Part 10. Tempat Baru

1461 Kata
Shaba menghela nafas lelah. Ia baru saja selesai meeting bersama dengan tim pengacara yang berjumlah 8 orang. Mereka bersiap untuk segera menghadapi penyidik dari kepolisian. Juga tim dari K*K. Ia sudah mendengar berita bahwa mereka, yang membantu melancarkan pelepasan lahan yang akan segera dia bangun sudah tertangkap, dan kini sudah berstatus sebagai tersangka. Itu bukan kabar bagus untuknya. Akan sulit bagi Shaba untuk bisa melepaskan diri dari kasus tersebut apabila mereka menemukan bukti nyata keterlibatannya. Ia mendesah, tatapan matanya menyapu beberapa pigura diatas meja kerja. Ada wajah tersenyum dirinya, dan Alin ketika mereka menikah 30 tahun lalu. Kemudian ada wajah cantik ketiga putri yang sangat dia cintai. Kelopak matanya mengerjap, kemudian beralih pada laci dibawah meja samping kanan. Tangannya perlahan bergerak membuka laci tersebut. Sorot mata tuannya menangkap buku diari usang milik mantan wanita yang pernah dia nikahi dengan terpaksa. Bergerak mengambilnya, kemudian membuka lembar-lembar yang menampilkan tulisan tangan wanita itu. Shameeta Yusuf bukan wanita bodoh, namun demi sang anak ternyata dia sanggup bertindak sebodoh itu. Mengorbankan kehidupannya sendiri, dan memilih hidup susah hanya demi seorang bayi. Ia mendengus, tak pernah menyangka wanita seperti itu bisa menjadi pembantu rumah tangga, bahkan pemulung. Sungguh tak masuk akal. Wanita yang sejak lahir hidup bergelimang harta, tanpa pernah sedikitpun kekurangan bisa menjadi seorang pembantu. Apa dia harus mengatakan luar biasa ? Benaknya bertanya di mana wanita itu sekarang ? Shaba menunduk, mulai membaca tulisan tangan rapi seorang Shameeta Yusuf. *** Kartini baru saja tiba di depan rumah kecil yang bahkan terlihat sangat tidak terawat karena sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya. Tangannya menggandeng tangan kecil sang putra yang berumur 6 tahun. Ia menoleh, melihat sang putra yang masih fokus memperhatikan rumah kecil di hadapannya. “ Itu tempat apa Bu ?” tangannya yang bebas menunjuk rumah dihadapannya. Kepala kecil itu menoleh, lalu mendongak menatap sang Ibu. Shameeta yang sudah merubah namanya menjadi Kartini itu tersenyum lembut. Ia tahu putranya sedang kebingungan. Sejak keluar dari tempat yang sudah menampung mereka sebelumnya, anak itu terlihat takjup. Sepanjang perjalanan, mulut kecilnya menanyakan banyak hal yang baru pertama kali ia temui. “ Itu rumah kita mulai sekarang sayang.” Kartini berlutut, menyamakan tingginya dengan sang putra. “ Mulai sekarang kita tinggal di sini.” Janu menatap bingung sang Ibu. “ Dimana yang lainnya Bu ? apa muat tempat itu untuk tinggal kita semua ?” Kartini tersenyum. Dalam hati ia menangis. Ia tahu maksud sang putra menanyakan hal itu. Putranya memang menyayangi semua orang di tempat lama mereka. “ Kita hanya akan tinggal berdua di sini.” Kening sang anak terlipat. Mata itu mengerjap berkali-kali. Ia tampak begitu kebingungan. “ Bibi-bibi yang lain masih tinggal di tempat lama kita.” Lanjut Kartini menjelaskan kebingungan Janu. “ Mereka tidak suka tinggal bersama kita lagi ya Bu ? Apa Janu nakal ?” Kartini langsung menggeleng. Matanya langsung memanas. Tak lama, bulir-bulir bening meleleh. Ia menarik pelan tubuh kecil Jani, mendekapnya erat. “ Sejak kapan anak Ibu ini nakal hmm ??” Kartini mengusap air matanya sebelum merenggangkan pelukan. Ia menatap sang putra penuh kasih sayang. Tangannya perlahan mengusap pipi sang anak. “ Anak Ibu selalu jadi anak paling manis di dunia ini.” Senyum Janu mengembang, lalu memeluk sang Ibu. “ Janu sayang Ibu.” Air mata Kartini kembali menetes tanpa diminta. Ia mengusapnya sementara sebelah tangannya mengusap punggung kecil Janu. Buah hatinya, kesayangannya, cahaya dalam hidupnya. “ Ayo kita masuk.” Kartini beranjak, mengusap lulutnya yang kotor oleh debu, lalu kembali menggandeng tangan sang putra. Mereka berjalan mendekati rumah yang akan mereka tempati mulai saat itu. Rumah milik salah satu kenalan yang begitu baik menyerahkan kunci rumah yang sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun kepada dirinya. Sampai di depan pintu, ia segera mengambil kunci didalam tas, lalu memasukkannya ke dalam lubang kunci. Ia mendesah lega begitu pintu terbuka. Bau apek segera menusuk penciumannya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kotor, penuh debu. Ia segera mengambil satu kursi, membersihkannya kemudian membawanya keluar. Mendudukkan Janu di kursi itu, dan memintanya menunggu di luar, sementara ia membersihkan bagian dalam rumah. Janu, anak kecil itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Matanya takjub melihat banyak pepohonan, dan bentuk-bentuk bangunan yang ibunya katakan sebagai rumah. Hanya ukurannya lebih besar, dan terlihat lebih bagus. Di tempat lamanya, tidak ada bangunan-bangunan seperti itu. Dia hanya bisa melihat tembok di sekelilingnya. *** Kartini menghela nafas panjang setelah selesai membersihkan rumah yang tak seberapa besar itu. Menyingkirkan barang-barang yang sudah tidak layak pakai. Ia bersyukur masih menemukan tempat tidur dari kayu, meskipun tidak ada busanya. Ia sudah terbiasa tidur di lantai, jadi tidak masalah. Kartini mengambil beberapa selimut dari tas besar yang ia bawa, melipat kemudian menumpuknya untuk bisa dipakai tidur sang anak. Dia tidak tega jika Janu harus tidur tanpa alas. Keluar rumah, ia mendapati Janu yang sedang berlarian mengejar kupu-kupu di depan rumah mereka. Ia mengunci pintu lalu mendekati sang anak. “ Ayo kita cari makan dulu.” Janu langsung menoleh, dan tersenyum lebar. Dia memang sudah merasa lapar. Kepalanya mengangguk. Tangan kecilnya meraih telapak tangan sang ibu. Mereka berjalan keluar pekarangan, mencari warung makan untuk mengisi perut. Lagi-lagi anak berusia enam tahun itu terlihat takjub kala sang ibu membawanya masuk ke dalam sebuah warung makan. Ia bisa melihat banyak makanan yang berjajar. Tidak sama dengan yang di temuinya selama ini di tempat lama. “ Ayo kita duduk … “ ajak Kartini setelah memesan dua mangkuk soto, dan dua gelas es teh. Janu mengikuti sang ibu. Matanya menjelalah sejauh yang ia bisa. Kartini tahu putranya memiliki banyak pertanyaan di kepala kecilnya. Apa yang dia lihat hari ini pasti cukup membuatnya bingung. Ia mendesah, mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi plastik. Janu mengikutinya, duduk di sebelahnya. Mata Janu tak henti menatap semua hidangan yang ada di atas meja. Ia ingin mencoba semuanya. Bolehkah ? ia menoleh kearah sang Ibu. Ibunya tersenyum. “ Janu mau yang mana ?” tanya Kartini. Janu menunjuk sate telur puyuh. Ia ingin mencobanya. Sepertinya enak, batin Janu. Kartini mengangguk. “ Sebentar, kita tunggu dulu sotonya.” Janu mengangguk patuh. Meskipun tangannya sudah gatal ingin segera mengambil makanan yang ia incar, namun ia menahannya. Tidak lama pesanan mereka datang. Kartini membantu anaknya meracik soto dengan menambah kecap, dan sedikit perasan air jeruk. Wajah berbinar Janu membuat hati Kartini berdenyut nyeri. Putranya harus melalui hidup seberat ini bahkan sejak masih dalam kandungannya. Seharusnya, diusianya sekarang Janu sudah sekolah, tapi apa daya … keadaan mereka tidak memungkinkan untuk bisa membawa Janu ke sekolah. Tapi ia berjanji dalam hati akan menyekolahkan sang putra setinggi mungkin agar kelak bisa merubah hidupnya menjadi lebih baik. Cukup dia yang merasakan hidup sengsara. Mereka menikmati makan siang mereka dengan lahap. Janu terlihat begitu senang bisa menikmati makanan yang jarang bisa dia santap sebelumnya. “ Ibu … boleh Janu ambil itu lagi ?” Janu menunjuk ke arah sate ayam. Dia sudah menghabiskan satu tusuk sate telur puyuh, dan satu tusuk sate ayam sebelumnya. Kartini tersenyum lalu mengangguk. Matanya sudah terasa panas. Ia menarik nafas dalam berulang kali untuk mengembalikan gejolak emosinya. Janu dengan cepat meraih satu tusuk sate ayam, kemudian menyantapnya dengan lahap. Dalam perjalanan kembali ke rumah, kartini menyempatkan membeli beberapa kebutuhan. Bahan makanan, juga perlengkapan mandi. Dia tidak bisa terus-terusan makan di warung. Dia harus menghemat uang yang tidak seberapa mengisi dompetnya. Dia juga harus secepatnya mendapatkan pekerjaan untuk menyambung hidup mereka. Dia benar-benar bersyukur diperbolehkan menempati rumah itu. Meskipun tidak bisa dibilang bagus, paling tidak dia, dan Janu memiliki tempat untuk tidur. Tidak kepanasan, serta kehujanan. Di dalam rumah itu juga masih ada perkakas yang bisa ia pakai. Alat-alat masak meskipun harus ia bersihkan dengan menggosok sekuat tenaga, masih bisa ia pakai. Ia hanya perlu mencari kayu bakar untuk memasak. *** Selang dua hari setelah menempati rumah mereka, Kartini akhirnya mendapat perkerjaan di sebuah rumah besar tak jauh dari tempat tinggal mereka. Meskipun hanya menjadi pembantu di rumah itu, namun ia tetap bersyukur. Dia memang tidak bisa berharap mendapat pekerjaan yang lebih bagus, mengingat ia tidak memiliki ijasah. Semua dokumen pribadi kecuali surat nikah, masih tertinggal di rumah orang tuanya. Paling tidak, dengan menjadi pembantu ia bisa menyambung hidup. Juga bisa segera mencarikan sekolah untuk anaknya. “ Ibu harus pergi bekerja. Janu di rumah sendiri tidak apa-apa ?” Pamit Kartini pada Janu yang sedang menikmati singkong rebus sebagai sarapannya pagi itu. Mata kecil itu mengerjap menatap sang ibu yang terlihat sudah rapi. “ Janu tidak boleh ikut ?” tanyanya dengan wajah memelas yang membuat Kartini tidak tega. Ia mendesah. “ Ya sudah … cepat selesaikan sarapannya kalau Janu mau ikut Ibu. Tapi nanti di sana Janu tidak boleh nakal.” Pesannya pada sang anak yang langsung mengangguk. Janu dengan cepat menyelesaikan kunyahannya lalu meneguk air putih. Kartini akan meminta sang majikan agar mengijinkannya membawa Janu saat bekerja. Dia juga merasa tidak tenang jika harus meninggalkan sang anak di rumah sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN