Penerbangan delay akibat cuaca buruk, membuatku cukup keki. Pasalnya, pukul sembilan malam aku baru sampai di bandara, setelah perjalanan tiga jam di pesawat. Tanpa perlu mengambil bagasi, aku langsung menuju pintu keluar.
Di lobi dekat parkiran, segera kunyalakan ponsel dan menghubungi Pakde. Terakhir kami bicara adalah sebelum pesawat take off. Dia kusuruh menjemput di bandara.
"Halo, Pakde. Di tempat biasa kan?" tanyaku langsung.
"Iya Bos, langsung saja," katanya singkat.
"Oke," jawabku lantas menutup.telepon. Tidak membuang waktu lagi, segera aku menuju tempat yang telah kami sepakati.
*
"Non Ami lengket bener sama gurunya itu, Bos," komentar Pak Dewo begitu kuatnya tentang Safira. Kami sudah meluncur di jalan tol menuju rumah. Yah, karena mendekati week end, jalan tol pun agak ramai meski jam segini.
"Gitu ya? Sebetulnya aku juga mikir, kenapa Ami akhir-akhir ini jadi suka rewel gitu. Apa udah bukan bayi lagi, jadi Si Winda sudah gak bisa ngatasin," kataku lagi.
"Saya kurang tahu kalau masalah pengasuhan anak, Bos. Selama ini yang ngurus itu semua kan istri. Saya mah, tinggal ngasih setoran uang bulanan aja," kata Pak Dewo.
Aku terdiam mendengar penuturan Pak Dewo. Rasa bersalah tiba-tiba datang, mengingat Ami yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Meski begitu aku sudah berusaha semaksimal mungkin memenuhi semua kebutuhannya, juga meluangkan waktu khusus untuknya. Namun, tetap saja tidak bisa mengisi kekosonga yang ditinggalkan oleh Nirina.
"Emm, maaf Bos. Bukannya bermaksud membandingkan Nyonya Bos," kata Pak Dewo cepat-cepat, yang mungkin menyadari perubahan sikapku.
"Nggak apa-apa, Pak. Santai saja. Kenyataannya memang Nirina lebih mementingkan karirnya dibanding Ami. Saya nggak keberatan bertukar pikiran masalah Ami. Karena jujur saja, sikap Ami itu makin lama bikin saya makin pusing," keluhku.
"Ya kalau dari pengamatan saya dua hari ini, Non Ami memang terlihat lebih cocok sama Mbak Fira dibanding Mbak Winda. Mungkin saja, Non Ami memang lebih suka sama Non Fira yang lebih ngemong dibandingkan Mbak Winda yang cenderung disiplin," kata Pak Dewo lagi.
"Gitu ya, Pak. Apa sebaiknya Safira saya bikinkan kontrak kerja sekalian, biar menggantikan Winda?" tanyaku lagi meminta pertimbangan.
"Wah, kalau masalah itu saya tidak bisa ngasih saran. Terserah Bos Besar saja," jawab Pakde.
"Ya sudah, kita lihat saja nanti," tukasku.
Walau demikian, aku masih memikirkan kemungkinan itu. Memang yang terpenting adalah membuat Ami nyaman, karena dia adalah kunci ketenangan pukiranku. Hmm, sepertinya ide mengontrak Safira sebagai pengasuh Ami cukup masuk akal.
Tidak berapa lama, mobil yang membawa kami pun sudah sampai di garasi. Setelah berpamitan dengan Pakde, aku segera naik lewat pintu samping menuju lantai dua. Kulihat jam di layar ponsel sudah menunjuk pukul 22.09. Ami pasti sudah tidur sekarang.
Kepalaku agak berat, karena tidak cukup istirahat dua hari ini. Namun, sebaiknya aku segera membersihkan diri lalu menemui Safira. Tadi siang dia kusuruh menunggu di rumah sampai aku kembali, jadi mau tidak mau aku harus menemuinya malam ini.
Ya seorang Hariz Sofyan pantang mengingkari janji.
Mandi air hangat di shower adalah ebuah kenikmatan, setelah seharian berkutat dengan debu jalanan. Masih mengenakan bathrobe dan celana piyama, aku keluar dari kamar dan menuju kamar Ami yang berada di seberang.
Kamarku dan Ami sama-sama di lantai dua, agar aku bisa lebih mudah mengeceknya setiap saat. Sementara kamar Winda berada di sebelah kamar Ami dan terhubung dengan pintu dalam. Ya, sebagai pengasuh yang kudu standby dua puluh empat jam, dia memang harus punya akses lebih ke kamar Ami. Jadinya aku mengalah, menempati kamar yang berada di seberang mereka.
Sejak Nirina pergi, aku tidak lagi menempati kamar utama di lantai bawah. Begitu pula dengan kamar bayi yang sudah kupersiapkan untuk Ami di sebelah kamar kami, juga tidak lagi dipakai. Kedua kamar itu membuatku teringat pada Nirina. Karena itulah, aku.merombak rumah ini, dan membuat akses pintu baru dari samping garasi langsung ke lantai dua.
Jadi, aku sesedikit mungkin berada di lantai satu, kecuali ada tamu atau fokus mengurus bisnis di ruang kerja. Selebihnya, kuhabiskan waktu di lantai dua atau tiga bersama Ami. Atau sering juga kami bermain di halaman belakang, berenang di kolam renang, atau mengamati bintang di rooftop.
Ya, hanya Aku dan Ami. Kami memang sedekat itu. Kami hanya memiliki satu sama lain. Mungkin karena itu, dia tidak bisa jauh dariku. Akibatnya, dia jadi rewel ketika kutinggal lama. Mungkin itu sebabnya, Ami jadi dekat dengan Safira, orang yang juga bisa membuatnya nyaman.
Perlahan kuputar handle pintu kamar Ami, agar tidak mengganggunya. Temaram suasana kamar itu, membuatku merasa tenang. Juga aroma khas bedak bayi Ami yang menyegarkan, membuatku semakin merasa kangen pada si bayi kecil itu.
Kuhampiri gundukan yang terbungkus selimut itu, dengan langkah perlahan. Namun, begitu sampai di sana, terlihat dua orang yang saling berpelukan. Ami meringkuk di lekukan tangan Safira, sementara gurunya yang masih memakai atasan mukena itu memeluknya dengan satu tangan, dan tangan lainnya memegang buku cerita.
"Yah, dia juga sudah tidur," ujarku pada diri sendiri. "Dibangunkan gak ya?"
Ada pertentangan batin antara membangunkan Safira atau tidak. Namun sepertinya pilihan pertama lebih masuk akal. Aku tidak bisa membiarkan Safira tidur di sini.
Perlahan kuguncangkan bahunya, tapi dia tidak merespon. Ragu-ragu, kupanggil namnya pelan-pelan, karena takut membangunkan Ami. Masih juga dia bergeming.
Aduh, bagaimana ini?
Sekali lagi, kuguncangkan bahunya agak keras, dan kupanggil namanya secara bersamaan. "Bu, Bu Safira, bangun."
Dia mulai bergerak. Dari posisi tidur miring memeluk Ami, kini Safira berbaring telentang. Dia menggeliat sejenak, yang kemudian membuat buku cerita di tanganny terjatuh di lantai. Rupanya, gerakan itu membuatnya terbangun.
Aku berjongkok mengambil buku yang terjatuh di karpet, saat dia tiba-tiba menoleh dan membuka mata. Dari raut wajahnya, Safira tampak terkejut.
"Selamat malam, Bu Safira," sapaku, kemudian berdiri kembali.
Safira masih menatapku lurus-lurus, seolah meyakinkan dirinya bahwa aku nyata. Saat itulah, entah kenapa bibirku spontan tersenyum.
"Bisa kita bicara di luar?" tanyaku dengan suara pelan yang kukira cukup terdengar olehnya.
Dia mengangguk, kemudian perlahan membebaskan lengannya yang sedang menjadi bantal kepala Ami. Gadis kecil ku itu bergerak pelan, kemudian beralih posisi menghadap sebaliknya dan memeluk guling.
Aku segera berbalik, meletakkan buku cerita Ami di meja dan kemudian berjalan keluar kamar Ami. Kutunggu Safira di balkon luar.
Tidak berapa lama, Guru Ami itu pun keluar. Wajahnya masih terlihat bingung, dan sekarang atasan mukena itu telah berganti jilbab Pink dari kain.
"Ikut saya," kataku singkat, kemudian berjalan turun ke lantai satu. Dari ekor mataku, bisa terlihat Safira mengikutiku tanpa bicara. Setelah sampai di ruang kerja, kubukakan pintu untuknya. "Silakan masuk."
Dia mengangguk sopan, kemudian masuk mendahuluiku.
"Silakan duduk," kataku sebelum ikut duduk di sofa.
"Terima kasih Pak," jawab Safira formal.
"Maaf membuat Bu Safira menunggu hingga ketiduran," kataku lagi.
"Oh, tidak apa-apa, Pak. Kebetulan tadi Ami minta dibacakan cerita dan saya disuruh tidur di sampingnya," jelasnya.
"Emmm, begini Bu. Saya ingin menawarkan sebuah pekerjaan untuk Bu Safira, sebagai pengasuh tetap Almira. Apakah Bu Safira bersedia?" tanyaku kemudian.
"Pengasuh Ami? Buka kah sudah ada Mbak Winda? Saya tidak terlalu pandai mengurus anak seperti beliau, Pak. Bapak pasti sedang bercanda," katanya sembari tertawa.
Kutatap dia lekat-lekat, "Saya sedang tidak ingin bercanda, terutama yang berhubungan dengan Almira."
Dia terdiam.
"Jika Anda bersedia, akan segera saya buat surat perjanjian kontrak kerjanya. Filenya sudah ada di laptop saya ini, tinggal memberikan nama saja. Bagaimana?" lanjutku.
"Saya, saya ...."
"Oh, masalah gaji?" sahutku. "Untuk.pekerjaan yang hampir menghabiskan waktu seharian dengan ALmira, saya kira dua kali UMR per bulan cukup?"
Mata Safira yang indah itu membulat. Wait? Aku memikirkan apa barusan?
"Ehem!" Kualihkan pandangan ke arah lain. "Mungkin sebaiknya Bu Fira memikirkan tawaran saya ini masak-masak. Kesempatan tidak akan datang dua kali, apalagi untuk Anda yang masih fresh graduated."
"Baiklah. Akan saya pertimbangkan tawaran Bapak. Namun begitu, saya masih berharap bisa mengajar di Sekolah Yayasan sesuai dengan ijazah dan keahlian saya. Saya sebenarnya bukan pengajar PAUD, tapi akrena kekurangan orang, jadi saya diberikan kesempatan mengajar di unit PAUD," jelasnya.
"Hmmm, I see. Jadi, maksud Bu Fira Anda tisak berkompeten untuk mengasuh Ami?" tanyaku to the point.
"Saya khawatir begitu, Pak. Karena mengajar satu ilmu pengetahuan dan memberikan pengasuhan itu sangat jauh berbeda. Saya belum punya bekal itu, dan selama ini hanya mengandalkan naluri saja," imbuhnya.
"Tapi Ami sudah cocok dengan Anda, Bu. Bahkan Pak Dewo pun merekomendasikan Anda," bujukku lagi.
Dia terlihat sedikit terkejut.
"Baiklah, kalau begitu saya berikan waktu tiga hari untuk memutuskan. Walau saya berharap sebelum.batas waktu itu, Bu Fira sudah bisa mengonfirmasi kesediaannya," tukasku.
"Baik Pak."
"Jadi, apakah Bu Fira mau menginap di sini malam ini? Akan saya suruh pelayan untuk menyiapkan kamar tamu," aku menawarkan.
"Mohon maaf, Pak. Kalau tisak keberatan, saya ingin pulang saja," tolaknya dengan halus.
"Baiklah kalau begitu. Akan saya suruh Pade bersiap mengantarkan," kataku.
"Terima kasih, Pak. Saya mau permisi dulu, beres-beres barang sebelum pulang," katanya berpamitan.
"Iya silakan," jawabku tanpa beranjak dari kursi. Bu Safira berdiri lantas berbalik dan berjalan menuju.pintu. Dari tempatku duduk kuamati dia saat melakukan semua itu, sampai dia menghilang di balik pintu.
Kemudian, kuangkat telepon kabel di meja, memutar nomor yang tersambung ke telepon di garasi.
"Tumben gak ada yang ngangkat," setelah beberapa lama tidak ada jawaban juga. "Ah, mungkin Pakde sudah di kamarnya dan tidur."
Aku terdiam sebentar, memikirkan solusi. "Biarlah, kuantarkan saja Bu Safira malam ini. Toh, aku masih terlalu malas untuk tidur," ujarku sembari bergegas kembali ke kamarku untuk berganti baju.
...
bersambung ...
...