Siang ini mungkin menjadi pagi yang cerah untuknya. Bel sekolah yang selalu dibenci Tasya, menjadi sesuatu yang dinantinya siang ini. Dia sangat senang karena bel nyaring itu berbunyi. Karena apalagi kalau bukan karena pertemuannya dengan Arga. Kabarnya Arga akan menjemputnya selepas sekolah dan mengajaknya jalan-jalan. Arga sedang mengambil cuti tahunannya untuk sekedar bertemu dengan gadis 17 tahun yang mulai berubah itu. Kebetulan Tasya tidak pernah jalan-jalan semenjak dia tak memiliki teman.
“Ssstt ada si Tasya,” bisik seorang siswi perempuan sambil menatap ke arah Tasya yang berjalan pelan menyusuri lorong sekolahnya.
Tasya sudah tahu kalau dia menjadi topik utama seluruh sekolah. Apalagi kalau bukan karena di-skornya Bia dari sekolah selama 3 minggu. Bianca terbukti sengaja mencelakakan Tasya ketika kegiatan outbond. Belum lagi beredarnya sebuah poster di mading sekolah yang berisi foto-foto Tasya berpacaran dengan Egi sejak Tasya SMP. Hingga bukti percakapan bahwa Bia merebut Egi dari Tasya. Bianca tak sanggup menerima kenyataan kalau dia menjadi pusat kebencian anak-anak. Keadaan telah berbalik dari sebelumnya.
Awalnya Natasya tidak tahu siapa yang menyebarkan mading itu. Namun, akhirnya dia menyadari kalau Dinna yang melakukan itu semua. Dinna merasa bahwa Tasya diperlakukan tidak adil selama ini. Dinna mencari tahu kesana kemari dan berhasil mendapatkan semua foto Tasya dan Egi. Dinna tahu bahwa Tasya tak sejahat dan sekejam itu. Dia juga tak suka melihat idolanya diperlakukan tak adil oleh temannya sendiri.
“Halo!” sapa Arga ceria sambil menyapa Tasya yang masih berwajah dingin. Arga membisiki Tasya.
“Ekspresimu kayak mau kuculik saja,” candanya. Tasya tersenyum samar. Dia masih belum terbiasa mengurai keceriaan. Tasya akhirnya masuk ke dalam mobil Arga. Dia mulai berceloteh tentang kegiatannya hari ini. Tasya juga menyalakan musik yang berisi lagu kesukaannya.
“Sejak kapan kamu suka ‘Mars TNI’?” tanya Arga aneh. Dia kebingungan sendiri melihat Tasya begitu menikmatinya.
“Sejak malam aku tidur di mobil Kak Arga,” jawab Tasya pendek tanpa ekspresi. Arga mesem geli.
“Kenapa suka, kan itu bukan seleranya remaja,” ujar Arga sambil menyetir.
“Aku suka semua jenis musik kok!” ujar Tasya galak. Arga terbahak, baginya Tasya itu sangat lucu dan menghiburnya.
“Tunggu, aku harus terima telepon ini, Kak,” ujar Tasya dingin. Arga meliriknya. Konsentrasinya terpecah melihat wajah serius Tasya.
“Mau apa?” tanya Tasya galak.
“Udah kubilang kan, jangan ganggu aku lagi. Urus saja Bia sendiri. Temukan dia sendiri, jangan libatkan aku lagi,” ujar Tasya ketus. Rupanya itu telepon dari Egi.
“Dan lagi, aku juga udah gak berharap lagi sama Kak Egi. Jadi gak usah kepedean. Selamat tinggal selamanya!” ujar Tasya sambil mematikan ponselnya. Dia mengeluarkan kartu seluler ponselnya dan mematahkan kartu itu. Arga hanya melongo menatap Tasya.
“Kok dirusak kartunya, kan nomorku juga hilang,” ujar Arga terbata. Tasya sadar dan meliriknya.
“Aku udah hapal kok. Soalnya nomor Kak Arga yang kusimpan pertama kali di ponselku,” ujar Tasya pelan. Arga tersenyum dan mengacak poni Tasya. Tasya manyun karena poni favoritnya rusak.
Mereka akhirnya sampai di sebuah pusat perbelanjaan dan hiburan di kota Bandung. Tasya sangat senang dan melepaskan bebannya selama ini. Di depan Arga dia tak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Dia juga tak takut kalau Arga akan menghianatinya. Dia yakin Arga adalah lelaki baik dan dewasa. Tak ada untungnya dia menyakiti anak polos seperti Tasya.
“Aku udah jadi komandanmu selama 3 minggu 1 hari dan 12 jam. Tak terasa kayak baru kemarin kita ketemu,” ujar Arga sambil meminum es jeruknya. Natasya yang masih berseragam abu-abu dan memakai tas birunya hanya mesem samar sambil memakan pancake apelnya.
“Iya, semua ini seperti mimpi,” sahut Tasya.
“Sampai aku takut kalau terbangun dari tidurku dan kehilangan mimpi ini,” ujar Arga. Tasya menatapnya lekat. Dia mulai tahu arah pembicaraan Arga yang seolah takut kehilangannya.
“Jarak kita sekarang adalah 50 cm. Tapi, sebentar lagi akan berubah menjadi 100 km karena Kak Arga bakalan kembali ke asrama,” ujar Tasya pelan.
“Kamu juga kemarin masih es batu. Sekarang, kamu sudah menjadi es teler. Manis dan berwarna-warni. Aku senang pernah jadi bagian hidupmu, Dek,” ujar Arga lirih.
“Kenapa cara bicara Kak Arga seperti mau berpisah jauh?” tanya Tasya tanpa menatap Arga.
“Bukannya tugasku sudah selesai? Kamu sudah bisa berbagi beban dengan orang lain. Kamu sudah bisa mempercayai orang lain lagi. Teman-temanmu juga tidak membencimu lagi. Tidak bisa dipungkiri kalau kita sangat berbeda, Dek.”
“Apa Kak Arga sedang menolakku? Atau membatasi hatiku supaya tidak mencintaimu?” tanya Tasya.
“Kamu selalu blak-blakan Tasya. Tapi aku suka itu. Coba kita pikir, betapa besar perbedaan kita. Usia kita saja berbeda 9 tahun. Apa kata orang kalau kita sampai pacaran? Aku bakalan dicap p*****l lo! Jadi pacaran bukan ending kita, kan? Lalu kalau kita berteman, apa kata orang tuamu? Masak iya kamu berteman dengan orang yang pantesnya jadi Om kamu? Pemikiran kita sangat berbeda Dek. 2 tahun lagi aku akan masuk usia yang pantas untuk menikah. Sedangkan, kamu masih harus kuliah, kerja, dan bersenang-senang. Lihat, tak ada satupun ending yang cocok untuk kita kan?” tanya Arga yang membuat Tasya terhenyak.
“Iya memang gak ada cocok sih. Emangnya aku peduli itu?” tanya Tasya pelan. Arga menatapnya heran.
“Maksudmu?”tanya Arga bingung.
“Sejak SD, aku selalu bermain rumah-rumahan dengan temanku. Aku selalu berperan dan bermimpi jadi ibu muda. Jadi aku tak pernah menolak menikah di usia muda. Aku mau kuliah sambil mengasuh anak. Aku baik-baik saja dengan itu. Aku bukan remaja masa kini yang ingin kerja, senang-senang, nikah belakangan. Malah bukan itu yang kutakutkan dari hubungan kita” ujar Tasya yang berbalik membuat Arga terhenyak.
“Tasya…kok?”
“Aku takut kalau Kak Arga bosan sama aku. Kayak Kak Egi. Aku itu orangnya keras, dingin, galak, judes, blak-blakan, apa adanya, penyendiri, menyebalkan, ya pokoknya gitu deh. Makanya sifat-sifat itu tadi yang bikin Kak Egi berpaling dariku. Aku cuma takut ditinggalin sama orang yang kupercaya, itu aja,” ujar Tasya lirih. Arga menyentuh punggung Tasya dengan hangat.
“Aku gak kayak mantanmu, kok. Bodoh banget si Egi. Dia tidak belajar untuk memahamimu, Dek. padahal kamu itu sempurna di mataku. Kamu tahu, aku gak menemukan alasan untuk membencimu bahkan. Belum lagi, kamu sangat cantik. Seperti bidadari,” ujar Arga yang membuat pipi Tasya bersemu merah. Mungkin inilah saatnya dia bertemu dengan pasangannya.
“Aku gak bisa berkata apa-apa lagi,” ujar Tasya sambil menahan senyumnya.
“Tidak usah menjawab, aku sudah tahu jawabanmu kok,” ujar Arga sambil menyentuh pipi Tasya dengan punggung tangannya.
“Besok kalau jalan lagi, jangan pakai seragam sekolah ya. Aku jadi kayak om-om hidung belang,” canda Arga. Tasya tertawa lepas. Baru kali ini ada yang membuatnya tertawa. Siapa yang sangka ada yang melelehkan es batu seperti dirinya?
***