Leo satu lawan satu dengan Fergus. Mereka saling berhadapan dengan tatapan yang sama-sama dingin.
Satu.
Dua.
Tiga.
Kaki mereka melangkah ke depan. Mereka menciptakan angin dahsyat setelah keduanya saling beradu.
Tak perlu banyak waktu untuk melihat pergerakan mereka selanjutnya. Jelas sekali bahwa Leo dan Fergus saling beradu senjata tanpa ampun. Leo dengan tombaknya dan Fergus dengan pedangnya. Mereka bergerak tanpa pikir panjang. Keduanya tak ada yang mengalah. Suara melengking terdengar ketika dua bilah senjata tajam itu terbentur.
Semua usaha keras itu hanya untuk melindungi seseorang.
"Leo! Hentikan semua ini!"
Versa berteriak dengan lantang. Perintahnya adalah mutlak. Gadis itu ikut mengeluarkan sebilah pedang. Membuat fokus Fergus dan Leo langsung terpecah.
"Versa!"
"Nona!"
Gadis itu tak menghiraukan mereka. Ia tetap maju menginterupsi keduanya. Pedangnya mengenai senjata dua pria itu, baik tombak Leo maupun pedang Fergus. Tak perlu menunggu lama, keduanya langsung terpental jauh dengan arah berlawanan.
Versa tiada duanya.
Sampai detik ini, tak ada seorang saja yang bisa menangkis pedang Versa.
Tak terkecuali kedua pria itu.
Vincent tidak tahu harus berbuat apa. Perseteruan antara kesatria bernama Leo itu dengan Fergus, lalu ditambah Versa yang berusaha menengahi mereka, tapi malah menimbulkan kekacauan.
Itu sebuah hal yang paling di luar jangkauan Vincent meskipun keluarganya memiliki darah kesatria.
"Ka-kalian.. hentikanlah, kita bisa membicarakan ini baik-baik," bujuk Vincent berusaha.
"Hah?!" sergah Leo tak setuju. Ia berusaha berdiri setelah terpental oleh tangkisan pedang Versa. "Jika ini bukan karena kau, Vincent, Nona Versa takkan seperti ini!"
"Kenapa kau berbohong mengenai Nona Versa?!" todong Leo tanpa ampun. "Kau telah melanggar hukum di Kota Hacres! Hukuman terberat karena menyembunyikan Nona Versa adalah mati!"
Vincent berkeringat dingin. Ia berlari mundur hingga ke belakang punggung Fergus. Fergus sendiri meringis tidak terima mendengar ucapan Leo. Itu sungguh tak masuk akal dan kejam.
"Lalu kau." Sekarang Leo menunjuk ke arah Fergus. Jari telunjuk mengarah lurus tepat ke wajah pria berambut hitam itu. Leo menggertakkan gigi. "Ada yang salah dengan dirimu."
"Orang biasa tak mungkin mampu menahan tombakku, pengecualian untuk Nona Versa yang sangat kuhormati. Kau.. siapa kau?"
"De Rasel kata Nona hah?" Leo terkekeh sarkas. Berikutnya ia tersenyum miring. "Siapa kau sampai nama raja lalim Lydei terdengar di telingaku!"
Fokus Leo sebagai seorang pengawal Versa tak pernah luput. Ia selalu menangkap segala suara dengan tepat. Langkah kaki seseorang, mau setenang apapun dan mau seberisik apapun Leo bisa membedakannya dengan tepat. Ia adalah contoh kebanggaan kesatria Hacres. Karenanya, ia menangkap semua perkataan, nama, dan wajah tanpa keluputan.
Tanpa terkecuali apa yang sudah dikatakan Versa. Suara majikan yang ia layani adalah suara yang sejernih air sungai bagi Leo.
Fergus kembali maju beberapa meter, diikuti Vincent yang mengekor di belakang punggung Fergus. Mereka siap melawan Leo.
"Kalau kau mau mengetahui siapa aku, jatuhkan tombakmu," tawar Fergus dengan suara tegas.
Leo tidak bodoh. Untuk apa dirinya menjatuhkan senjata di hadapan musuh. "Lebih baik aku membunuhmu daripada mendengarkan omong kosong!"
"Meskipun aku keturunan terakhir dari de Rasel? Meskipun aku juga kunci yang bisa mengembalikan kejayaan Hacres?"
Pertanyaan Fergus menggaung di pikiran Leo. Menghentikan sejenak emosi yang membuncah di d**a kesatria itu, mengembalikan sisa rasionalitas dirinya.
"Apa maksudmu, sialan?!"
"Sudah kubilang," ulang Fergus hati-hati, "meskipun aku keturunan de Rasel dan juga kunci yang bisa mengubah lagi Meronia, apa kau akan tetap membunuhku?"
"Omong kosongmu tanpa bukti yang nyata!" bantah Leo menolak. "Apa yang bisa menjadi bukti omonganmu itu!"
"Bahkan tanpa dirimu, Meronia akan baik-baik saja!"
"Jika sejarah di baliknya telah disembunyikan, apakah itu baik-baik saja juga?" tanya Fergus lagi.
Satu langkah.
Leo mendesis. "Apa yang terjadi sudah terjadi! Orang hanya perlu maju tanpa melihat masa lalu!"
"Oh, meskipun sejarah di masa lalu mampu mempengaruhi masa depan?"
Dua langkah.
"Tak masalah selama rakyat hidup makmur!" seru Leo mempertahankan diri.
"Leluhurmu bisa menangis mendengarmu saat ini. Apalagi, jika mereka telah dibunuh oleh raja yang sekarang, sedangkan keturunan mereka saat ini menutup mata begitu saja dengan masa lalu tanpa mempertanyakan penguasa."
Tiga langkah.
Sekarang Fergus tepat satu meter di depan Leo.
"Hei, hei, kau yakin Meronia sudah sangat makmur? Menyatukan sembilan kerajaan setelah berseteru panjang bukan berarti masalah selesai."
"Pernah mendengar tentang Kota Simia? Menurutmu siapa saja yang ada di kota itu?"
Kepribadian Fergus saat ini sungguh bertolak belakang dengan yang biasa ia tunjukkan. Bisa jadi, selama ini pria itu memiliki sisi kelam yang memang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun yang ada di sekitarnya.
Hawa mencekam keluar dari perkataan Fergus. Semuanya terdengar benar dan tepat sasaran.
Semua orang sedang merana. Negeri ini tidak baik-baik saja diperintah oleh seorang pria yang dengan seenaknya mengambil tahta setelah kematian misterius raja yang ia layani. Menjadi raja hanya karena dirinya yang tersisa, itu hal yang mengganjal.
Ada yang perlu diungkapkan. Ada yang perlu diceritakan kembali. Seolah, semua memori rakyat di sembilan kerajaan telah menghilangkan satu kepingan besar.
Satu saja yang dapat menjadi jawaban atas pertumpahan darah di masa lalu.
"Kota Simia?" tanya Leo setelah jeda sesaat. Ia terus berpikir dan berpikir. "Kota paling ujung dari Meronia."
"Kota.. buangan."
"Tepat sekali!" Fergus menjentikkan jari. "Nah, menurut dirimu, siapa saja yang tinggal di kota itu?"
"Aku tidak mengerti," gumam Leo pada akhirnya. "Kabar burung tersebar bahwa di kota itu tak ada apa-apa."
"Itu karena kau tidak tahu apa yang raja perbuat pada kami."
Fergus menajamkan penglihatan. Ia menepis tombak Leo hingga jatuh ke lantai. "Kau tidak berpikir sama sekali."
"Kau juga tidak berpikir bagaimana perasaan Versa."
"Aku mempedulikan keselamatan Nona Versa lebih dari siapapun!" seru Leo tak terima.
"Tapi kau tak mempedulikan keinginannya!" balas Fergus tak kalah keras.
"Apa kau tak tahu bagaimana Nonamu itu menghadapi orang-orang yang hanya memanfaatkan kemampuan berpedangnya?!"
Leo ikut meninggikan suara. "Itu hal yang diperlukan untuk kalangan atas! Semua telah diatur!"
"Benar katamu! Semua telah diatur dan ditetapkan!" Fergus terus mendesak Leo, "tapi itu semua untuk membungkam orang banyak."
"Percayalah padaku dan ikut aku bersama Versa. Aku yakin, kau akan menemukan fakta tersembunyi di balik permainan memuakkan para bangsawan."
Fergus mengulurkan tangan kosong. Pedang yang ia bawa telah disarungkan. Kini, Fergus menantikan jawaban Leo. Sejauh apa pria itu mampu untuk membuka diri. Sejauh apa pria hebat itu berpikir untuk keinginan Versa yang sebenarnya. Lalu sejauh apa.. Leo ingin tahu.
Ingin tahu mengenai sejarah kelam Meronia.
"Baiklah, ini untuk Nona Versa."
Tak disangka, Leo meraih tangan Fergus, menjabatnya dengan meninggalkan seluruh keraguan. Wajahnya yang kaku itu masih terlihat jelas. Tanpa perubahan.
"Mari kita dengarkan kisahmu terlebih dulu, keturunan de Rasel."
***
Sekarang mereka berempat duduk di ruang tamu. Suasana yang tidak enak merayap di antara mereka. Mengisi kekosongan satu sama lain.
Pandangan Leo tak pernah lepas Versa yang saat ini duduk di samping Fergus. Tatapannya masih berapi-api, membara hingga membakar dirinya. Emosi Leo tergambar jelas di wajahnya. Itu bukan wajah pria yang sudah mengakui pria lain, melainkan wajah seorang pria yang sangat waspada. Ia belum bisa menyerahkan nonanya.
Apalagi melihat nonanya yang cantik dan hebat duduk sejajar dengan pria misterius aneh itu. Siapapun yang mengenal baik Versa akan mengamuk di dalam hati.
Mengalihkan pandangan, Leo justru beradu mata dengan Vincent. Pria pemilik toko kain itu langsung memalingkan wajahnya, tak berani menatap Leo. Leo sendiri masih mempertimbangkan apakah ia akan memanggil pasukan untuk mengangkut Vincent dan Fergus ke penjara, atau tetap duduk dan menjelaskan cerita, alasan, serta tujuan mereka.
"Maafkan aku, Leo," ujar Vincent memberanikan diri. "Aku memang tak bertemu mereka ketika kau menghampiri tokoku. Aku baru tahu Nona Versa hari ini.."
"Aku belum mengampunimu. Akan kudengarkan semua sampai aku bisa membuat keputusan baru," tegas Leo final.
Ia tak bisa ditawar. Pria kaku yang hanya mengikuti aturan seperti anjing kepada tuannya hanya akan memperlambat keadaan.
Jika bisa, Fergus tak ingin bertemu dengan orang semacam Leo. Ia selalu berharap untuk dijauhkan dari orang-orang over-protektif seperti Leo. Tapi sepertinya harapan Fergus harus dikabulkan dengan cara menghadapi langsung.
"Akan kumulai dari kelahiranku."
Fergus menceritakan kisah bagaimana ia bisa selamat. Mulai dari Lady Veronica de Rasel yang menitipkan dirinya sewaktu masih bayi kepada Sarah, hingga Sarah yang membesarkan dirinya di kota yang bernama Simia, berpikir bahwa kota itu aman dari jangkauan orang-orang Lydei.
Fergus lalu masuk ke dalam bagian dimana ia menceritakan ekonomi di Simia. Apa saja larangan tak masuk akal yang terdapat di dalam kota itu, sampai titik dimana Fergus memahami bahwa Meronia adalah tempat buangan penjahat perang.
Cerita mengalir begitu panjang. Awalnya, Leon hanya skeptis mendengarkan kisah Fergus. Namun setelah Fergus menyinggung beberapa nama seperti Reid Charles dan Deus Charles, matanya sedikit membulat.
"Charles? Bukankah.. bukankah itu berarti mereka garis keturunan Duke ternama?" tanya Leo kebingungan.
Fergus menaikkan satu alis. "Aku tidak tahu kalau Tuan Reid adalah seorang Duke? Darimana kau begitu yakin garis keturunan Charles yang sebenarnya adalah Duke? Lalu mana mungkin mereka ada di Simia jika bukan penjahat perang."
"Tidak, mereka dekat dengan garis keturunan Hacres. Tuanku ayah dari Nona Versa, Alex de Fritz, pernah menyinggung nama Duke Charles. Aku tidak tahu apakah kita membicarakan Charles yang sama atau berbeda."
"Bisa saja itu adalah hal yang sama," Fergus mengeluarkan pedangnya lagi. Pedang pemberian Reid, pedang besi yang tercampur dengan lapisan perak tipis ia tunjukkan lagi ke hadapan Leo. Ia memperhatikan tiap simbol unik di pedang itu.
"Ini pemberian Tuan Reid, katanya pedang ini merupakan pedang yang turun temurun diwariskan, aku juga tak paham mengapa Tuan Reid memberikan pedang ini kepadaku." Fergus meletakkannya di meja. "Apa mungkin kau melihat sesuatu yang berkaitan? Simbol atau apa?"
Leo menggeleng. "Pengawal sepertiku tak bisa mengetahui hal yang sangat rinci mengenai tuan yang kulayani. Hanya sebagian kecil saja yang kutahu."
"Aku tak bisa memastikannya."
"Begitu? Sayang sekali," sahut Fergus menghela napas. "Kukira akan mendapatkan informasi lagi."
[Mungkin waktu akan menjawabnya juga,] pikir Fergus pasrah kepada takdir masa depan. [Terserah akan jadi seperti apa, aku takkan menyerah dan terus menentukan arah nasibku.]
"Ya sudah, sekarang saatnya mengeluarkan buku saku ibuku."
Fergus kembali bercerita mengenai hidupnya. Sekarang ia menyinggung fakta mengenai Pangeran Alastair de Rasel dan Lady Veronica de Rasel. Bagaimana mereka terbunuh dan siapa tersangkanya beserta saksi mata kejadian itu.
Leo sampai tercekat. Jika yang dikatakan Fergus adalah kenyataan, itu berarti raja yang saat ini berkuasa jauh lebih buruk daripada Raja Tarius yang dianggap tidak bijak bagi orang-orang Hacres. Bahkan sejarah Hacres menghina mati-matian raja itu, meskipun tanpa alasan yang kuat.
Lydei dan Hacres, dua tempat yang selalu bertolak belakang.
Tapi apa yang melandasi kebencian dari keduanya, tidak ada yang tahu.
Sihir mempermainkan mereka seperti boneka.
Leo membuka mulut setelah Fergus selesai bicara. "I-inikah.. inikah kebenaran yang kalian cari?" Menoleh pada Versa, Leo pun berkaca-kaca. "Nona, apakah ini yang Nona inginkan?"
"Setidaknya ini lebih baik daripada menjadi piala yang diperebutkan pria tua," jawab sinis Versa. "Aku jauh menyukai bersama Fergus. Dia membawaku ke tempat yang tak terduga."
"Kalau Nona senang, aku hanya bisa mengikuti kehendak Nona Versa kemanapun itu," jawab Leo penuh penghormatan. "Sebagai pengawal Nona Versa, aku tak boleh meninggalkan Nona."
"Sudah diputuskan, kau ikut bersama kami?" tanya Versa.
Leo mengangguk. "Aku akan dengan senang hati melihat apa yang Nona Versa inginkan di masa depan."
Versa terkekeh. "Baguslah."
"Oh ya, sebuah cerita kecil." Versa menegakkan punggung. Antusias menceritakan pengalamannya setelah kabur. "Aku mengikuti Fergus karena keadaan yang memaksa dan kami berakhir di toko kain Vincent untuk penyamaran."
"Di keadaan yang memaksa itu, sebelumnya kami bahkan menghabiskan malam bersama. Yah.. itu sungguh malam yang dingin, hanya kami berdua, di tempat sempit dan ruangan tertutup."
Leo dan Vincent terbatuk-batuk. Bahkan Fergus sendiri mulai tersipu malu dengan ucapan blak-blakan dari Versa. Gadis berambut merah itu justru tertawa tanpa bersalah.
Fergus berdeham. Ia berusaha mengklarifikasi. "Versa.. mengatakan itu.. sedikit.."
"Tapi itu benar bukan, Fergus?" sahut Versa polos. "Kita berdua... di satu gubuk kecil, saling berbagi kehangatan."
"Aku bahkan tak tahu sejauh apa kau melakukannya padaku, Fergus."
"V-Versa.." pinta Fergus memelas. "Aku tak melakukan apapun. Percayalah."
"Kita sudah selesai membahas ini, kumohon maafkan aku," bisik Fergus setelahnya. Wajahnya berkeringat dingin.
"Biarpun begitu kau sudah menyentuh dadaku, Fergus. Aku harus ikut bersamamu suka atau tidak suka karena kau bertanggung jawab atas segala sesuatu yang 'terjadi' malam itu." Versa justru cekikikan menggoda Fergus.
Terlihat Leo yang sangat marah sekarang.
"Aku akan mengulitimu hidup-hidup.."
"Eh, Kesatria Leo! Sepertinya ada salah paham!" pekik Fergus gelagapan.
"Tidak, aku mendengarnya sangat jelas." Leo berdiri dari kursi. Tatapannya terkunci pada Fergus. "Mau keturunan de Rasel atau tikus jalanan, tak ada bedanya."
"I-ini salah paham!" seru Fergus semakin panik. Versa malah tertawa keras melihat Fergus dan Leo.
"Beraninya kau!!"
"Beraninya kau menyentuh tubuh suci Nona Versa, hah?!!"
Itu menjadi malam yang berat bagi Fergus. Teriakan Leo tak ada habisnya. Fergus terus memohon untuk menjelaskan keadaan, tapi Leo menolak mendengar. Vincent sendiri tak bisa membantu apa-apa sebagai tuan rumah. Ia sudah pasrah mau sehancur apa ruang tamu rumah sederhana miliknya. Sedangkan Versa tertawa sampai air matanya keluar.
Ini hiburan tersendiri bagi gadis berambut api itu.
Perlahan tapi pasti, jumlah yang mendukung Fergus bertambah lagi.
Hanya masalah waktu sampai Fergus memiliki kekuatan penuh untuk siap menghadapi Raja Mero I.
Target utama dari hidupnya. Orang yang harus mengambil tanggung jawab hilangnya nyawa orang tua kandung Fergus beserta kehancuran sembilan kerajaan.
***