Safira - Rumah Ami

1646 Kata
Astaga, anak itu tidak hanya menggangguku di jam sekolah, tapi juga di luar sekolah! Mau kesel gimana juga gak bisa. Neneknya pemilik yayasan, papanya pemilik perusahaan. Duh, gini amat nasib jadi karyawan, yang masih dalam masa percobaan. Sebenarnya hari ini sudah cukup melelahkan dengan kerewelan Ami di pagi hari. Kukira semua sudah berakhir begitu aku pulang ke kosan. Eh, ternyata, masih juga ditelepon sama papanya Ami, saat aku baru saja selesai shalat maghrib. Dan lebih hebohnya lagi, aku di suruh ke rumahnya cuma buat nemenin anak kecil itu makan. Astaghfirullah hal aziim, orang kaya itu enak ya? Mau apa aja tinggal nyuruh - nyuruh. Nggak peduli kitanya mau atau tidak. Ketukan di pintu membuatku lamunanku terhenti seketika. "Mbak Fira, ada tamu nungguin di bawah," kata seseorang dari luar. "Iya, bentar," jawabku sembari mematut diri sekali lagi, memastikan jilbab squareku tidak mencong. Kusambar tas ransel sebelum keluar kamar. Ternyata Nia, seorang mahasiswa semester enam. Dia teman sebelah kamar kos yang baru saja memanggil. "Mbak, ada bapak - bapak nyariin, pakaiannya formal banget, pake jas," kata Nia. "Oh, iya makasih ya," kataku singkat, kemudian segera menuruni tangga ke lantai satu. Oh, iya. Aku tinggal di kamar kos lantai dua, paling ujung sebelah kiri. Sementara Nia menempati kamar di sebelahku. Di sebelah kamar Nia ada satu kamar lagi yang ditempati Mbak Hanum, seorang karyawan di kantor dekat sini. Sementara di deretan kanan, ada tiga kamar juga, tapi semuanya kosong. "Siapa sih Mbak?" tanya Nia yang ternyata ikut turun. Jiwa kepo anak ini tinggi juga. "Itu sopir atasanku," jawabku jujur. "Eh, emang Mbak Fira mau kemana? Enak banget pake dijemput sopir," komentarnya lagi. "Mau ke rumahnya lah. Ada kerjaan di sana," jawabku sekenanya. Nia terlihat masih mau bertanya lagi, tapi aku sudah keburu keluar ke ruang tamu. Di sana, ada seorang bapak berpakaian seragam hitam - hitam yang terlihat formal. Usianya kutaksir sekitar lima puluh tahunan. Dengan rambut Yang sebagian beruban. "Bu Safira?" tanyanya padaku dengan ramah. "Benar, Pak. Bapak sopirnya Pak Hariz?" tanyaku. "Oh, masih muda ya. Iya Mbak. Nama saya Sadewo, Tuan Hariz meminta saja menjemput Mbak Fira. Tapi tadi lupa tidak memberikan nomor telepon Mbak. Jadi saya agak lama nyarinya tempat ini. Soalnya mobil ga bisa masuk gang," ujar Pak Sopir itu. Beliau terlihat sedikit berkeringat memang. mungkin capek habis jalan berkeliling masuk gang, nyari kosanku. "Oalah. Maaf, Pak. Mau minum dulu?" ujarku menawarkan. Sembari berdiri aku mengambil dua botol air mineral dari etalase. Di ruang tamu ini memang ada etalase tempat jualan bukos. Isinya kebanyakan Snack, air mineral dan beberapa jajanan. "Nggak usah Mbak, terima kasih. Sebaiknya kita segera berangkat. Saya khawatir Non Ami kelamaan nunggunya," kata Pak sopir. "Nggak apa-apa, Pak. Minum dulu lah, nanti biar saya yang bilang sama Ami," kataku sambil mengulurkan sebotol air mineral padanya. Sementara satu botol lagi kumasukkan dalam ransel. "Eh, yaudah Mbak. makasih," ujarnya sembari menerima botol air mineral pemberianku. Pak sopir itu segera membuka tutup botol yang masih bersegel itu dan meneggaknya hingga tersisa setengah. "Wah seger, kayak, ada manis - manisnya gitu. Makasih Mbak," ujarnya sembari menirukan iklan air mineral yang diminumnya. "Alhamdulillah." Aku tergelak, bapak ini lucu juga ternyata. "Kita berangkat sekarang Mbak?" tanyanya sembari berdiri. "Mari, Pak." Aku berjalan lebih dulu dan Pak sopir itu mengikutiku. Sengaja aku memilih jalan tikus agar lebih cepat sampai ke jalan besar. "Oalah, ternyata dekat ya, ke sekolah. Gitu tadi saya muter lewat gang sana," kata beliau. "Iya, Pak. Saya juga dulu suka memutar sebelum tau jalan pintas," kataku terus terang. "Ayo mbak, mobilnya di sana," kata beliau sembari menunjuk mobil hitam metalik yang cukup besar itu. Pak sopir itu memencet kunci mobil dan kemudian membiakkan pintu tengah untukku. "Silakan Mbak." "Terima kasih, Pak." Rumah Ami ternyata tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menitan dari kosan. Selama perjalanan, Pak Sopir yang memintaku memanggilnya Pakde itu bercerita banyak tentang kebaikan Hariz Sofyan. Papa Ami. "Pokoknya, Mbak Fira kalau ada apa - apa ngomong saja ke saya. Nanti saya sampaikan ke Bos. Jangan ngomong ke Nyonya Besar, bisa - bisa malah dipecat," katanya lagi. "Masa sih, Pakde? Bu Nurita bukannya baik banget ya?" ujarku membela nenek Ami. Ya, aku punya pendapat sendiri tentang beliau dan suaminya. Walau memang anaknya telah melakukan kesalahan fatal, tapi tetap saja keluarga Handoko menjaminn pendidikanku dan Zein. "Yah, itu terserah pandnagan masing - masing sih, Mbak. Cuma untuk urusan duit, Nyonya besar itu agak pelit jika dibanding Bos Hariz," imbuhnya. "Oh, gitu," barulah aku paham. Yang dimaksud Pakde dengan kebaikan majikannya itu ternyata diukur dengan 'royal' tidaknya mereka. Tidak salah sih, beranggapan seperti itu. Tapi kalau aku, baik tidaknya seseorang itu yang jadi penilaian utama adalah kejujurannya. "Nah, kita sampai," kata Pakde yang kemudian mengklakson sebelum memasuki gerbang sebuah rumah besar di pinggir jalan protokol. Astaga, rumah yang hampir menghabiskan setengah jarak ke perempatan berikutnya ini, ternyata rumah Ami? Ckckckck. Kaya benar anak kecil itu. Setelah melewati gerbang depan, dan menyapa satpam, Pakde melajukan mobil ke gerbang dalam. Iya, halaman depan rumahnya luas banget. Kayaknya bakalan capek kalau jalan kaki dari gerbang depan ke gerbang dalam. Setelah masuk gerbang dalam, masih ada halaman samping yang juga cukup luas. Jadi, rumahnya itu benar-benar jauh di dalam. Pakde memarkirkan mobil di garasi terbuka, di sebelah mobil Alphard putih. Sepertinya ada empat atau lima mobil lain, yang ditutupi cover berada dalam garasi itu. Begitu selesai mematikan mesin, Pakde mengajakku turun. "Mari saya antar ke kamar nona Ami, lewat sini." Beliau mengajakku masuk lewat tangga yang ada di sebelah garasi. Tangga itu berujung di teras samping lantai dua. Kemudian dia membukakan pintu dan kami masuk ke rumah itu. Astagaaa, ini rumah macam istana. Interiornya benar - benar mengagumkan. Langit-langit nya berkubah tinggi, dan semua ornamen serta furniturnya pasti sangat mahal. Dari pintu lantai dua, ada semacam balkon yang membatasi. Jadi di dalam rumah itu tidak seluruh lantai atasnya tertutup, hanya setengah saja. Akibatnya dari lantai dua, bisa melihat ruang tamu dan ruang tengah di lantai satu. Oh, iya. Ternyata masih ada satu lantai lagi di atas. Luar biasa besar rumah ini. "Di sini, Bu," kata Pakde, sembari mengetuk pintu bercat putih. "Siapa?" tanya sudara perempuan dari dalam. "Pakde. Ini Bu gurunya Non Ami sudah datang," kata Pakde. Seketika pintu terbuka dari dalam. Terlihat seorang wanita dengan tinggi semampai dan mengenakan seragam berdiri menghadap ku. Aku tersenyum sopan, tapi dia terlihat dingin dan angkuh. Tatapan matanya seolah meneliti pakaianku dari atas sampai bawah. "Bu Piaaaaaa!" teriakan Ami yang kemudian menghambur ke pelukanku, membuat suasana canggung itu tiba - tiba terpecahkan. "Assalamualaikum, Ami," sapaku seraya berlutut, agar mata kami sejajar. "Waalaikum salam, Bu Pia," jawab anak kecil lucu itu, kemudian mencium tanganku. Aku balik mencium tangannya, dan dia tertawa. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Pakde. "Iya, Pakde terima kasih," kataku. Sementara perempuan di belakang Ami tidak mengucapkan apa - apa. Dia malah berbalik dan masuk ke ruangan itu. "Ayo Bu Pia, masuk kamar Ami," ajaknya seraya menggandeng tanganku. "Iya - iya." Aku melangkah canggung masuk keruangan besar itu. Dindingnya menggunakan wallpaper lucu bergambar pony yang warna warni. Kemudian seluruh lantainya ditutupi oleh karpet bermotif boneka. Ada satu space yang ada di pojok ruangan seperti area bermain. Kemudian di sudut lainnya ada tempay tidur berkelambu pink. Mirip ranjang para ratu dan putri di negeri dongeng. Kemudian di penjuru lainnya, terdapat meja belajar bsar dan juga rak - rak buku. Sementara satu sudut terakhir diisi sofa panjang yang empuk dan juga meja panjang yang cukup rendah. Di seberangnya tertempel layar monitor super besar dengan berbagai macam audio theater di sana. Nyonya Nurita Handoko duduk di sofa itu, sembari menyesap minuman dari cangkir. "Bu," sapaku sambil membungkuk sopan. "Duduklah," kata Beliau. Ami pun ikut duduk di sebelahku. Gadis kecil ini terlihat begitu ceria seperti biasa. Perempuan yang tadi membukakan pintu, tidak bergabung bersama kami. Dia keluar melalui pintu samping. "Kamu tentu sudah tahu bukan, kenapa diundnag kemari?" tanya Nyonya Handoko to the point. "Iya, Bu. " "Bagus. Jadi temani cucuku makan, agar dia tidak sampai sakit. Semuanya sudah tersedia di ruang makan. Kamu boleh ikut makan semua hidangan yang ada di sana, sebagai kompensasi. Setelah Ami menghabiskan makanannya, kamu boleh pulang," jelasnya padaku. "Iya, Bu." "Oke, Ami. Sekarang Bu Fira sudah di sini, kamu makan ya?" kata Nyonya Nurita. "Ayok Bu Pia, kita main," ajak gadis kecil yang menggelayut di lenganku ini. Dia sama sekali tidak mengindahkan kata - kata neneknya. "Ami!" bentak Neneknya spontan. Keceriaan di wajah Ami menghilang. Dia menyembunyikan mukanya di balik lenganku. Aku menyentuh kepala si kecil disebelahku, lalu berbisik. "Kalau Ami mau main, makan dulu, ya. Nanti selesai makan, Bu Fira temani main seperti di sekolah. Bagaimana?" Ami mengangguk pelan. "Nah, gitu dong. Ami kan anak pintar," pujiku. "Ya, sudah. Kamu urus dia," ujar Nyonya Nurita sembari melihat jam tangan mewah di pergelangannya. "Saya masih ada urusan lain. Nanti langsung saja temui Pak Dewo di bawah, kalau mau pulang." "Iya, Bu." Ami masih bersembunyi di balik lenganku, begitu neneknya pergi. Wanita sekitar enam puluhan tahun itu pun berlalu tanpa memandang ke cucunya. "Win, Winda!" panggilnya, setelah membuka pintu samping. "Iya, Nyonya," jawab perempuan berseragam yang tadi membukakan pintu untukku. "Itu suruh si Ami makan sama gurunya. Aku pergi dulu, ada janji," katanya. "Siap, Nyonya." Kemudian wanita itu pun pergi. "Ayok, Bu Pia. Kita makan kesukaan Ami," katanya kembali ceria. Dia menyeretku ke pintu samping itu. Ternyata di sana adalah ruang makan. Ada sebuah meja oval besar, yang dikelilingi kursi-kursi logam dengan gaya minimalis. Di atas meja itu, tersedia berbagai macam makanan yang tidak pernah kumakan sebelumnya. Hanya bisa kulihat di iklan-iklan restoran. "Bu Pia suka pageti, pica, atau esklim?" tanyanya. "Ada oti juga loh." "Ami suka apa?" tanyaku. "Pageti, tapi yang ga pedas," katanya. Ya sudah, Bu Fira mau yang sama kayak Ami. Kita makannya sama-sama ya, biar selesai sama - sama juga," kataku. "Oke!" Gadis kecil itu pun duduk di sebelahku, sembari memberikan jempol mungilnya. Selanjutnya ada seorang pelayan yang mengambilkan makanan kesukaan Ami, juga memberikan semangkuk untukku. Hmmm, begini ya makannya orang kaya. Semua dilayanin. * bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN