“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Bu Andara pelan sambil melihat wajah Tasya yang kosong. Tasya hanya menggeleng ragu. Dia tak mau berpikir apapun lagi setelah dirinya baru keluar dari ruang BK. Dua jam dia dicecar wejangan yang diberikan oleh guru BK. Tak hanya pada Tasya, tapi pada papa Tasya yang datang memenuhi panggilan sekolah.
Berbagai macam teori tentang kenakalan remaja, bullying, peran orang tua, dan lain sebagainya, dituangkan guru BK ke kepala Tasya dan papanya selama 2 jam itu. Tak hanya Tasya dan papanya saja, melainkan orang tua Yuan, Dewi, Ulfa, dan tentu saja Bianca. Tasya tak mendengarkan kata-kata guru BK. Dia malah asyik menatap wajah papanya. Dia sangat rindu pada orang tua tunggalnya itu. Hampir 2 tahun setelah perceraian, dia sangat jarang bertemu papanya.
“Orang tuamu sudah menandatangani ini,” ujar Bu Andara sambil menyodorkan sebuah kertas bermaterai.
Tasya membaca uraian kalimat panjang dan membosankan itu dengan malas. Isinya adalah perjanjian antara si papa dengan sekolahnya. Papanya sudah menyerahkan nasib Tasya pada sekolah. Papanya juga berjanji untuk tidak ikut campur dalam upaya sekolah menjaga prestasi Tasya. Artinya Tasya harus patuh dengan segala peraturan termasuk pada perintah guru. Gadis dingin itu hanya bisa membisu.
“Jadi kamu sudah mengerti kan?” tegas Bu Andara.
“Maksudnya apa ya, Bu?” tanya Tasya bingung.
“Jadi, mulai sekarang kamu tidak bisa menolak suruhan saya untuk memberi tutor pada teman-temanmu,” ujar Bu Andara yang membuat Tasya cemberut.
“Saya tidak bisa, Bu.” Jawaban Tasya terdengar kecut.
“Natasya, kenapa sih kamu tidak mau berbagi ilmu dengan teman-teman. Ilmu dan kepandaian hanya seperti pohon yang tak berbuah. Dia rindang tapi tak menghasilkan buah. Kamu tidak akan bertahan selamanya di dunia ini hanya dengan kepandaianmu,” ujar Bu Andara. Tasya menunduk berat.
“Nak, Ibu tahu dan paham dengan kondisimu. Ibu tahu kamu tak suka teman-temanmu. Tapi, cobalah untuk percaya dengan mereka. Ibu yakin, pasti ada 1 atau 2 anak yang tulus padamu. Kamu juga sudah tahu kan kalau ada club penggemarmu, Natalicious?!” tanya Bu Andara yang membuat Tasya tersudut. Kali ini dia menyerah. Dia tak bisa lepas karena sang papa sudah tak peduli dengannya dan memilih menyerahkan nasibnya pada sekolah.
“Bukan kepintaran saja modalmu di dunia ini, Nak. Tapi kamu butuh teman,” ujar Bu Andara lagi yang membuat Tasya tak bisa menolak lagi.
---
“Jadi kita mulai belajar nanti sepulang sekolah?” seru Dinna sembari memburu wajah malas Tasya.
“Yap!” ujar Tasya pendek sambil duduk di pinggiran taman sekolah.
“Yes! Aku bakalan kasih tahu anak-anak supaya kumpul di kelasmu nanti. Kita banyak tugas yang susah, Natasya. Cuma kamu yang dapat nilai 100 di ulangan kimia kemarin. Nanti kita bahas itu ya?” tanya Dinna antusias yang dibalas anggukan dingin Tasya. Dinna beranjak pergi dengan wajah bahagia. Tasya meneguk minuman rasa jeruk yang dibelinya dari kantin. Dia heran melihat Dinna yang begitu bahagia saat tahu dirinya mau menjadi tutor klub penggemarnya itu.
Ternyata di sekolah ini, masih ada yang suka padanya. Tak semua anak munafik di sini. Buktinya, masih ada Dinna dan 3 orang kawannya yang selalu mendukung Tasya. Bahkan, mereka membuat klub belajar dengan namanya. Belum lagi Risan, teman sekelasnya yang ternyata menyukainya itu. Tapi,Tasya malah mempermalukannya di depan banyak anak. Sejenak Tasya merenung, banyak hal yang tak disadarinya selama menjadi apatis. Apalagi kini dia punya Arga yang selalu memperhatikannya walau mereka terpisah jarak. Tasya menghela napasnya panjang sampai ada suara yang memecah ketenangannya.
“Enak ya jadi kamu? Dibelain sama geng Dewi, dipilih jadi tutor belajar, dan apalagi ya? Oh iya, menyanyi di balai kota di HUT Kota Bandung minggu depan,” ujar suara itu yang ternyata milik Bianca. Wajah cantiknya yang terkesan judes itu terkesan menekan Tasya. Tasya kembali memajang wajah dinginnya.
“Iri ya? Gak mampu kan kamu?” tanya Tasya judes. Bia memalingkan wajahnya.
“Memang Tuhan gak adil ya sama aku. Setelah di-skors 3 minggu karena jatuhin kamu di outbound, aku kehilangan Egi. Aku dibenci anak satu sekolah karena kamu. Dan sekarang aku kena teguran lagi, gak boleh ikut ujian kenaikan kelas dan harus ikut ujian susulan.”
“Kamu curhat ya? Gak usah nyalahin Tuhan. Kamu aja yang ngrusak tatanan. Karma itu ada kan?” tanya Tasya judes.
“Kalau saja aku gak ingat lagi dihukum, aku pengen banget rusak wajahmu, Tasya!” ujar Bia emosi.
“Rusak saja sini! Kamu sudah melakukannya sejak menusukku dari belakang kan,” ujar Tasya tak mau kalah. Bia kehilangan kata-kata. Tasya bukanlah saingan sepadan baginya. Prestasi Tasya jauh di atasnya. Bianca hanya menang wajah hangat dan sikap bersahabatnya. Tapi kini semua itu hilang karena Egi tak lagi mau menemuinya.
---
“Putih putih melati. Mekar di taman sari. Semerbak wangi penjuru bumi. Seri seri melati. Bersemi anggun asri. Kucipta dalam gubahan hati. Tajuk bak permata. Siratan bintang kejora. ‘Kan kupersembahkan. Bagimu pahlawan bangsa. Putiknya pesona. Rama-rama ‘neka warna. ‘Kan kupersembahkan. Bagi pandu Indonesia.”
Suara Tasya terdengar merdu dan sejuk di telinga klub belajar yang baru dipimpinnya itu. Setelah memberi kisi-kisi dan contoh soal pada Natalicious itu, Tasya memilih untuk berlatih menyanyi untuk mewakili sekolahnya minggu depan. Seperti kata Bia, Tasya memang akan menyanyi di balai kota dalam rangka HUT Kota Bandung. Dia akan menyanyi membawa nama harum sekolahnya.
“Nih Nat, minum dulu,” ujar Tisa sambil menyodorinya air mineral. Tasya mendongak dan melepas headset yang menempel di telinganya. Tasya menerima air itu dengan wajah biasa. Lalu dia ingat pesan Arga untuk tersenyum. Akhirnya Tasya hanya memberi senyum kaku.
“Wah, kamu senyum sama aku ya, Nata?” tanya Tisa seolah baru mendapat hadiah. Tisa lalu kembali ke meja dan tersenyum bahagia sambil memamerkan pada teman-temannya tentang senyuman Tasya.
Tasya hanya bisa melongo melihat adegan itu. Dia tak menyangka senyumannya saja sudah membuat orang lain bahagia. Sekali lagi dia heran. Jadi selama ini dia menakutkan ya? Sampai ada orang yang suka jika melihatnya tersenyum. Pantas saja jika Egi berpaling pada yang lain. Ah, Egi lagi, batin Tasya mulai kesal mengingat nama itu.
“Aku seneng banget bisa selangkah lebih dekat sama kamu, Natasya,” kata Dinna mengiringi langkah Tasya menuju gerbang sekolah. Pukul 5 sore mereka sepakat untuk mengakhiri belajar kelompok itu.
“Kok bisa?” tanya Tasya kaku dan mendapati Dinna melongok layar ponselnya yang berhias foto Arga. Diam-diam Tasya mengambil foto Arga dari i********: untuk dijadikan wallpaper.
“Aku gak suka ada orang lihat hp-ku,” ujar Tasya judes. Dinna menyusut jaraknya.
“Maaf deh, Tasya. Aku cuma terlalu senang saja dekat sama kamu, kayak mimpi tahu gak sih hari ini. Aku udah lama banget pengen belajar bareng sama kamu,” ujar Dinna senang.
“Kamu kok suka sih berteman sama anak aneh macam Tisa dan Ulia? Masak cuma kusenyumin aja mereka kegirangan gak jelas. Weird!” olok Tasya sinis.
“Wajar Natasya. Kamu itu ibarat artis buat mereka, buatku juga sih. Gak ada yang mau temenan sama kutu buku, culun, kuper, model kami. Eh kamu, anak populer, anak terpandai di kelas paralel yang jadi idola kami, tiba-tiba jadi satu klub. Itu kan jackpot banget!” ujar Dinna antusias. Tasya hanya mesem. Dia mulai sadar dan nyaman kalau Dinna memang tulus dengannya. Baru kali ini kehadirannya menjadi anugerah terindah bagi orang lain.
“Ngomong-ngomong yang di foto itu kan Pak Danton ganteng yang di perkemahan kan, Natasya?” tanya usil Dinna.
“Sok tahu. Udah ah, aku pulang dulu ya. Dadah!” ujar Tasya pelan sambil meninggalkan Dinna yang masih tertegun.
“Natasya memang selalu keren...” seloroh gadis berambut sebahu itu sambil menatap punggung Natasya yang makin menjauh.
---
“Natasya, kok kamu gak pulang-pulang?” tanya suara bapak-bapak yang membuat pandangan Tasya terhenyak.
“Papa, kok udah pulang?” tanya bali Tasya dengan lirih.
“Papa mau makan malam denganmu, Nak.” Perkataan si papa membuat hati Tasya berdebar. Ada apa tiba-tiba si papa mengajaknya makan berdua? Dalam rangka mengenalkan mama baru kah? Atau dalam rangka sidang keduanya? Tasya membuyarkan lamunannya dan memilih untuk segera ganti baju lalu mandi.
“Makanlah, Tasya. Papa tidak tahu kamu suka atau tidak. Nasi goreng ini papa belikan di dekat stasiun. Kamu sangat suka waktu kecil,” ujar Papanya sambil memberikan piring nasi goreng telur yang memang menjadi kesukaan Tasya.
“Makasi Pa,” ujar Tasya pendek sambil menunduk. Dia masih kaku di hadapan papanya.
“Papa gak mau marahi Tasya saja?” tanya Natasya dengan suara bergetar.
“Untuk apa memarahimu, Nak? Harusnya kamu yang memarahi dan membenci Papa. Semua yang kamu lakukan di sekolah itu adalah akibat orang tuamu ini. Seharusnya Papa bersyukur punya anak sepertimu. Kamu masih pandai belajar, pemegang ranking paralel selama 2 tahun berturut-turut, apalagi kamu pernah diundang ke istana negara untuk menyanyi di depan presiden. Rasanya kamu terlalu baik untuk anak korban perceraian.”
“Anak sekecil kamu bertahan di tengah konflik orang tua bodoh macam Papa dan Mama. Papa kira cuma Papa yang terluka karena mamamu, padahal kamulah yang paling menderita. Seharusnya Papa menjaga dan menyayangimu. Bukannya malah sibuk bekerja,” urai Papa Tasya sambil menahan tangis. Lain halnya dengan Tasya yang sudah lumpuh oleh air mata. Air matanya berderai deras.
Wajah cantiknya hanya tertangkup di depan piring nasi goreng yang masih mengepul panas. Sesekali pundaknya bergoncang pelan. Dia menangis karena lukanya. Karena papanya membuka lukanya. Permintaan maaf dari si papa justru membuatnya bersedih tak terkira. Tanpa disadarinya, si papa mendekatinya dan memeluk Tasya erat, erat sekali.
“Maafkan Papa ya, Nak. Mulai sekarang kita perbaiki semuanya. Jadilah anak yang ceria seperti dulu. Bagilah bebanmu dengan Papa. Papa janji akan jadi ayah yang baik untuk menebus semua dosa Papa,” ujar si Papa lembut di pundak anaknya yang masih menangis.
“Maafkan Tasya juga ya, Pa,” ujar Tasya parau. Keduanya sepakat untuk menghapus air mata dan luka yang menganga. Tak lama kemudian, mereka berusaha menjejalkan nasi itu untuk mengisi perut masing-masing. Berharap luka menganga selama 2 tahun itu sedikit tertutup. Entah mimpi apa bagi Tasya ketika si papa selangkah lebih dekat dengannya.
***