"Hyahh!"
Suara pedang terdengar begitu hebat. Fergus tengah melawan kurang lebih tiga puluh awak kapal bersenjata di kapal itu.
Begitu ia menampakkan diri keluar dari dek bawah, semua orang menyambutnya dengan ekspresi kaget yang tak terkira. Sejujurnya mereka sungguh tak menyangka bahwa perkiraan kapten seratus persen tepat. Perkiraan bahwa ada penyusup di kapal itu.
Jubah hitam Fergus berkibar seiring mengikuti pergerakan kakinya. Fergus menukik, berputar, dan melangkah dengan gesit. Tangannya yang cekatan memutar pedang hingga orang-orang tak bisa lagi mengikuti arah pergerakan Fergus. Terima kasih kepada Reid yang sudah memberikan banyak teknik unik.
["Pedang itu bukan senjata!"]
["Perlakukan ia seperti kau sedang merajut, Fergus! Putar, ayun, lenturkan tubuhmu! Dan kau akan mendapatkan hasil yang kau inginkan! Itu bahkan bisa melebihi dugaanmu!"]
Ajaran Reid terngiang di kepala Fergus. Sekarang pria muda itu meringis lebar. "Berisik, Tuan Reid! Aku sedang kerepotan melintir tanganku!"
"Hahh?!" Lawan Fergus memekik bingung.
"Diamlah, bukan untukmu perkataanku tadi." Satu langsung tumbang. Fergus mengayunkan pedang itu begitu saja hingga pria tersebut jatuh mengenai papan kayu.
"Cepat tangkap dia! Apa tak ada seorangpun yang bisa melakukannya?!" Kapten kapal berseru lantang. Dia mengamuk. Jelas saja karena kapal dagang miliknya tengah porak-poranda. Semua berkat Fergus dan pedang pemberian Reid.
Pedang yang diberikan Reid pada Fergus sungguhlah bukan pedang biasa. Gurunya itu terlalu menyayangi Fergus sampai-sampai pedang warisan Keluarga Charles diberikan padanya. Ketika Reid menyerahkan pedang yang selalu ia rawat itu pada Fergus, anak itu sebenarnya telah menolak beberapa kali. Namun Reid terus memaksa Fergus untuk menerima.
["Ini kupercayakan padamu. Semua tekadku di masa lalu, kau yang mewarisinya."] Kala itu Reid tersenyum senang. Ia terus mendesak Fergus.
["Jangan pikirkan Deus! Dia pasti lebih memilih model pedang baru!"]
Sekarang pedang di tangan Fergus kembali terayun. Lagi, beberapa pria jatuh kehilangan keseimbangan. Fergus bukan tandingan mereka. Kekuatannya sudah melampaui siapapun di kapal itu.
"Persetan!" pekik sang kapten. Ia menarik salah satu pria di dekatnya. "Kemudikan kapal! Biar aku yang membuangnya ke laut!"
Akan berbeda nasib Fergus jika kapten kapal yang turun tangan melawan dirinya.
Kapten kapal mengeluarkan kapak yang cukup besar. Di luar dugaan, ia tidak menggunakan pedang untuk menghadapi Fergus.
[Kapak itu besar!] Dalam hati Fergus mulai sedikit panik. Ia memikirkan cara untuk dapat menghadapi kapten saat ini.
"Sialan!"
Kapak milik sang kapten menebas layar. Sepertinya ia sudah tak peduli lagi bahwa kapalnya bisa hancur kalau terus melawan Fergus. Tujuannya yang nampak di mata hanya satu, yaitu membuat Fergus terjatuh ke laut. Mau seperti apapun, ketika seseorang sudah masuk ke dalam air laut, mereka takkan bisa apa-apa dan perlahan tenggelam.
Apalagi lautan adalah rumah bagi ikan besar. Menunggu Fergus dimakan setelah masuk ke laut perbatasan Simia dan Hacres tak butuh waktu lama lantaran ikan besar pemakan bangkai sudah sering mereka jumpai.
Bahkan mungkin saat ini sedang berputar-putar di bawah kapal. Menunggu seseorang terjatuh dengan sabar.
"Kau orang Simia sialan!" olok sang kapten. Kapaknya terus ia arahkan pada Fergus hingga sempat melukai lengan pria muda itu. "Beraninya kau m*****i kapalku! Matilah!"
Fergus menghindar ke kiri. Ayunan kapak itu mengenai pinggir kapal. Kayunya mencuat dan berserakan. Puingnya terjatuh. Kapten semakin geram.
"Tikus! Keturunan buangan! Untuk apa kau menaiki kapalku?!"
Serangan kapten membabi buta. Kini tak hanya lengan Fergus yang terkena goresannya saat menghindar, melainkan lutut kanannya juga.
Fergus terus menggenggam pedang besar pemberian Reid dengan kedua tangan erat. Saking kuatnya ia sampai tak merasakan darah yang mengalir di sekujur tangan dan kakinya.
"Aku.. harus!" Fergus berlari lalu menyerang kapten. Pedangnya tepat mengenai kapak. Kapten itu telah mengubah kapaknya sebagai pertahanan. "Aku de Rasel!! Aku harus memperjuangkan hakku!!"
Kapten membelalakkan mata. Seketika Fergus mengambil kesempatan itu untuk melawan sang kapten, tapi belum sempat pedangnya diayunkan, angin kencang menghembuskan kapal. Layar yang sempat rusak menutupi jarak pandang keduanya. Bahkan, pedang Fergus sampai ikut terlempar menjauh.
Cepat-cepat Fergus berlari menuju pedangnya yang terlempar. Namun awak kapal yang sempat ia pukul telah bangkit. Kini sekitar tujuh orang mengepungnya.
[Tamatlah..aku.]
"Versas!!"
Tiba-tiba Fergus mendengar teriakan wanita. Teriakan itu begitu memekakkan telinga, sehingga banyak awak kapal teralihkan dari Fergus. Sekelebat bayangan muncul di atas mereka, disusul suara teriakan kesakitan dari beberapa awak kapal yang mengepung Fergus dari belakang.
Sekarang berdiri seorang wanita dengan rambut merah menyala di hadapan Fergus. Di tangannya, sebilah pedang ia genggam dengan ketegasan yang mampu membius mata. Sorot matanya begitu dalam. Jubah hitam kemerahan yang ia kenakan semakin menciptakan daya tarik unik dari wanita itu.
Perpaduan antara kecantikan dan keberanian, seseorang yang telah berhasil membuat Fergus terpana dalam beberapa detik saja.
Wanita itu kini berputar. Sama seperti Fergus, ia menguasai teknik berpedang yang cukup unik. Fergus belum pernah melihat tebasan yang begitu sederhana dan cepat secara bersamaan. Itu sungguh mematikan. Wanita berambut merah itu semua pergerakan dirinya nampaklah bagaikan api yang berkobar di perapian.
[Tidak.. dia sama seperti, api unggun waktu festival,] Fergus tercengang. [Begitu.. meriah.]
[Dan menenangkan.]
"Kau!"
Wanita itu menoleh pada Fergus. Hanya beberapa detik sampai pandangannya teralihkan lagi pada lawan di depannya.
"Apa kau tak ada niatan mengambil pedangmu?!"
Fergus mengerjapkan mata. Ia langsung sadar bahwa itulah hal yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah terlalu terkesima dengan tarian pedang wanita misterius itu sampai ia lupa bahwa dirinya juga harus melawan. Cepat-cepat dirinya berlari ke sudut kapal, meraih pedangnya, dan mulai menangkis beberapa serangan.
Kini, Fergus dan wanita berambut merah berdiri tepat di tengah kepungan awak kapal. Mereka berdua saling memunggungi.
"Siapa namamu?" tanya Fergus.
"Tak ada waktu untuk itu!" Wanita itu kembali berteriak lantang. "Kaptennya aku yang menangani, kau pukul mereka semua dan pergilah ke sisi selatan kapal! Tunggu aku di sana!"
Sekarang wanita itu setengah berbisik. "Sekocinya."
Fergus membulatkan mata. Ia sekarang menyeringai.
Ada harapan untuk keluar dari situasi itu!
"Takkan kubiarkan!"
Kapak melayang di udara. Hampir saja kepala wanita berambut merah itu yang kena jika Fergus tak menyeret wanita itu ke belakang.
"Aku saja yang melawannya."
"Kau bodoh?!" Wanita itu justru memaki Fergus. "Dengan kemampuan payahmu?! Lupakan saja!"
Lagi. Sesuatu dalam diri Fergus yang sebenarnya tak terima, mendadak bisa menerima semua perbuatan wanita itu. Memakluminya. Membiarkan wanita itu memimpin.
[Perasaan ini.. bagaimana aku harus menyebutnya?]
[Rasa aman?]
"Versas!!"
Lagi-lagi Fergus mendengar wanita itu meneriakkan satu kata yang tak ia mengerti. Akan tetapi, tiap kali wanita itu meneriakkan kata itu seolah ada kekuatan besar menguar dari tubuhnya. Pergerakan wanita itu menjadi terlihat sangat ringan. Ayunan pedangnya bertambah kencang, terasa dari tebasannya di udara.
Kini wanita itu menghadapi sang kapten. Hanya butuh waktu sepuluh detik untuk menumbangkan sang kapten hingga kapaknya terpental, jatuh ke lautan.
"Sekarang!!"
"Tunggu apa yang kau lakukan?! Kapalnya bisa terbakar!"
"Memang itu tujuannya, bodoh!"
Wanita itu meraih sebuah lampu minyak yang tergantung. Ia memecahkannya hingga api menyebar ke seluruh dek.
Cepat-cepat ia berlari bersama Fergus menuju sisi selatan kapal yang belum terkena api. Ia mendorong Fergus seketika ke sekoci lalu dirinya melompat dan menebas tali yang menahan sekoci tersebut.
"Padamkan apinya!"
"Air! Air!!"
Mereka mendengar kepanikan awak kapal. Suara mereka menjauh seiring sekoci sudah mereka dayung mengarungi laut.
Fergus menatap wanita itu penuh tanya. "Kenapa kau melakukannya?"
"Itu harus dilakukan," jawab tegas wanita itu. "Jika tidak, mereka akan terus mengincar kita bahkan saat di daratan. Pengalihan yang sempurna agar mereka melupakan siapa wajah kita adalah dengan membakar kapal. Perhatian mereka terpecah. Sekarang tinggal seberapa pintar kita menyamar."
Tak disangka jawaban wanita itu sungguh jelas dan panjang. Fergus sampai menganggukkan kepala beberapa kali, setuju dengannya.
Rambut wanita itu berkibar lagi. Warnanya yang kemerahan sangat menyolok mata. Tahu akan hal itu, wanita tersebut mengambil seutas tali kecil di kantungnya lalu mengikat rambut itu perlahan. Ia juga membenahi jubahnya dan menutupi rambut dengan tudung jubah hitam kemerahan miliknya.
Fergus mengulurkan tangan. "Namaku Fergus. Siapa namamu? Apa kau dari Simia juga? Mungkinkah dari dua pulau Simia lain yang lebih sepi dari kampung halamanku?"
"Untuk apa aku membongkar namaku pada orang asing?"
Wanita itu menepis tangan Fergus dengan kalimat yang menusuk. Ia terus mengayunkan dayung sekoci. "Kau tidak lihat tanganku sibuk? Paling tidak bantu aku sebelum berkenalan!"
Fergus tertawa kecil. Ia sempat berpikiran buruk. [Ternyata, dia hanya ingin dibantu.]
"Ulurkan dayungnya padaku. Biar aku saja."
Ketika Fergus yang mendayungnya, sekoci itu menjadi dua kali lebih cepat. Wanita itu sampai memegang sisi sekoci supaya tidak kehilangan keseimbangan.
"Kurang lebih setengah jam lagi kita sampai di Hacres," ujar Fergus memperkirakan. "Setelah ini, kau mau berpisah, atau membutuhkan bantuanku?"
"Memangnya apa pedulimu?"
"Yah," Fergus meringis. Matanya yang hitam kecoklatan bersinar terkena cahaya Matahari. "Hanya bentuk ucapan terima kasihku. Aku ingin membantu sebisaku karena yang tadi sungguh hebat."
"Aku sampai kehilangan kata-kata. Belum pernah aku melihat pengguna pedang wanita."
"Jangan meremehkan wanita!" pekik wanita itu tak terima.
"Dengan belajar teknik yang tepat sesuai tubuh ringan wanita, bahkan seorang wanita mampu menumbangkan lima puluh pria bersenjata sekaligus!"
Fergus tercengang. "Wah hebat. Aku baru tahu akan hal itu.."
Keheningan mengisi keduanya. Menyisakan suara ombak dan semilir angin sore yang cukup membawa suasana hangat.
Wanita itu sedari tadi terus menatap Fergus dengan keraguan. Seolah ia tengah menimbang sesuatu dalam benaknya.
"Jangan sungkan!" seru Fergus tiba-tiba. "Aku terbuka dengan banyak orang."
"Kalau butuh bantuanku, dengan senang hati akan kubantu. Itu akan kuanggap sebagai balas budiku."
Wanita itu termangu. Ia memainkan rambutnya yang sedikit terlihat.
"Namaku.. Versa."
Senyum Fergus mengembang. Akhirnya wanita itu bersedia memperkenalkan dirinya.
"Versa ya?" kata Fergus senang. "Nama yang bagus!"
Pujian itu cukup membuat pipi Versa bersemu merah.
"Berapa umurmu?"
"Tujuh belas."
"Hee?! Sama sepertiku!" seru Fergus kaget. "Kukira kau lebih dewasa! Apa kau dari Simia?"
Versa menggeleng.
"Begitukah?" tanya Fergus polos.
Cara komunikasi Fergus yang sederhana itu mampu membuat banyak orang menerimanya. Hal itu sudah sering terjadi semenjak Fergus kecil dan nampaknya Versa bukanlah pengecualian.
"Kalau begitu, apa kau dari Hacres?"
Versa membulatkan mata. Pandangannya was-was. "Darimana kau tahu?!"
Fergus lagi-lagi tersenyum kecil. "Kapal ini selalu datang dari Hacres. Aku hanya menebaknya saja. Jadi, itu benar? Kau datang dari Hacres? Kenapa bisa berada di kapal ini?"
"Aku salah.. memilih kapal.. untuk kabur." Suara Versa terputus-putus. Dia masih ragu untuk mengatakan kebenaran. Namun pada akhirnya ia mengatakan juga lantaran Fergus terlihat seperti pria biasa yang tidak terlalu mengerti apa-apa.
"Kau kabur? Kenapa?" tanya Fergus lagi dengan nada lembut.
"Kau sendiri, Fergus. Kenapa mengusup ke kapal yang akan menuju Hacres? Kau orang Simia bukan?" Versa membalikkan pertanyaan pada Fergus.
"Yah, itu cerita yang cukup rumit." Fergus berdeham.
"Singkatnya.. aku juga sama sepertimu. Kabur.."
Setelah itu, mereka dapat melihat hamparan pasir putih tak jauh dari pandangan.
Fergus mengarahkan sekoci pada pantai lepas yang bukan pusat pelabuhan dari Hacres.
Mereka yang baru saja berbagi nasib itu, kini akan menghadapi sebuah tujuan baru.
Tujuan yang sama atau bukan, tergantung bagaimana mereka melihatnya.
"Nah, kau berusaha kabur dari Hacres. Sekarang kita justru ada di Hacres," ujar Fergus tertawa kecil seraya mendorong sekoci ke tepian. "Apa kau punya tujuan? Izinkan aku menemanimu kalau kau butuh orang untuk menemani pelarian."
"Kau sendiri tak punya tujuan? Sampai menanyakan tujuan orang lain dan bersedia ikut sukarela," gumam Versa.
"Tidak ada." Fergus justru mengangguk. "Ini pertama kalinya aku pergi ke luar kota. Akan lebih bagus jika aku menemukan orang yang lebih tahu tempat ini. Dan sepertinya kau sangat tahu."
"Memang."
Versa mendelik. Dia berpikir keras.
"Aku ingin ke Kota Syre. Setidaknya di Hacres ini aku bisa mengarahkanmu jalan yang aman menuju sana. Yang jauh dari kediamanku. Kau bersedia menemaniku kemanapun bukan sebagai balas budimu? Maka temani aku ke sana. Bagaimana?"
"Aku tidak masalah selama bisa mempelajari tempat ini," kata Fergus seraya mengangguk. Berikutnya ia bertanya, "Memangnya kenapa dengan kediamanmu? Kenapa juga kau kabur?"
"Mereka.. akan memanfaatkan aku."
Versa mendecih kesal. Ia menguatkan ikatan pedang di pinggangnya. "Hanya ini satu-satunya cara agar aku lepas dari tekanan istana."
Fergus membelalakkan mata.
Sekarang, mungkin ini sebuah pertemuan yang terbawa oleh takdir.
Angin menerpa tudung jubah Versa hingga terlepas dari kepalanya. Ikat rambut Versa ikut melebar terkena hembusan kuat.
Rambut semerah api itu kembali berkibar.
Rambut bergelombang milik Versa yang terlihat sangat indah di mata Fergus kini dapat ia lihat lagi seiring pikiran Fergus tenggelam dalam kata 'istana' yang disebutkan Versa.
"Takdir.. ya?"
"Apa kau mengatakan sesuatu, Fergus?" celetuk Versa tidak sempat mendengar Fergus yang bergumam. "Ugh, angin ini.. ikat rambutku jadi lepas.."
Tanpa diminta, Fergus mengulurkan kedua tangan.
Ia membantu Versa membetulkan ikatan rambutnya dari belakang. Wanita muda itu mematung. Reaksinya antara terkejut dan bingung.
Fergus sendiri hanya diam saat membetulkan rambut Versa. Ia mengikatnya dengan rapi, mengingat dulu ketika kecil ia sering mengikat rambut Mary.
"Nah, sekarang ikatannya takkan lepas lagi," kata Fergus girang.
Versa tertegun.
Kini jarak mereka hanya terpisah dua puluh senti. Mereka saling berhadapan dengan jarak yang terlalu dekat satu sama lain.
"Terima.. kasih." Versa langsung menyembunyikan rambutnya di balik jubah. "Itu tadi.. tiba-tiba sekali."
Fergus hanya mengerjapkan mata. Sadar dengan apa yang sudah ia lakukan, Fergus panik.
"Ah! Maaf! Aku.. aku spontan melakukannya!"
"Rambutmu itu.. terlalu indah."
"Aku.. jadi ingin.. menyentuhnya." Fergus menggaruk kepala, kikuk.
Versa hanya tersenyum lebar.
Baru kali ini, Fergus melihat senyuman di wajah Versa.
[Dia.. cantik.]
***