The Greatest Show

1200 Kata
Kasak-kusuk belum juga mereda. Joanne berdiri dengan bantuan tongkat kayunya. "Oh, baiklah. Urusanku di sini telah selesai, dan lebih baik aku pulang beristirahat. Ayo, Theodore! Biarkan anak-beranak ini melanjutkan urusan mereka." Suara tua bergetar, tegas memerintah putra tunggalnya yang telah berusia lima puluh tahun. Sang anak pun bangkit berdiri tanpa perlawanan. Mengikuti langkah kaki tertatih ibunya. Pasangan John dan Diana mendekati adik kandung Thomas. Menyalami perempuan tua yang mungkin tak lama lagi akan menyusul kepergian kakaknya ke alam baka. "Terima kasih, Bibi Joanne. Maaf kalau suasananya tidak seperti yang kau harapkan," ucap Diana mengecup pipi bibi mertuanya. "Secepatnya kami akan berkunjung ke kediamanmu, Bibi. Jaga kesehatanmu." John mengikuti istrinya, memberikan salam perpisahan dan sedikit berbasa-basi. "Ya, ya. Kalian tak perlu repot-repot. Aku memaklumi kesibukan anak-anak muda. Aku pun pernah muda, kau tahu?" Joanne terkekeh, menghalau keponakannya sebagai isyarat kalau mereka tidak perlu mengantarnya keluar. Satu persatu hadirin mulai menyadari. Pembacaan warisan yang ternyata mengejutkan bukanlah urusan mereka lagi. Mereka mengikuti langkah yang diambil Joanne, meninggalkan ruang perpustakaan The Queen Manor. Meninggalkan apa yang menjadi urusan penting bagi keluarga inti Thomas. Patricia menghampiri Eddy Parker di meja kerja Thomas Senior. Pengacara tua itu berulang kali mengusap kepalanya yang nyaris botak. Ia melonggarkan ikatan dasi sutra merah yang terasa sangat mencekik lehernya, akibat tatapan kosong Patricia. "Sebenarnya, Patricia… Thomas—hm—sangat bersikeras dengan keputusannya ini. Kita tidak bisa…" Pengacara itu berusaha mencari-cari kata yang paling tepat agar bisa menenangkan keluarga kliennya. Sejak Thomas berkeinginan mengubah surat wasiatnya, ia sadar dan telah memprediksi kejadian seperti ini. Dan benar saja, semua terjadi sesuai pemikirannya waktu itu. Kasus-kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Namun benar, ini kali pertama dalam karirnya sebagai pengacara yang hanya menerima sedikit klien untuk ditangani. Tentunya klien potensial yang mampu membiayai gaya hidup personil Parker&Parker yang sekelas selebriti dunia. Sudah bukan rahasia lagi, Thomas Queen Senior terkenal gemar membuat gebrakan berbeda. Dalam bisnisnya, dan kini dalam keluarganya. "Kurasa, aku seperti yang lainnya, kan, Eddy? Aku berhak bertanya lebih jauh lagi. Apakah mungkin—ehm—mertuaku dalam keadaan tidak sadar atau di bawah paksaan, atau, ah, entahlah Eddy. Berjuta kemungkinan bisa saja terjadi, bukan? Ini tidak seperti biasanya. Senior selalu waspada dengan tindakan yang dilakukannya." Patricia menghela napas panjang. Ia bersyukur dapat mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dadanya. Bagi janda Thomas Junior itu, harta yang ditinggalkan mertuanya tidak adil. Puluhan tahun ia menjaga nama baik keluarga Queen dengan menjadi ketua yayasan sosial, badan amal, dan ribuan kegiatan charity yang wajib dihadirinya. Ia tidak sempat terjun langsung dalam perusahaan komersil karena aktivitas sosial gila-gilaan itu. Thomas Junior dulu memang melarangnya, dan hanya menginginkan istrinya sebagai simbol pendukung keluarga melalui aktivitas sosial. Namun bahkan, kegiatan itu pun menyulitkannya untuk lebih bergaul dalam pesta-pesta sosialita seperti yang dilakukan Diana. Sekalinya datang ke acara selebritas bersama satu laki-laki yang berbeda dari acara sebelumnya, media langsung mengecamnya. Membombardir dengan sejumlah pemberitaan skandal. Seolah hanya aib yang ia torehkan di dunia ini. Masyarakat umum menutup mata dengan donasi-donasi kelas wahid yang mampu mengumpulkan jutaan dollar dalam waktu singkat demi kebaikan seluruh dunia. Demi nama keluarga Queen yang terhormat. Demi Amerika Serikat yang dibanggakannya. Patricia tidak bermaksud menguasai seluruh harta warisan itu. Ia sadar dirinya hanya seorang menantu. Latar belakang orang tuanya pun bukan dari kelas sembarangan. Mereka keluarga yang terjun di dunia hukum dan politik. Ayah Patricia, Alain Bordeaux, seorang senator negara bagian California yang sangat dihormati. Sedangkan ibunya, Grace, adalah seorang dokter bedah yang kemudian harus menyerahkan nyawanya di meja operasi ke empat belas kali, untuk mengangkat sel-sel kanker getah bening yang menggerogoti organ penting tubuhnya. Hillary, Samuel, dan Cathy, kakak-adik Patricia, mengikuti jejak orang tua mereka, menjadi politisi dan dokter. Baginya, warisan Thomas Senior ini bukan sekedar meminta uang jajan untuk dihambur-hamburkan. Melainkan juga keadilan atas hak yang seharusnya didapat dirinya dan putra semata wayangnya. Ini yang semakin membuat pusing kepala. Robby tampak tak peduli dengan kepentingannya sendiri. Sejak kedatangannya yang terlambat tadi, Patricia berusaha mencuri pandang ke arah anaknya yang bengal itu. Dan ia mendapatkan kesia-siaan. Robby tetap Robby yang tidak peduli akan status sosialnya sendiri. Berjuta orang di luar sana memimpikan menjadi seorang pewaris konglomerat. Tapi anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri, tidak pernah bangga akan status dan harta yang didapatnya tanpa perlu bersusah payah. Mungkin itu yang membuat mertuanya mengalihkan sebagian besar harta pada seorang gadis miskin yang diambil dari kubangan. Miris, namun itulah kenyataannya. "Patricia," panggi Eddy membuyarkan pikiran-pikiran kusut menantu Thomas Senior itu. "Ya?" "Hmm, kau harus tahu. Mertuamu itu orang paling keras kepala di dunia ini. Bahkan dalam keadaan tubuh yang lemah sekalipun, ia tetap bisa menggunakan otaknya dengan baik dan benar. Thomas punya alasannya sendiri saat terakhir mengubah wasiatnya ini. Tidak ada satupun dari kami, tim pengacara yang telah pulihan tahun mendampinginya, sanggup memaksa, mengubah, menekan pilihan padanya. Kau tahu, kan, Thomas sangat kaku akan hal itu. Dan, ehm, kurasa, sebaiknya kita semua menghormati keputusannya ini." "Tapi, Eddy," sela Diana yang tiba-tiba saja sudah berada di sisi Patricia. "Mungkin saja gadis itu, eh maksudku, Sarah, menolak warisan ini, kan? Bisa saja dia merasa tidak pantas. Tidak berhak. Lagi pula dia siapa sih? Dia bukan keluarga." Wajah Diana berpaling dan menatap tajam ke arah Sarah yang kini tengah berjalan keluar ruang perpustakaan. "Benarkan, Sarah? Kau akan menolak warisan ini, kan? Ini tidak adil bagi kami dan kau pasti tidak menginginkan sesuatu yang bukan hakmu. Benar, kan Sarah sayang?" Lengking nyaring suara Diana menghentikan langkah kaki gadis itu. Sarah berhenti tepat di ambang pintu. Ia berpaling pada Diana, lalu mengedarkan pandangannya menyapu tatapan mata yang masih tersisa di sana. "Aku… kurasa… aku belum memutuskan apa-apa." Brian menyeringai. "Tentu saja dia menginginkan harta itu, Ibu. Kurasa sebaiknya kita melaporkan kasus ini ke polisi. Sebaiknya segera diusut apakah Kakek meninggal dengan wajar atau…" "Apa maksudmu, Brian?" potong Robby. Laki-laki itu memindai Sarah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perempuan kaya mendadak yang belum lagi bisa menguasai emosi dan terpancar dari gestur tubuhnya. Robby menangkap tangan dan kakinya yang gemetar, dan bahunya yang naik turun. Serta setiap kata yang diucapkannya menyiratkan ia telah berusaha keras mengenyahkan emosi yang sulit ia jelaskan. "Tentu saja semuanya sudah sangat jelas, Sepupu! Kau terlalu lama berada di hutan belantara sehingga tidak sadar ada banyak manusia-manusia oportunis yang berusaha mereguk keuntungan dari hak orang lain." Eddy merasa gusar dengan apa yang didengarnya barusan. Kata-kata Brian telah mencederai profesi dan kompetensinya. Ia mengambil kembali berkas-berkas yang yelah dirapikan kedua asisten dalam tas khusus berisi dokumen The Queen. Diangkatnya bundel kertas itu tinggi-tinggi. "Maaf untuk kalian semua yang merasa kecewa. Sekali lagi kuminta kalian berhenti mempertanyakan keabsahan wasiat yang ditulis tangan oleh Thomas sendiri. Mohon hargai ayah kalian dengan keinginan terakhirnya. Termasuk kau, Sarah. Hargai majikanmu, orang yang telah memikirkan masa depanmu itu. Karena bila kau menolak wasiat ini, maka seluruh harta yang telah dibagikan akan dialihkan untuk badan amal atas nama The Queen Foundation." Napas Eddy memburu, tubuhnya berkeringat di musim dingin seperti ini. "Kalian bisa memilih. Menerima warisan itu sesuai yang telah ditentukan Thomas, atau tidak sama sekali." Semua terhenyak mendengar pernyataan Eddy Parker barusan. Robby tersenyum tipis menggeleng-gelengkan kepalanya. Pertunjukan yang hebat, pikirnya dalam hati. Hanya kakeknya yang sanggup membuat pertunjukan seperti ini dari alam baka. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN