“Abang, jam berapa ke rumah aya? udah mau jam 9” suara Millah menyambutku setelah aku mengangkat panggilannya.
Aku menghela nafas.
“Iya, ini mau jalan. Abis temenin Ben jajan” jelasku agar dia mengerti.
“Ben lagi Ben lagi. Kapan abang perduliin aya sih?” jawabnya protes.
Ini bagian yang aku bingung untuk menjawabnya. Kadang aku bertanya tanya, apa Millah tidak sadar ya kalo aku mulai berusaha menjaga jarak?. Harusnya dia menyadari hal itu kalo aku mulai semakin malas untuk menemuinya sekalipun hari di mana, seharusnya aku apel ke rumahnya.
“Udah buruan apa bang ke rumah. Aya tunggu ya bang” katanya lagi karena aku diam.
“Okey” jawabku lalu mengakhiri panggilan begitu saja.
Harusnya perempuan lebih peka bagian ini ya? Pasti ngerasalah kalo orang yang dia anggap pacar mulai lama membalas pesan atau malah mengabaikan panggilannya. Atau semakin jarang menemuinya kecuali di telpon atau di paksa datang. Tapi Millah tidak begitu. Entah karena stok kesabarannya banyak atau memang dia pura pura kalo hubungan kami baik baik saja. Aku sudah tidak tau pasti soal ini. Kalo penyanyi berlatar belakang suku batak dan jebolan sebuah ajang mencarian bakat menyanyi, hubunganku dan Millah itu harus di pertanyakan harus putus atau terus, seperti judul salah satu lagunya yang hits, dan jadi sering sekali aku dengarkan.
Aku sedang bertanya tanya tentang perasaan kita
benarkah kita saling mencinta atau hanya pernah saling cinta
bukankah kamu juga merasa dingin mulai menjalari percakapan kita
pertanyaan kamu sedang apa terkesan hanya sebuah formalitas saja
coba tanyakan lagi pada hatimu
apakah sebaiknya kita putus atau terus
kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar menunda perpisahan.
Dari penggalan lirik lagunya aja, cocok sekali dengan kondisi hubunganku dengan Millah. Benar yang lirik lagu itu bilang. Kami ini saling cinta atau hanya pernah saling cinta. Kami ini sedang berusaha mempertahankan hubungan atau malah hanya sedang menunda perpisahan. Entahlah, aku sendiri tidak bisa jawab.
Padahal dulu, aku tidak bisa memungkiri, ada kebanggaan tersendiri saat dia akhirnya berhasil aku jadikan pacar. Aku masih ingat benar gimana akhirnya kami berkenalan. Yakan karena aku kuliah dan ngekos, buat aku cukup lama tidak bergaul dengan teman temanku semasa kecil atau setelah aku remaja. Aku sibuk kuliah, dan sempat berhenti ikut rombongan mengaji dengan para muda mudi di lingkungan rumahku. Aku hanya masih aktif ikut latihan silat, karena selalu latihan di hari minggu sore sampai malam lalu aku akan kembali ke kos kosanku. Jadi aku tidak menyadari keberadaan Millah di antara rombongan pengajian perempuan yang kadang di gabung mengaji bersama di masjid atau musholla di kampung yang berbeda, atau RW deh supaya kalian lebih mengerti maksudku.
Nah aku bertemu Millah saat pengajian gabungan bulanan itu. Dia ambil bagian jadi panitia di masjid dekat rumahnya.
“Abang adenya bang Mamat ya? Mirip” katanya setelah kami berkenalan.
Teman temanku sudah bersiul norak seperti menyemangatiku.
“Emang ngapa? naksir sama abang gue? Ama gue ajalah, lebih muda, cocok sama eneng yang masih perawan botoh” gurauku.
Dia tertawa dan aku ikutan. Tapi tertawa malu malu khas anak gadis perawan yang di goda bujang kampung.
“Bang Mamat kemana? udah lama gak ikut ngaji” tanyanya.
“Sibuk dia mah, kaya lagi ngurusin negara, jadi jangan ngarep dah elo bakalan di perhatiin abang gue” jawabku.
Bahkan Millah dulu lebih tertarik pada abangku, yang dulu memang jadi bujang most wanted di kampungan kami. Siapa yang tidak abangku. Rafiq Rachiem, alias Mamat kalo nama di tongkrongan. Abangku itu seperti tipe laki impian banyak cewek cewek. Ya keceh, pinter ngaji, jago silat, terus tentu saja mapan. Gambarannya cocok kali ya dengan sosok si Doel di sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yang dulu booming di TV. Si Doel aja di gambarkan di perebutkan Sarah dan Zaenab karena terkesan labil dan bingung memilih antara dua perempuan dalam sinetron yang sama. Padahal si Doel malah belum punya pekerjaan mapan macam abangku saat itu. Jadi tidak perlu kaget kalo akhirnya abangku di incar gadis gadis di perkampuangan kami, sampai emak emaknya juga berharap punya mantu seperti abangku.
Bager banget soal bang Mamat tuh jadi laki. Tidak neko neko, lucu, nurut pada orang tua, soleh dah pokoknya. Semua hal baik selalu di alamatkan pada abangku. Jadi kadang buat aku ciut juga dan merasa tidak pantas bersaing dengan abangku sendiri, kalo apa apa pasti orang langsung membandingkan dengan bang Mamat.
“Emang abang kerja di mana sih?” tanya Milah yang dulu baru lulus SMA dan aku sudah lulus kuliah dan sudah mulai kerja di kantor abang iparku.
“Abang mana, abang somay apa abang seblak?” tanyaku bergurau sekalipun aku tau maksud pertanyaan Millah.
Dia tertawa.
“Abang sih bercanda trus” protesnya lirih dan malu malu.
Aku jadi tertawa.
“Ya eneng nanya gak nyebut nama. Semua laki di sini di panggil abang, dan rata rata pada kerja. Gak cuma abang gue sama gue” jawabku.
“Bang Mamat maksudnya” jedanya.
Aku menghela nafas.
“Kalo elo mau tau soal abang gue, ke rumah aja dah,tanya orangnya langsung. Gue mau kasih nomornya ke elo, takut dia ngamuk” jawabku.
“Abang marah?” tanyanya lagi pada reaksiku.
Aku tertawa.
“No baper neng. Selow ae” jawabku.
Gantian Millah tertawa.
“Boleh minta nomor eneng gak? kali eneng butuh tukang ojek buat kemana ke, ke KUA juga boleh” kataku menjeda tawanya.
Dia tertawa dulu lagi, sebelum akhirnya memberikan nomor handphonenya padaku. Kalo ingat masa itu, rasanya aku ingin sekali ke masa itu. Masa di mana aku jadi seperti punya semangat hidup lagi. Walaupun berujung dengan emak yang selalu ngomel karena aku selalu kabur keluar rumah lagi setelah aku pulang kerja.
“Lama lama elo kaya jatuh bulu betis, gak betah beud di rumah” omel emak kalo aku pamit keluar rumah lagi.
“Eleh emak, anak bujang ngapain di rumah? Tar emak gak bisa bedain mana magic com sama aya” jawabku.
Emak berdecak.
“Bisa banget lo jawab orang tua” omel emak lagi.
Aku tertawa.
“Ya udah sih mak, Anak emak bujang bukan perawan, takut amat kalo gak betah di rumah, gak bawa perut” kataku lagi.
“Gak bawa perut juga, tapi elo bisa bikin perut anak perawan orang jadi buncit” omel babeh ikutan.
Aku langsung ngakak.
“Gak dong beh, paling ngeker doang. Gak enak beh kalo belum di halalin, deg degan pas ngos ngosannya, takut pan di gerebek hansip” jawabku lagi.
“Astaga…nih bocah elo empanin ape sih peh, bisa beud jawab orang tua” keluh babeh yang masih aku dengar sebelum aku berlalu dengan motor bang Mamat yang keren.
Semenjak bisa beli mobil city car untuk dia kerja, dan pergi kemana mana, abangku itu memang sering membiarkan motornya di rumah. Sudah bosan kali kalo semenjak dia SMA sudah dia pakai untuk keluyuran. Tapi jangan harap bisa memakai helm miliknya juga yang keren. Dia simpan rapi dalam dusnya karena harganya setaraf motor ninja baru. Bang Andra yang dulu membelikannya sebagai sogokan karena ketahuan mencium mpo Ocha saat masih pacaran.
Dan aku langsung merancang trik untuk gimana caranya mendekati Millah. Dari mulai mengajak teman temanku nongkrong dengan anak anak muda kampungan Millah sampai terus menerus memberikan perhatian Millah lewat pesan atau telpon. Rasanya menyenangkan sekali saat di izinkan menemuinya di rumah, dan tentu saja setelah dapat izin juga dari anak anak muda kampungan Millah. Ya namanya bocah akamsi, takutnya kesal karena anak perawan yang pastinya jadi incaran mereka, lalu aku tikung. Taukan akamsi? anak kampung sini artinya. Dan seperti semesta mendukung usahaku mendapatkan Millah sebagai pacar, babeh Millah yang juga betawi asli mengenal babehku.
“Emang elo anak bang Rachiem?” tanya babehnya sambil menunggu Millah membuatkan minum untukku.
“Iya cang” jawabku.
“Adenya si Mamat?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi. Sebenarnya seperti berada di balik bayang bayang kesuksesan versi kampung abangku. Tapi aku senang, karena gimana pun abangku sudah membawa nama baik babeh dan emak di lingkungan tempat tinggal kami.
“Iya cang” jawabku lagi.
“Pantas mirip” jawab babehnya Millah.
Namanya Ropi’ih, banyak panggil orang dengan cang Pi’ih. Juragan kontrakan juga macam babehku. Darimana lagi orang orang dengan sebutan kaya di kampungku punya aku, kalo bukan jadi juragan kontrakan. Apalagi saat banyak mall akhirnya di bangun di sekitar Ciganjur. Semakin lakulah bisnis kontrakan dan kos kosan. Istilahnya babehku orang kaya di kampung A, babeh Millah orang kaya di kampung B. Tetanggaan gitu, kalo untuk mencapai rumah Millah dari rumahku, hanya sekitar 10 menit naik motor.
“Babeh lo tau elo deketin anak encang?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk saja, daripada lebih banyak pertanyaan dari babehnya.
“Iya dah, yang bae bae lo ya berkawan sama anak perawan encang” katanya lagi sebelum pamit masuk bagian dalam rumah karena aku di terima di teras rumahnya.
Dan jangan berpikir gaya pendekatanku dan pacaranku dengan Millah seperti pasangan di kota, boro boro berduaan, yang ada kami harus selalu di temani banyak orang yang juga saudara saudaranya Millah yang tinggal di kanan kiri rumahnya. Belum orang kontrakan yang kadang kepo dengan bolak balik tanya atau sekedar lewat. Jadi baru aku bisa sosor saat dia mengajaknya nonton. Sisanya hanya pergi dengan gerombolan teman teman kami naik motor. Millah dulu masih belum sedewasa sekarang. Umurnya aja belum 20 tahun waktu kami pertama kali pacaran. Aku juga dulu masih 23 tahun dengan Millah yang 19 tahun dan masih kuliah di kampus swasta tidak terlalu terkenal. Setauku pun dari cerita Millah, hasil Millah merayu babehnya untuk sekolah lagi.
Kami hanya akan pergi dengan teman teman kami untuk makan bakso, nonton lenong di tempat orang hajatan, atau pertunjukan dangdut di tempat orang hajatan kalo kebeneran yang menikah salah satu teman kami. Ya namanya bertempat tinggal di satu kelurahan jadi teman teman kami banyak yang sama juga. Begitu aja Millah sudah senang sekali dan cukup murah sebenarnya pacaran dengan Millah tuh. Justru uangku kebanyakan untuk beli makanan sogokan untuk babeh dan emaknya, atau beli makanan untuk teman ngobrol dengan siapa pun yang menemani kami pacaran.
Dan itu semua itu yang dulu membuatku yakin kalo hubunganku dengan Millah punya tujuan masa depan pernikahan. Di samping Millah termasuk gadis baik baik dan dari keluarga baik juga. Juga karena kami satu suku Betawi, tentu babeh dan emakku akan merestui bukan?. Pikirku dulu begitu. Tapi lalu saat abangku akhirnya mengenalkan mpo Risda sebagai pacarnya pada emak dan babeh, aku ikutan memberanikan diri mengenalkan Millah juga pada emak dan babeh. Tapi kenyataan terkadang di luar ekspektasi.
“Elo jauh jauh kerja ke tengah kota, ngapa ngekernya tetap anak perawan kampungan sendiri sih Wan?” tegur abangku.
“Emang ngapa sih bang, gue demen sama nih cewek” sanggahku.
“Gue bilang recet kalo pacaran sama anak tetangga” jawabnya.
Emak pun bereaksi yang sama.
“Emak bukan gak suka sama si Millah, Wan. Cuma emak sebenarnya berharap elo pacaran sama orang jauh, jadi kalo gak jadi gak bau, tapi tetap wangi” kata emak padaku.
“Kok emak malah mikir gak jadi sih mak? Doain jadi apa mak” kataku.
Emak berdecak.
“Ya kalo jodoh bisa emak yang atur sih gak apa. Tapikan jodoh itu yang ngatur Tuhan” jawab emak.
Padahal emak sebelumnya selalu mengeluh soal mpo Ocha yang jodohnya orang mana mana atau bukan satu suku dengan kami. Dan buat mpo jadi harus di bawa suaminya dan jarang ke rumah emak, kalo tidak ada urusan. Ya suaminya orang sibuk, masa mpo kelayapan keluar rumah. Apalagi rumahnya seperti istana dengan banyak pembantu, tentu harus tetap di awasi bukan?
“Ya udah dah, kalo emang elo demen sama si Millah, doa elonya, jangan emak doang, biar elo jadi beneran sama dia. Biar ngebesannya dekat juga” kata emak selanjutnya dan buat aku semangat lagi.
Babeh yang tidak komentar apa pun. Biasa aja juga sikap babeh pada Millah. Terlihat suka sekali gak, kelihatan gak suka juga gak. Data raja babeh sih, pada mpo Risda dulu sebelum jadi istri abangku. Jadi sementara waktu aku abaikan komentar protes abangku karena dia juga sibuk pacaran dengan mpo Risda. Aku tetap membawa Millah ke rumah, karena berusaha mendekatkan Millah dengan emak. Soalnya aku percaya, restu orangtua itu tetap kunci melancarkan segala urusanku. Kalo hubungannya dengan Millah tentu supaya bisa berduaan. Rumahku kan sepi terus, karena hanya ada babeh dan emak yang selalu meninggalkan aku dan Millah berduaan. Eh jangan mikir macam macam lagi, gak aku apa apain anak perawan orang. Paling aku cium, udah gitu doang. Takut juga kepergok emak atau babeh yang tiba tiba masuk rumah kalo aku dan Millah sering berduaan di ruang tengah rumah, nonton TV di minggu sore sampai Magrib lewat baru aku antar pulang.
Lalu semangatku mulai kendor lagi, saat mendengar komen mpo Ocha yang aku kenalkan pada si Millah.
“Main elo kurang jauh Wan?” tegurnya di awal.
“Ngapa sih?” tanyaku.
“Lah itu, dapat cewek sih masih kampungan sini? Iya kalo jadi, kalo gak jadi. Rame pasti orang gibahin elo, tar ujungnya emak sama babeh kebawa bawa” jawabnya persis bang Mamat padaku.
“Ya kalo gue demennya sama dia gimana?” jawabku.
Mpo Ocha berdecak.
“Hati hati lo pacaran sama dia, jangan bikin malu. CCTV elo warga selebar kampung. Kalo elo bikin melendung tuh bocah, kelar hidup elo” jawab kak Ocha.
Jadi buat aku hilang semangat lagi, saat emak tidak menanyakan keberadaan Millah setelah aku berhenti mengajaknya ke rumah. Emak tidak begitu pada mpo Risda, yang pasti di tanyakan kabarnya pada bang Mamat. Sampai aku tanya babeh saat emak tidak ada.
“Kurang sreg kali, tapi bisa apa kalo elo demen. Kan yang jalanin elo bukan emak, elo jangan pikirin” kata babeh.
“Babeh gimana?” tanyaku lagi.
Babeh menghela nafas.
“Babeh mah Wan, mau sama siapa kek anak babeh nikahan, yang penting sama sama suka, bukan karena terpaksa. Gak bae nanti buat berumah tangga. Kalo elo emang demen sama anak si Pi’ih, ya bekawan aja yang benar, jangan rusak hubungan bae kita antara sesama tetangga. Babehnya teman babeh ngaji juga dari dulu, udah tegorin babeh juga, soal elo yang rutin datang ngapelin anak perawannya” jawab babeh.
Tapi tetap aja. Pacaran tanpa restu keluarga apalagi ibu tuh, rasanya ada yang kurang. Aku tiba tiba harus selalu membaca sikap emak saat bertemu Millah, atau harus selalu memastikan Millah tidak bertingkah laku yang mungkin menyinggung emak atau babeh, takut hilang respect lalu restu semakin susah aku dapatkan. Jadi sempat aku berhenti membawa Millah ke rumah babeh dan emak, walaupun tetap aku datangi dan pergi pergi di luar sepengetahuan keluargaku. Jadi kebayangkan dilemmanya aku kalo harus memutuskan hubunganku dengan Millah, apalagi Millah tidak punya kesalahan apa pun, selain dia sabar menungguku siap, atau sabar dengan kelakuanku yang perlahan berubah padanya.
“Abang sibuk banget kerja ya?, masa lama banget kalo balas pesan aya” paling dia mengeluh begitu sisanya aman.
Apalagi kalo aku sudah kasih uang jajan sebagai pengganti rasa bersalahku karena selalu mengabaikannya.
“Pergi main dah sama teman teman kamu, abang memang sibuk banget sekarang” kataku.
Dia akan senang menerimanya.
“Abang lagi ngumpulin duit ya buat kita nikahan?” tanyanya lagi.
Mau tidak mau aku mengangguk.
“Babeh soalnya udah sering tanya, kapan abang mau bawain duit. Millah kan udah mau 25 tahun bang, bisa bisa jadi perawan tua” katanya lagi.
Aku mengangguk lagi saja dan semakin dilemma. Rasanya seperti menunggu bom waktu meledak saat babehnya menegurku soal masa depan hubungan kami ke depan, pasca bang Mamat sudah menikah dan punya anak. Dulu alasanku pada Millah memang karena bang Mamat belum nikah, jadi tidak mungkin melangkahi abangku. Lalu alasan mpo Risda sedang hamil lalu nanti jadi repot kalo harus urus pernikahan kami, yang pastinya akan melibatkan banyak orang. Sekarang alasan itu semua sudah tidak bisa di pakai bukan?.
“Bang Iwan!!!”.
Buyarlah lamunanku lagi, dan aku sedang di kantor saat ini.
“Ngelamun bae. Ke kantin gak? yang lain pada mau makan di sini, pada mager” tegur salah satu anak buahku.
Sekarang pun jabatanku sudah naik level jadi supervisor devisi gambar menggantikan posisi abangku yang sudah pindah ruangan di dekat ruangan bang Andra, semenjak COO perusahaan pensiun. Belum jelas apa jabatan bang Mamat saat ini. Pokoknya tetap tangan kanan bang Andra. Dan aku meniru abangku yang menyuruh anak buahku memanggilku abang, sekalipun mereka lebih tua, dan menghindari di panggil bapak. Biar tetap merasa sama aja dalam hubungan kerja, tapi tetap sopan.
“Tumben, biasanya elo semua pada demen banget nongkrong di kantin” komenku.
Anak buahku ini tertawa, dan memang yang selalu di utus yang lain untuk menegurku makan siang.
“Ada yang bening sekarang bang, emang gak tau abang. Yang ada di sinikan udah pada nikah semua, gak enak banyolinnya” jawabnya.
Aku tertawa. Memang ada beberap staff wanita bagian administrasi purcahing order yang di gabungkan dengan divisi gambar untuk buat surat permintaan material bahan bangunan, atau buat surat penawaran proyek dan surat permohonan penyediaan barang material pada supplier, dan semua jadi tanggungjawabku sekarang. Dan setauku mereka sudah menikah semua, dan aku datang di temani Millah saat mereka menikah. Otomatis semua orang di kantor tau, kalo aku sudah punya pacar.
“Siapa?” tanyaku.
“OB baru bang, namanya Neneng. Keceh banget, gak cocok kayanya jadi OB” jawabnya.
Masih aku tertawa menanggapi dan memutuskan makan di ruanganku juga kalo teman teman yang juga anak buahku tidak berniat ke kantin. Mager juga makan sendirian, sekalipun aku banyak mengenal orang satu kantor di luar divisiku.
Tapi lalu aku harus terpaksa keluar ruanganku saat aku temukan dan aku awasi gimana anak buahku yang rata rata sudah menikah malah meledek perempuan yang memakai baju OB dan bertahan di ruangan kerja di luar ruanganku.
“Belum juga pesan makanannya?” tegurku sampai tolak pinggang di hadapan anak buahku yang berniat modus pada perempuan OB yang aku belum kenali itu OB yang di maksud anak buahku.
Kasihan aja, kalo di ledek dan di goda dengan mengganti pesanan makan siang mereka supaya si OB bertahan di ruangan kerja divisi gambar.
Selesai aku menegur, baru perempuan OB itu menoleh, baru deh aku ngerti kenapa anak buahku suka meledek dan mengganggunya. Beneran keceh ternyata, bening….aslian deh.
Dan emang dasarnya laki, walaupun udah punya pacar atau istri, pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggoda perempuan di luar. Siapa tadi namanya? Neneng? Serius?,rasanya udah lama sekali aku tidak menemukan nama gadis muda bernama Neneng, di era milenial saat ini? Tapi boleh juga, mungkin bisa jadi penyemangatku untuk datang ke kantor.
( jangan lupa tap love ya sayang aku semua……)