Lydei. Sebuah janji harus ditepati.
Ini untuk perubahan besar.
Ketika Vincent hendak kembali naik ke lantai atas, terlihat Versa yang sedang menuruni anak tangga. Langkahnya sungguh perlahan. Raut wajah gadis itu masih pucat. Sorot matanya sejernih bola kaca. Lalu gadis itu memasang senyum yang sedikit dipaksakan.
"Oh, Nona," Vincent menyambutnya dengan sebuah senyum lebar. Ia senang mengetahui Versa mau berdiri untuk mengganti suasana hati. "Kami baru saja menutup tokonya. Aku hendak ke atas untuk mengantar kalian ke rumahku."
Versa sudah mendengar dari Fergus bahwa mereka akan menginap di kediaman Vincent. Gadis itu membetulkan jubahnya. Ia menyamarkan beberapa helai rambut kemerahan yang menjuntai melalui sisi kanan dan kiri lehernya. Kakinya kembali melangkah. Detak jantungnya sudah lebih stabil dari sebelumnya.
Di atas sana, terdengar suara langkah kaki lagi di tangga. Suara itu semakin keras. Fergus sudah menyusul Versa dengan perlengkapan penuh. Ia berdiri tepat di belakang gadis itu.
Vincent mengangguk melihat mereka berdua. Ia tidak perlu menghabiskan waktu untuk meminta mereka bersiap lagi.
"Mari ke rumahku."
"Akan kujamu kalian, wahai calon pemimpin Meronia."
***
Mereka menghabiskan kurang lebih setengah jam untuk berjalan menuju rumah dari Vincent. Melewati jalanan dengan tiang api yang sudah menyala, remang-remang cahaya api dalam kegelapan malam menjadi sebagian kecil memori mereka di Hacres hari itu.
Ini hari yang panjang. Akan tetapi, Fergus tak menyesalinya. Hari seperti ini jauh lebih mudah daripada memikirkan hari dimana suatu saat kakinya sudah bukan di Hacres lagi. Melainkan.. di Lydei.
Betapa mendebarkannya ketika hari itu tiba. Itu sudag tak bisa terbayangkan lagi oleh Fergus.
Apakah itu akan menjadi peristiwa yang menyenangkan atau justru menakutkan? Fergus menyerahkan takdirnya pada langit penuh bintang. Ia menengadah, membiarkan semilir angin menerpa wajah.
Pemukiman penduduk Hacres ada di depan mata. Mereka yang sebelumnya tak mampu mendekati pemukiman karena was-was dicurigai atau sedang diikuti, saat ini sudah berhasil menginjakkan kaki di sana berkat Vincent. Asal ada satu orang yang tinggal di tempat itu sedang bersama mereka, Fergus dan Versa tak khawatir.
Rumah Vincent tidak besar. Namun juga tidak kecil. Itu rumah seorang keluarga mantan kesatria dan pedagang kain ternama, sederhana luar dan dalam. Pas. Rumah itu terdiri dari dua lantai, sekilas hampir menyerupai toko kain Vincent.
Vincent mengeluarkan kunci besi. Ia memasukkannya ke dalam pintu lalu memutarnya hingga bunyi 'klik' yang pelan terdengar. Didorongnya pintu kayu itu dengan satu sentuhan, menunjukkan ruang tamu gelap di hadapan tiga orang itu. Vincent langsung masuk. "Akan kunyalakan lilin dan perapiannya. Masuk saja dulu."
Selagi Vincent bergegas mencari pemantik api, Fergus dan Versa masih berdiri di ruang tamu. Samar-samar mereka melihat beberapa lukisan tergantung. Ada pula sebuah pedang yang dipajang di dinding. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, nampak sebuah lemari kaca yang menyimpan baju zirah.
[Sepertinya itu warisan keluarga.] Fergus tersenyum kecil. [Vincent jujur mengenai keluarganya yang juga berdarah kesatria.]
[Hingga membuat keturunan keluarga kesatria sampai sejatuh ini, apa yang telah terjadi selama pembentukan Meronia?]
Lilin-lilin menyala. Dinding ruangan memantulkan kobaran api dari lilin yang menempel di sepanjang dinding. Setelah itu, terlihat Vincent yang bergegas melempar beberapa potong kayu sedang ke dalam perapian. Ia melemparkan korek api ke dalam perapian itu dan api langsung melalap kayunya. Perapian sudah menyala. Ruangan itu dibanjiri terang api.
Vincent berkacak pinggang. "Selesai."
Ia lalu naik ke lantai atas. Berseru, "Kalian tunggu di ruang tamu! Aku akan menyiapkan dua kamar terpisah untuk kalian."
"Tidak apa-apa kami tidak membantu?" tanya Fergus tak enak.
"Mana ada seorang tamu membantu pemilik rumah? Itu akan menjadi kesalahan bagi pemilik rumah jika tak menjamu tamunya dengan baik!" Tawa Vincent terdengar, disusul langkah kakinya di anak tangga.
Sesuai permintaan Vincent, Fergus dan Versa duduk pada kursi kayu panjang, tepatnya kursi tamu yang menghadap perapian. Menghangatkan diri.
Sebelumnya Fergus sempat berdiri dan menutup pintu rumah. Vincent sepertinya orang yang sedikit ceroboh karena lupa menutup lagi pintu rumahnya.
Barulah Fergus duduk lagi. Melihat Versa yang tenggelam melihat kobaran api perapian, Fergus berdeham. "Apa kau sudah membaik?"
"Aku.. tidak apa-apa," gumam gadis itu menanggapi Fergus. Netra coklat kemerahan Versa memantulkan semburat api, membuat matanya bersinar.
"Fergus," panggil Versa pelan.
"Terima kasih."
Hanya dengan kata itu. Ya, cukup kata itu yang Fergus ingin dengar.
Ia takut Versa tak kembali ke dirinya yang dulu. Apa yang gadis itu lihat bukanlah hal yang bisa juga dilihat oleh Fergus maupun orang lain. Ia sungguh tidak tahu. Mungkin saja perkataan Versa memiliki kebenaran yang tak bisa ia raih. Mungkin saja, buku itu juga menyimpan hal yang lebih dalam dari yang Fergus duga.
Ia tak mengerti.
Tapi, Fergus lega karena Versa tengah tersenyum simpul. Itu tanda nyata dia sudah baik-baik saja sekarang. Wajahnya masih pucat, tapi Fergus yakin dengan makan malam, Versa akan kembali.
Gadis itu akan kembali menjadi gadis yang berapi-api. Gadis pemberani yang menyelamatkan dirinya di kapal.
"Kamarnya sudah siap," ujar Vincent. Tanpa mereka sadari Vincent sudah berada di ruang tamu. "Oh ya, Fergus, bisa minta bantuanmu sedikit?"
"Tentu saja," kata Fergus mengiakan, "pasti soal makan malam?"
Tebakan yang tepat.
"Benar," Vincent menjentikkan jari. "Aku mengandalkanmu!"
***
Fergus menuju dapur rumah Vincent. Perbedaan dapat ia rasakan. Ketika di dapur toko mereka menggunakan bahan apa adanya, sedangkan saat ini di dapur rumah Vincent, semua lebih teratur dan lengkap dari segi peralatan dan bumbu.
Fergus masih belum tahu akan membuat apa, setidaknya sampai ia mengetahui apa saja bahan yang dimiliki Vincent.
"Apa saja yang kau punya?" tanya Fergus seraya berkeliling dapur. Terlihat garam, lada, bawang putih, dan kaldu dimasukkan dalam wadah terpisah. Tak jauh dari situ terdapat beberapa balok keju.
"Jangan terkejut karena yang satu ini kumiliki karena potongan harga di pasar raya. Aku memiliki daging sapi," ujar Vincent bangga. "Tadinya aku hendak membakarnya saja dan memberi garam, nagiku itu sudah cukup. Tapi teringat ketrampilanmu, Fergus, sepertinya tak masalah kalau aku berharap penyajian yang sedikit lebih enak bukan?"
[Dimana sifatmu yang tak memperbolehkan tamu membantu tadi, Vincent?] Fergus menggeleng kecil. Perilaku Vincent sungguh unik. Dia sengaja membuat Fergus tak membantu ketika menyiapkan kamar, tapi memintanya untuk memasak saja. Dia memanfaatkan orang lain sesuai kapasitas orang tersebut.
[Tipikal pengusaha sekali.]
Fergus memegang dagu. Berpikir.
Saat ini Versa sedang duduk di ruang tamu, tidak menyusul mereka berdua. Gadis itu mungkin telah membaik, tapi tak mengubah sikapnya. Lebih tepatnya, belum. Versa belum kembali seutuhnya. Gadis itu masih larut dalam pikirannya sendiri. Untuk itulah Fergus ingin menyajikan makanan yang cukup mengesankan lagi.
"Baiklah, aku sudah memikirkan bagaimana mengolahnya," kekeh Fergus. "Di kota aku dibesarkan, daging sapi sangat langka. Kami hanya bisa makan tiga bulan sekali. Itulah mengapa ibuku membuatnya semakin spesial tiap kali menyangkut daging sapi."
"Wah hebat," puji Vincent. Kedua tangannya disatukan, "dan apa itu?"
"Memanggangnya setengah matang."
"Setengah.. matang?" ulang Vincent, bingung dengan maksud Fergus. "T-tapi, bukankah lebih baik matang sepenuhnya?"
"Hmm, kau belum mencoba." Fergus terkekeh lagi. Ia meraih pisau paling besar di dapur Vincent. "Ini akan menarik cita rasamu."
Suara 'tak tak tak' yang ditimbulkan pisau Fergus sangat meriah. Daging sapi milik Vincent ia potong menjadi tiga bagian sama besar. Ia kemudian mengambil bawang, lada, dan garam. Fergus mencampurnya hingga halus lalu menambahkan sedikit air. Setelah meracik 'rempah' yang diperlukan, Fergus membalut daging sapi itu dengan bumbu tersebut.
Berikutnya Fergus meraih wajan yang tergantung. Ia mengambil sedikit mentega lalu mencairkannya di atas tungku api. Daging satu persatu ia masukkan.
"Sekarang tinggal menunggu beberapa menit saja." Fergus bergegas mengambil sedikit parsley. Ketika ke dapur, Fergus sudah mengeluarkan parsley dari tas.
Fergus membuka lemari persediaan Vincent. "Apa kau punya tomat?"
"Seingatku ada, coba lihat keranjang. Aku memiliki beberapa sayur untuk kukadikan sandwich. Untuk tomat, aku biasa mengubahnya jadi saus," sahut Vincent di sudut dapur. "Lebih efisien."
"Tepat," Fergus menjentikkan jari. "Itulah yang akan kulakukan."
Fergus mengecek keranjang milik Vincent. Keranjang anyaman kayu itu menyimpan sedikit sayuran yang layu. Beberapa sudah tidak layak, tapi beberapa masih bisa diolah. Di samping mengambil beberapa tomat, Fergus juga mengambil beberapa lembar daun kol.
"Ini penting agar 'cita rasa' terbangun."
"Kuserahkan padamu, chef," celetuk Vincent mengedikkan bahu. Percaya pada semua yang hendak dilakukan Fergus.
Fergus menyingsingkan lengan bajunya. Lesung pipinya terangkat. Sudut-sudut bibir itu mulai membiarkan gigi putih Fergus sedikit terlihat.
Senyum lebar itu tak pernah menipu. Andaikan itu adalah senyum palsu sekaligus, sebuah senyuman adalah senyuman.
Itu akan membawamu ke dalam kebahagiaan dalam waktu dekat.
Tersenyumlah! Nikmati udara yang masih bisa kau rasakan hari ini.
Karena perubahan positif akan membawamu kepada terang.
***