“Katakan saja langsung. Aku tak bisa lama-lama,” ujar Egi dingin pada gadis di depannya yang bernama Bia. Bia datang di senin sore dengan mobil yang disetiri sopir pribadinya. Bia memaksa Egi untuk bertemu. Bahkan, Bia rela mendatangi Egi ke depan batalyon karena lelaki itu sempat menolak.
“Kamu sakit, Kak?” tanya Bia pelan. Dia ingin sekali menyentuh dahi lelaki yang dicintainya itu.
“Udahlah. Ada perlu apa kamu memaksaku bertemu?” tolak Egi sambil menolak tangan halus Bia.
“Aku cuma mau bicara sebentar kok. Oh iya, aku juga bawakan kue kacang coklat kesukaan, Kakak. Nanti bagi sama temen-temen ya?” ujar Bia sambil menyerahkan sebuah tas kertas yang diterima Egi dengan dingin.
“Aku tahu Kak Egi masih marah sama aku gara-gara Tasya. Kedatanganku ke sini karena aku ingin meminta maaf pada Kak Egi. Aku gak seburuk yang dikira Kakak kok. Aku melakukan itu demi pengakuan Kak Egi. Kira-kira mana yang akan dipilih Kakak kalau kami jatuh bersama,” ujar Bia pelan. Egi menatapnya lurus dan tajam.
“Bia, kenapa kamu kekanakan sekali? Kenapa kamu gak memikirkan keselamatan dirimu sendiri? Keselamatan Tasya? Kalau kalian kenapa-napa gimana? Tanggung jawab apa yang bakal aku ambil nanti kalau orang tuamu tahu kamu jatuh demi aku! Apa Bia?”
“Aku udah tekankan berulangkali sama kamu, aku memilihmu dan ingin meneruskan hubungan kita. Tapi, apa tanggapanmu? Kamu tetap saja beranggapan kalau aku masih mencintai Tasya. Bahkan, kamu sempat meminta putus padaku. Kamu gak pernah percaya sama aku, Bia!” cerocos Egi keras.
“Aku emang salah, Kak. Aku yang bodoh. Aku yang gak pernah percaya sama kamu. Makanya sekarang aku mau minta maaf atas semua salahku. Aku udah dihukum Kak. Skors 3 minggu, dijauhin anak-anak, di-bully, dan dijadikan pusat kebencian satu sekolah. Apa itu kurang cukup? Aku kesepian, Kak!” ujar Bia tak kalah keras. Air mata sudah membanjiri mata indahnya.
“Itu salahmu sendiri. Lalu kenapa kamu mencariku?” tanya Egi dingin.
“Kamu masih pacarku kan, Kak?” tegas Bia. Egi membuang tatapannya.
“Aku gak tahu apa definisi hubungan ini, Bia.” Jawaban Egi membuat Bia terhenyak. Tampaknya Egi benar-benar membencinya.
“Kamu mutusin aku, Kak? Kamu gak mau kembali lagi ke aku?” tegas Bia kosong. Egi diam.
“Jadi, benar ya kata orang. Hubungan yang dibangun dari sebuah kecurangan itu tak bertahan lama. Aku kecewa sama kamu, Kak.” Kata Bia sambil berlari masuk ke mobilnya. Lalu pergi meninggalkan Egi yang tertegun. Rasa di hatinya tak mampu menahan langkah pergi Bia. Dia tak tahu sedang ada di mana hatinya sekarang.
---
“Malam, Dek. Lagi apa?” tanya sebuah suara di telepon yang tertempel di telinga Natasya. Tangannya yang sibuk menata buku untuk pelajaran besok terhenti. Suara Arga yang merdu membuatnya tak mampu berkonsentrasi. Dia merindukan suara itu karena Arga tak menelepon sejak malam minggu perpisahan mereka.
“Akhirnya nelepon juga. Nih lagi beberes buku,” jawab Tasya pendek. Arga tersenyum renyah.
“Maaf ya kalau aku terlalu sibuk untuk meneleponmu. Yang penting kan SMS, WA, dan BBMku sampai, kan?” tanya Arga perhatian.
“Iya, sampai kok.”
“Trus hari ini sibuk apa aja?”
“Gak ada, sekolah aja. Pelajarannya padet hari ini, Kak. Besok juga banyak ulangan setelah jam olahraga. Ada kimia, bahasa Indonesia, dan kesenian.”
“Wow, kamu ekstra belajar dong malam ini. Perlu Kakak temenin gak?”
“Gak usah Kak. Aku mau langsung tidur. Aku udah belajar dari kemarin-kemarin. Jadi besok pagi tinggal ngulang saja.”
Jawaban Tasya membuat Arga terhenyak. Kekasih mungilnya itu memang beda dari perempuan-perempuan yang pernah dikenalnya. Pelajaran rumit dan susah seperti itu hanya seperti mainan bagi otak cerdas Tasya. Arga memang baru kali ini berkenalan dengan anak SMA yang dunianya jauh berbeda dengannya.
“Hari ini Kakak habis hukum seseorang, Dek.” Arga mulai bercerita pada Tasya. Sifat Tasya yang pendiam membuatnya leluasa untuk bercerita.
“Siapa tuh, Kak? Anak buah yang nakal ya?” tanya Tasya polos.
“Hehe, tebak siapa? Egi! Dia itu terlambat datang sampai gak ikut apel pagi. Aku kena teguran danyon gara-gara dia. Ya udah aku hukum aja push-up 70 kali dan keliling lapangan 20 kali,” ujar Arga antusias.
“Salah sendiri dia temuin aku duluan,” ujar Tasya datar yang membuat Arga menahan geli. Namun, Arga meralat ekspresinya ketika menimbang lagi omongan Tasya barusan. Egi menemui Tasya pagi ini.
“Oh, memang minta dihajar dia! Beraninya dia terlambat gara-gara temui pacarku.” Kata-kata yang Arga berapi-api yang ditanggap biasa oleh Tasya.
“Pacarku?” tanya Tasya lirih.
“Loh, benar kan? Kamu kan pacarku. Kita bukan temen kan? Jangan bilang kalau aku ini cuma Om tentara yang kamu kenal saja,” tegas Arga. Tasya menghela napas beratnya.
“Kalau pacaran kapan Kak Arga nembak aku?”
“Lho, emangnya kamu ingin seperti itu. Bukannya kamu beda sama anak 17 tahun lainnya? Yang penting kan kita udah saling ngerti perasaan satu sama lain. Kan kamu sendiri yang bilang.”
“Iya. Emang Kak Arga gak peka.” Kata Tasya judes.
“Lho, kok ngambek ke Kakak? Kamu sendiri yang bilang pas di mall waktu itu,” kata Arga tak mau kalah. Keduanya terlibat perdebatan sama yang belum usai kemarin.
“Tapi, aku cuma anak 17 tahun biasa juga. Pikiranku normal kayak anak lain, Kak? Kupikir kita butuh kesepakatan, kapan mulai pacaran. Kapan tanggal jadian kita? Dan lain sebagainya.” ujar Tasya polos.
“Jadi dulu kamu sama Egi juga gitu?” tanya Arga yang membuat Tasya bingung. Pikiran gadis cantik itu kembali terputar ke kenangannya. Iya juga sih, dulu Egi menyatakan perasaannya lewat sebuah pernyataan yang romantis.
“Ya udahlah. Gak guna bahas ini sama Kak Arga. Aku tidur dulu ya, Kak. Aku capek. Besok mau ulangan!” pamit Natasya cuek. Di seberang telepon, Arga menahan tawa gemasnya. Oh, rupanya itu yang diminta Tasya. Baguslah kalau dia mulai mengungkapkan perasaannya, batin Arga.
“Ya udah. Maaf ya, Kakak terlalu tua untuk anak SMA. Maaf ya sudah membuatmu kesal. Selamat tidur Putri Salju, nice dream and miss you,” ujar Arga manis. Tasya sempat mesem senang.
“Iya, gak apa-apa. Kakak juga,” ujarnya berusaha biasa. Telepon ditutup. Tasya membanting tubuhnya di antara boneka-boneka beruangnya. Entah apa yang dipikirkannya tatkala senyum itu tiba-tiba terlukis dari bibir mungilnya.
***