Neneng POV.
“Itu sarung dari mana?” tegur teh Nia begitu aku kembali ke pantry setelah aku melihat barang dagangan salah satu karyawati staff anak buah pak Iwan.
Aku baru selesai menyiapkan minuman pesanan para pegawai staff pagi ini, lalu di tawari melihat barang dagangannya. Dan karena oleh mba penjualnya boleh bayar saat gajian nanti, aku jadi tertarik melihat, apalagi yang dia jual sarung. Aku jelas langsung ingat bapak di rumahku, yang tidak punya banyak sarung untuk sholat. Kadang bukan karena tidak bisa beli, bapaknya aja yang suka mikir sayang terus kalopun hanya untuk beli sarung seharga 50 ribu di pasar.
Tau sendiri, pekerjaan bapak yang sebagai petani, membuat bapak harus selalu mengingatkan kami untuk berhemat, supaya uang yang ada cukup untuk sampai musim panen tiba. Kenapa begitu?, karena sekalipun petani, dan menggarap tanah ladang sendiri, tetap saja harus beli bibit tanaman dan pupuk. Belum obat obatan supaya tanaman yang di tanam bebas dari hama dan tumbuh subur. Lalu untung untungan lagi, iya kalo pas harga jualnya tinggi, kalo harga jualnya pas anjlok, bisa bisa rugi besar yang buat bapak harus ikhlas menerima hasil penjualan dari tanaman yang di panen, hanya cukup untuk modal menanam lagi.
Jangan kalian pikir jadi petani itu enak terus apalagi pas harga sayuran atau buah sedang naik. Harga cabe aja nih, kalo pun di jual di pasar di kota besar, mencapai harga sampai ratusan ribu sekilo, tetap aja bapak hanya akan dapat 25 ribu sampai 35 ribu per kilo. Apalagi kalo di pasar di kota harganya Cuma 30 ribu per kilo, bapakku hanya akan dapat menjual cabe pada pengumpul itu jadi hanya 5000 perkilo, itu paling mahal, kadang di bawah itu. Yang harganya masih bisa di katakana stabil itu, ya singkong. Bapak bisa jual sekilo itu 3000 sampai 5000 rupiah. Untuk itu bapak banyak menanam singkong, yang modalnya pun murah, juga perawatannya.
Ya memang sih bandar bandar sayuran atau tengkulak istilahnya, harus menyediakan mobil untuk membawanya ke kota, dan pastinya butuh biaya. Tapi terkadang menurutku tetap aja tidak sebanding dengan jerih payah petani yang jadi produsen. Petani harus menunggu berbulan bulan untuk panen loh, memangnya sehari dua hari. Jadi kebayang dong ekonomi keluargaku yang hanya punya tanah garapan hanya beberapa meter persegi saja. Tapi ya tetap harus di syukuri kalo akhirnya kami tetap bisa makan dan hidup layak walaupun seadanya.
“Dari mana sarungnya Neng?” tegur teh Nia lagi menjeda lamunanku tentang bapak.
“Beli teh” jawabku.
Dia lalu mengerutkan dahinya.
“Kata kamu gak punya uang?” tanyanya lagi dengan logat sunda khasnya.
Aku mengangguk.
“Hutang ya?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Di belikan pak Iwan” jawabku karena tidak pernah bisa bohong.
“Hah!!, serius?” kata teh Nia lagi lengkap dengan matanya yang terbelalak menatapku.
Aku mengangguk.
“Kamu di suruh apa sampai di belikan sarung?” ampun deh teh Nia, keponya.
“Gak teh, aku aja bingung. Mungkin karena pak Iwan beli juga kali, jadi sekalian bayarin punya saya” jawabku takut takut karena teh Nia mengerutkan dahinya.
Dia diam walaupun tidak menatapku lagi.
“The kunaon?” kejarku gantian sampai menyentuh bahunya.
Dia menatapku lagi.
“Kamu ngartikan mun lalaki udah kasih perhatian, biasanya ada maunya. Jadi teteh ingetin lagi, tong BAPER ya Neng. Teteh udah bilang acan?, pak Iwan udah punya pacar, apa calon istri” jawabnya.
Aku menghela nafas.
“Iya teh, saya ngarti kok. Teteh tenang aja” jawabku.
Teh Nia berdecak.
“Te percaya teteh mah ka kamu” sanggahnya.
“Kenapa gitu?” jawabku dengan logat sunda juga.
“Dari tadi kamu cengar cangir sendiri. Senang pasti pan, bohong mun kamu te senang” jawabnya.
Aku langsung meringis menatapnya.
“Pokoknya inget, kamu teh ke sini niat kerja, jangan gara gara lalaki jadi buyar. Baru masuk juga kamu tuh, belum jadi karyawan tetap. Kalo nanti di pecat gimana?, mau cari kerja di mana lagi yang seenak di sini, walaupun cape dan buat betis ngebet” katanya lagi.
Aku mengangguk.
“Udah simpen sarungnya, ayo urang gawe, cek apa yang habis, nanti biar teteh ke HRD buat laporan supaya di kasih uang untuk belanja yang habis” perintah teh Nia berikutnya.
Aku mengangguk menurut. Giman pun dia seniorku dan paling baik juga. Di banding dua temanku yang lain. Jadi aku selalu menurut pada apa yang teh Nia suruh. Aku lakukan tugasku dan menjawab panggilan dari karyawan yang butuh sesuatu di pantry. Nah pas waktu makan siang, aku sempat ragu untuk mendatangi pak Iwan untuk menawarinya jasa beli makan siang atau tidak. Sekalipun aku masuk ke ruangan staff yang jadi tanggung jawabku. Setidaknya ada 4 ruangan staff, makanya ada 4 OB yang bertugas di masing masing ruangan.
“Jangan ledekin Neneng, nanti bos Iwan ngomel kaya kemarin. Kayanya dia gak keluar kantor deh” salah satu staff lagi yang menitip makan siang padaku.
Yang lain tertawa menanggapi.
“Gue makan kantin aja dah. Gak resep gak bisa ledekin Neneng” kata yang lain beranjak bangkit.
“Kata aja elo boke, makanya makan di kantin” ejek yang lain.
Aku hanya diam mengawasi sampai mereka selesai bercanda seperti biasanya lalu ingat lagi kehadiranku yang menunggu mereka. Kadang aku jeda juga kalo kelamaan berdiri dan menunggu.
“Ada lagi gak pak yang mau pesan?, udah mau jam 12 nanti ngantri” jedaku selalu.
Baru deh yang mau pesan mulai pesan lagi. Dan aku catat dengan benar. Kalo karyawati cewek yang kadang ribet pesan makanannya dan buat aku terpaksa membuat cacatan sendiri untuk aku berikan pada penjualnya di kantin di luar kantor. Kalo karyawan lelaki rata rata tidak ribet, dan kalo pun ada yang salah, paling mengeluh sebentar lalu tertawa setelah aku minta maaf. Jadi kalo suruh milih, aku lebih baik melayani pesanan karyawan lelaki.
“Tanya pak Iwan tuh Neng, kayanya gak keluar kantor. Kali mau pesan, nanti kamu jadi bolak balik” kata yang lain lagi.
Aku sempat ragu, tapi mengingat jarak kantinnya yang lumayan menguras tenagaku jadi buat aku bergerak juga mengetuk pintu ruangan pak Iwan. Padahal aku lihat dia cukup serius dengan pekerjaannya dari kaca besar yang tirainya terbuka menghadap ke pemandangan para staff anak buahnya.
“MASUK!!” jawaban pak Iwan dari dalam dan buat aku semakin jedak jeduk.
Masuklah aku dengan takut takut. Sampai aku bingung gimana menjeda kesibukannya, dengan diam menunggu di depan meja kerjanya.
“Eh, Neneng. Ada apa Neng?” tanyanya setelah menyadari kehadiranku.
Masih grogi dong aku, jadi meringis menatapnya.
“Maaf gak tau kalo Neneng masuk sini, bingung yam au ngomong apa?. Ayo saya tungguin sampai gak bingung lagi. Habisnya mau suruh pegangan pohon, gak ada pohon di sini, lagian nanti malah kamu nyanyi dan bukan ngomong sama saya” ledeknya sambil bersandar di kursi kerjanya.
Aku jadi tertawa dan dia cengar cengir.
“Itu pak?....”
“Itu apa?” potongnya seakan suka meledekku juga.
“Hm…mau nitip makan siang gak?. Saya mau pergi beli” jawabku dengan susah payah.
Dia lirik dulu jam tangan besar di tangannya yang….astaga…kenapa tangannya aja bagus banget untuk ukuran laki. Coklat muda gitu tapi telapak tangannya putih bersih kemerahan. Terawat sekali ya?. Apa memang dasarnya kasep jadi apa aja enak di lihat.
“Boleh deh, makan apa yang enak ya Neng?” tanyanya sambil bangkit berdiri mengeluarkan dompetnya.
“Bapak mau makan apa?, banyak kok di kantin luar kantor mah” jawabku.
“Saya tau, kan suka makan di situ juga. Cuma kadang bingung mau makan apa” jawabnya.
Aku jadi diam.
“Nasi Padang, bosen. Mending makan di kantin kantor kalo nasi Padang mah” katanya sendiri.
“Sate kambing pak, enak satenya” jedaku.
Dia tertawa.
“Nanti saya tegang, mau kamu saya seruduk?” jawabnya.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
Eh malah terbahak sendiri.
“Lupain dah Neng, percuma kamu gak ngerti” katanya lagi setelah tawanya reda.
Aku mengangguk saja.
“Hmm…yang banyak pesanan apa harus kamu beli, biar saya ikut aja dan kamu jadi gak harus antri lagi” katanya lagi.
Baik amat ya?.
“Itu pak, sate sih, sate ayam apa sate kambing, sama tongseng juga ada” jawabku.
“Ya udah sate ayam aja, tapi jangan pakai nasi ya Neng, lontong aja. Terlalu kenyang nanti saya gendut lagi” jawabnya.
Aku tertawa pelan lalu mengangguk. Gendut dari mana kalo postur tubuhnya bagus banget, tinggi dan berat badannya sepertinya pas. Tidak sterek banget, tapi tidak terlalu kurus juga.
“Nih uangnya” katanya padaku dan buat aku mendekat ke mejanya untuk menerima uang 100 ribuan yang dia berikan.
“Saya permisi dulu pak” kataku pamit.
Dan aku masih belum berani terima kasih soal sarung yang dia belikan. Waktu aku kembali dan memberikan pesanan makan siangnya, baru aku memberanikan diri.
“Makasih Neng” katanya sambil menerima bungkusan pesanannya lengkap dengan piringnya juga sendok garpu yang aku pasti berikan pada setiap orang yang makan di ruang kerja.
Aku mengangguk lalu memberikan juga kembaliannya.
“Loh kamu gak beli makan sekalian?” tanyanya.
“Saya bawa bekal pak” jawabku.
Dia diam menatapku dulu.
“Ambil deh, buat beli apa kek” katanya dan sama sekali tidak mengambil uang kembaliannya yang aku letakkan di meja kerjanya.
“Kebanyakan pak, saya ambil recehannya aja. Masa mahalan tips saya dari pada makanan bapak” tolakku.
Dia tertawa.
“Belum tadi bapak beliin sarung buat saya. Saya gak enak, nanti balas kebaikan bapak gimana?” kataku lagi.
Lagi lagi di tertawa.
“Jadi pacar saya mau gak?” tanyanya.
Jelas aku terbelalak lalu buru buru menunduk takut dia tersinggung.
“Bercanda Neng, saya udah punya pacar, jadi jangan takut saya bakalan gebetin kamu. Saya tipe setia, kecuali kamu mau jadi cabang” katanya lagi lalu tertawa lagi.
Baru aku ikutan tertawa.
“Gak ah pak, kalo ganteng punya orang, mending jelek tapi punya sendiri” jawabku lalu menutup mulutku dengan tangan.
Aku ngomong apa sih?. Malah buat pak Iwan berhenti tertawa lalu menatapku..
“Maaf pak….” desisku takut lalu menunduk lagi.
Dia tapi lalu tersenyum menatapku yang masih takut dia marah.
“Jadi perempuan memang harus begitu. Harus menghargai pasangan. Mau bagus atau jelek, kalo di sayang dan di urus dengan baik, akhirnya akan bagus juga kok. Saya kasih tau ya, laki itu akan terlihat rapi dan ganteng, tergantung perempuan yang jadi pasangannya. Kalo baik ngurusnya pasti ganteng juga akhirnya, percaya sama saya. Abang saya taukan?, pak Rafiq, sampai big Boss pak Andra, makin bersinar karena ada perempuan yang jadi istri mereka yang urus dengan baik. Saya tau, karena saya kenal baik dengan istri mereka. Yang satu kakak perempuan saya, yang satu kakak ipar saya. Jadi kalo nanti kamu gak dapat laki ganteng, urus aja yang benar, nanti juga jadi ganteng” jawabnya.
Aku mengangguk setuju. Walaupun lelaki yang dia sebutkan tadi memang dasarnya udah ganteng, terus di urus baik oleh istrinya, ya makin ganteng.
“Ya udah, sana kamu istirahat, makan juga, dan kali ini, ambil semua kembalinya. Besok besok saya kasih pecahan uang lebih kecil deh biar kamu langsung simpen aja kembaliannya. Lumayankan buat kamu beli lauk makan malam. Tapi kalo ternyata uangnya kurang bilang saya ya” perintahnya.
Aku mengangguk lalu beranjak pergi setelah mengambil juga uang kembalian darinya. Lumayan banget kalo masih 50 ribu lebih. Kan, harga satenya hanya sekitar 35 ribu deh. Senang dong aku dapat rezeki tambahan dari bos baik hati.
Tapi pak Iwan tidak selalu berada di kantor. Dalam seminggu pasti dua sampai tiga kali dia akan pergi keluar kantor. Entah meeting dengan abangnya pak Rafiq, atau pergi makan siang di luar entah dengan siapa, aku tidak berani tanya dan tidak berani cari tau juga.
Kami hanya akan bertemu di jam menjelang pulang, karena dia akan minta kopi.
“Bikinin kopi ya Neng, yang kental dan jangan manis manis banget” pintanya lewat telpon yang terhubung ke pantry.
“Baik pak” jawabku cepat.
Aku buatkan dong lalu aku antar dengan senang hati ke ruangannya. Kangen juga melihatnya di kantor kalo siang dia tidak ada di ruangannya.
“Masih manis Neng, apa karena lihatin kamu ya?” komennya setelah meminum kopi buatanku.
Aku langsung merasa wajahku memanas.
“Jiah, merah mukanya baru di godain begitu. Baperan ya kamu?” ejeknya.
Makin buat aku tidak berani mengangkat wajahku.
“Yaelah, saya becanda. Suntuk banget Neng dari proyek tuh” katanya lagi lalu menjambak rambutnya.
Aku angkat juga wajahku untuk menatapnya.
“Bapak udah makan?” tanyaku takut takut.
“Belum” jawabnya.
Aku langsung meringis.
“Males kalo terlalu sibuk dan banyak masalah di lapangan” jawabnya.
“Mau makan mie instans atau kue gak?. Ada cemilan kue sus hari ini” kataku kasihan juga kalo dia belum makan.
Memang ada stok mie instan untuk karyawan yang lembur sih, gak apa kali ya, kalo pak Iwan mau. Kan dia bos.
“Gak repotin kamu?, kalo saya mau mie instan?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Boleh deh Neng, dua ya, laper banget saya” pintanya.
Aku mengangguk.
“Tapi gak ada telurnya cuma mie” jelasku.
“Gak apa, itu aja. Pakai saos kalo ada, yang banyak” katanya lagi.
Aku mengangguk lagi.
“Astaga…saya banyak maunya ya?” keluhnya kemudian.
Aku hanya tersenyum menatapnya.
“Saya permisi dulu pak, buatin dulu” pamitnya.
“Okey, makasih ya Neng” jawabnya sebelum aku beranjak menuju pantry lagi.
“Buat siapa Neng masak mie sore sore?” tegur teh Nia.
“Pak Iwan, gak apakan ya teh?” tanyaku memastikan padahal sudah aku buatkan.
Teh Nia bagusnya mengangguk.
“Gak apa kalo buat pak Iwan, kan supervisor. Kalo yang lain jangan ya. Nanti di tegur orang HRD. Kan jatah mie intans buat yang lembur, makanya di kunci lemari pantry untuk simpan mie. Soalnya udah ada cemilan buat sore buat karyawan staff mah” jawab teh Nia.
Aku mengangguk. Bagus teh Nia tidak banyak komentar lagi selain membereskan piring piring bekas cemilan yang sudah habis di makan karyawan staff. Jadi aku merasa lega saat mengantarkan mie intans permintaan pak Iwan.
“Mau di taru mana pak?” tanyaku menjeda pekerjaannya.
“Meja dekat sofa aja Neng, takut kena kertas kerja saya” jawabnya.
Aku menurut menaruhnya di meja yang memang ada di ruangannya lengkap dengan sofa panjang. Suka ada tamu sih, jadi ada sofa. Dan aku ambilkan juga air putih di luar ruangannya takut dia butuh minum dan aku tidak perlu bolak balik.
Ternyata sudah beranjak dari kursi kerjanya menuju meja di mana mie instans pesanannya aku taruh.
“Minumnya pak” kataku setelah dia duduk di sofa.
Dia tersenyum menerima gelas itu dariku.
“Lama lama kaya saya suamiku kamu ya, di urusin makan begini. Iya gak sih?” komennya.
Astaga… kenapa gak ngerti sih?, kalo hatiku jadi makin jedak jeduk mendengar dia bicara begitu. Padahal dengan aku berada di ruangannya saja, hatiku sudah disko dari tadi. Pak Iwan….jangan bikin aku sakit jantung apa!!.