[13] Bom dari Bujang

1794 Kata
Lemah, letih, lesu, lunglai, lemot, semuanya Rindu rasakan sekarang. Bagaimana tidak? Hari ini padahal hari Rabu tapi kenapa nasabah banyak sekali sampai ia tak bisa beristirahat dengan tenang. Ia makan seperti diburu-buru dan kepikiran mengenai antrian yang cukup padat di bangku tunggu. Belum lagi semuanya ingin cepat selesai padahal perkara dengan uang itu harus benar-benar teliti. Jangan sampai ada yang kurang baik di slip atau pun bentuk fisik uangnya. Terlebih kalau ingat slip pasti Rindu jadinya semakin memperhatikan. Ia tak mau diceramahi lagi oleh sang bos hanya karena slip setoran. Entah ada apa tapi kalau Rindu rasa karena ini jelang akhir bulan. Untung saja, tak ada kendala yang berarti selama ia mengerjakan report yang ada. Jumlah transaksi hari ini juga balance dan tidak ada kendala yang membuat jantung mereka bekerja ektra. Setidaknya lelah yang Rindu rasakan hari ini, tak membuat kepalanya mendadak pening karena selisih. Meski besarannya hanya seratus ribu rupiah, ia tetap harus mencari di slip setor yang mana yang berkendala. “Tumben banget hari ini,” keluh Dela sembari merenggangkan tangannya. Sama seperti Rindu, ia juga merasa lelah karena cukup banyak nasabah yang ia tangani. “Ugh! Tangan yang kena infus ini masih agak sensitif.” “Iya.” Yuni pun sedikit bersandar di kursinya. “Kamu enggak lupa minum obat, kan, tadi?” Dela terkekeh. “Enggak, Yun. Aku justru enggak enak sama kamu dan Kak Rindu. Makan duluan sementara kalian dikeroyok.” Rindu terkekeh berbarengan dengan Yuni. Tak lama berselang, Ayana pun ikut bergabung bersama mereka. Pintu kantor cabang Senayan sudah ditutup rapat oleh sekuriti. Di sisi ruang kantor, ada ATM yang bisa digunakan customer lainnya yang tak ingin bertransaksi langsung di teller. Ayana juga masih ingin melepas lelah sebelum berjibaku dengan kemacetan menuju rumahnya di kawasan Kebayoran Lama. “Kakiku agak pegal,” keluh Ayana sembari memijit pelan kakinya. “Benar-benar, ya, hari ini.” “Tapi perutnya enggak apa-apa, Kak?” Rindu agak khawatir sebenarnya, sih, tapi mau bagaimana lagi? Ia juga sudah berusaha untuk membuat Ayana tak terlalu sibuk di floor. Ia juga punya tanggung jawab untuk mengawasi dan membantu Ayana sampai nanti tiga bulan ke depan. Itu yang diminta Bujang juga Marta, kan? Setelahnya ia dapatkan promosi menjadi head teller seperti apa yang telah dijanjikan untuknya. Kondisi Ayana dengan perut buncit memang agak mengkhawatirkan. Rindu juga takut terjadi apa-apa dengan Ayana. Tapi sepertinya rekan kerja barunya ini santai saja menghadapi serbuan nasabah tadi. “Enggak kok,” kata Ayana dengan senyum semringah. “Kalau enggak ada kamu, aku pasti kelelahan. Kamu yang banyak membantu di sini, Rin. Makasih, ya.” Rindu tersenyum manis. “Aku suka kerja bareng sama kalian.” “Sama, ih,” kata Yuni dan Dela serempak. Namun keakraban mereka segera diinterupsi oleh bunyi telepon yang berdering cukup nyaring. Berhubung yang paling dekat dengan telepon itu adalah Yuni, segera saja gadis itu menyambarnya. “Ya, Pak?” Satu-satunya orang yang dipanggil Pak di sini hanya Bujang seorang. Terlebih nada bicara Yuni tampak jauh lebih kalem ketimbang biasanya. Itu pertanda kalau benar adanya, si Bujang sang Bos menyebalkan yang ada di kantor ini lah yang membuat panggilan telepon barusan. Beruntung bagi Rindu yang tak berinisiatif mengangkat telepon meski bisa dijangkau dengan tangannya. Mendengar suaranya saja ia sudah enggan. Apalagi ingat kejadian tadi pagi. Bertambah lah rasa tak suka yang ada di dirinya. “Ya, Pak. Baik,” Hanya itu yang Yuni katakan dan tak lama sambungan telepon itu pun ia putus. Hal itu juga langsung membuat Dela juga Ayana penasarana. Tak berbeda dengan Rindu meski tanpa kata, tapi telinganya terpasang sempurna untuk mendengarkan gosip yang segera saja diluncurkan Yuni. “Kak Rindu dipanggil ke ruangan Bapak.” Rindu masih terdiam. “Sekarang katanya.” “Aku?” tunjuk Rindu dengan herannya. “Ada apa lagi?” “Aku enggak tau, Kak. Cuma disuruh sampaikan itu aja.” Rindu memejam kuat, tangannya juga terkepal. Ada kesal yang mendadak datang lagi sama seperti kekesalannya di pagi hari. Mengingat perintah Bujang yang menurutnya aneh sekali. Masa iya dirinya yang merapikan meja di dekat bangku nasabah? Apa karena dirinya tengah merapikan slip setoran? Lantas tak bisakah harusnya itu tugas Mbak Wiji saja? Yuni saling bersitatap dengan Dela juga Ayana. “Laporan sudah beres, kok, Rin,” kata Ayana mencoba menenangkan. Sejak tadi pagi, ia tau kalau Rindu menyimpan rasa tak suka pada Bujang. Padahal sepengetahuan Ayana, Bujang itu termasuk bos yang baik dan peduli dengan para staff yang ada. M eski ia tak bisa pungkiri kalau kadang menyebalkan. Tapi menurut Ayana itu masih wajar. Jadi … kenapa Rindu sampai harus sekesal itu? “Kurasa kamu dipanggil bukan karena laporan sore. Lagi juga hitungan uang sudah balance semuanya.” Rindu mengangguk pelan. Diliriknya jam yang ada di tangan kanannya yang mana sudah menunjuk pukul empat lebih sepuluh menit. Dua puluh menit lagi mereka bisa pulang tapi kenapa malah Rindu diminta ke ruangan Bujang? Kurang kerja sekali rupanya. Namun ia tak bisa menolak, kan? Dengan langkah terpaksa, ia seret dirinya menuju ruang Bujang. Sengaja ia lambatkan langkahnya agar sang bos lebih lama menunggu. Lagi pula meski laporan semuanya sudah selesai, bukan berarti dirinya bebas, kan? ada yang masih harus ia kerjakan sembari menunggu jam pulang tiba. Tapi kenapaa … astaga, ia benar-benar tak habis pikir kenapa dirinya dipanggil Bujang? Rindu juga sengaja tak menggunakan lift. Satu demi satu anak tangga ia lewati. Begitu di lantai dua, sengaja juga ia bertegur sapa dengan bagian admin yang ada di sana. sesekali juga menyapa sapaan ramah serta diseling obrolan ringan yang mereka tanyakan pada Rindu. naik lagi ke lantai tiga, hal yang sama juga Rindu lakukan. total ia habiskan waktu cukup lama, sekitar lima belas menit. Senyum senang ada di wajah Rindu jadinya. Andai ia mendengar ceramah Bujang terkait pekerjaannya, ia bisa dengan santai mengatakan, “Jam kerjanya sudah berakhir. Ia harus pulang karena ibunya masih butuh perawatan.” Simple, kan? Sayangnya itu hanya rencana. Begitu dirinya mengetuk pintu ruangan Bujang, sorot mata pria itu tampaknya sudah tak sabar untuk membuat perhitungan dengan Rindu. “Duduk,” perintahnya. Di mana Bujang membawakan satu berkas yagn sejak tadi ia perhatikan. Bukan mengenai isinya yang sudah ia hapal di luar kepala, tapi ia ingin melihat bagaimana respon Rindu begitu tau apa yang akan ia sampaikan. Rindu mematuhi Bujang dengan segera. Duduk di sofa yang cukup empuk dengan sorot mata santai. Tak berselang lama juga, Bujang pun duduk di depannya. Memberikan berkas yang membuat Rindu bertanya-tanya. “Apa ini, Pak?” “Baca.” Bujang menyandarkan diri dengan nyamannya. Rindu mengerutkan kening tapi membuka satu demi satu lembaran yang ada. “Saya ingat perpindahan kamu ke sini juga untuk promosi menjadi head teller, kan?” Rindu mengangkat pandangannya sekilas lantas mengangguk. “Iya, Pak.” Rasanya kalau tidak memberi jawaban untuk Bujang, ada yang kurang bagi Rindu. “Ada apa memangnya, Pak?” “Itu penilaian saya mengenai kredibilitas kamu selama di sini. tau, kan, lembaran itu apa?” Rindu tak buta akan lembaran yang kini kembali memenuhi matanya. Kotak serta kolom yang terisi skala penilaian ini biasanya diberikan ketika promosi jabatan, kenaikan gaji serta bonus, dan penilaian tahunan karyawan di kantornya. Selama bekerja Rindu sudah beberapa kali menandatangani berkas seperti ini. Biasanya juga senyum Rindu hadir dalam tiap lembar berkas yang ia terima. Tapi sekarang? Matanya sampai ia rasa mau keluar saking terkejutnya. “Ini … bohongan kan, Pak?” “Bohong?” Bujang mengerutkan kening. “Kenapa saya mesti bohong?” “Penilaian saya enggak sehancur ini, Pak.” Rindu tak terima. “Saya tau mengenai SOP slip setoran, cara melayani customer juga. Bagaimana menghadapi mereka. Mengenai uang serta aneka macam aturannya. Saya jadi teller enggak satu atau dua tahun, Pak.” Rindu berusaha sekali menekan suaranya. Jangan sampai ia terdengar meninggikan suaranya. Tapi sungguh, Bujang sangat keterlaluan. Semua penilaian yang ada sama sekali di luar ekspektasinya. “Itu yang saya punya untuk kamu.” Bujang terlihat santai. “Lagi pula saya yang menilai, kok. Kamu meragukan penilaian saya?” “Iya,” sela Rindu dengan cepatnya. “Berapa kali kamu saya panggil karena kesalahan sepele?” Bujang sedikit mencondongkan dirinya. “Dua kali, Rin, dan itu semua permasalahannya sepele. Itu masuk dalam penilaian kalau kamu enggak teliti. Kamu bisa lihat point penilaian saya yang lain.” Rindu mendelik tak terima. “Saya beri kesempatan kamu, kok.” Bujang tersenyum tipis. “Tiga bulan lagi penilaian dengan saya langsung. Kalau kamu protes ke Pak Kurniawan atau Bu Sonia sekalipun, justru itu menghambat penilaian saya untuk kamu. Pak Kurniawan sudah menyeragkan masalah head teller Senayan ke saya langsung, kok.” “Bapak sengaja, ya,” tuding Rindu dengan mata yang mulai memanas. Kesalnya jangan tanya. Marahnya apalagi. Satu-satunya pria yang sangat ia benci sekarang adalah Bujang! Hanya Bujang! “Terserah kamu mau bilang apa. Menurut saya penilaian itu sudah sangat objektif melihat juga bagaimana kinerja kamu selama di Senayan. Saya yang memberi penilaian bukan Bu Sonia atau Pak Kurniawan.” *** Beruntung kaca helm yang Rindu kenakan bisa menutupi sebagian besar wajahnya. Ia menangis sepanjang pulang dari Senayan ke rumahnya. Sang ibu sudah memberi kabar kalau dirinya ada di rumah. Pulang bersama Koni siang tadi. Rindu sebenarnya tak setuju ibunya memilih pulang hari ini. ia takut ibunya masih kurang istirahat tapi ibunya memang keras kepala. Tak ingin banyak diatur oleh Rindu. Jadi lah Rindu memilih mengalah saja. Setidaknya juga kabar itu membuat Rindu tenang. Tapi ternyata, ketenangan itu tak berlangsung lama. Bom yang Bujang jatuhi jauh lebih menyebalkan dan menyakitkan untuknya. Kenapa juga dirinya harus mendapatkan kesialan seperti ini? ditambah penilaian yang Bujang beri selalu saja terbayang dalam benaknya. “Sialan banget, Pak Bujang,” gerutunya. Air matanya masih terus menetes. Tak peduli membuat pipinya lembab dan kotor. Yang terpenting ia puas menangis karena kekesalan di hatinya tak mau pergi barang sejenak. “Kenapa, sih, gue harus punya bos macam dia?” Yah … setidaknya Rindu itu masih punya konsentrasi nangis di jalanan. Tak sampai menabrak orang di dekatnya atau malah sampai masuk ke dalam selokan yang ada di tepi jalan. Atau malah membahayakan sekitarnya dengan mengendarai motor yang ugal-ugalan. Ia hanya butuh melepaskan rasa tak suka dan tak terima karena perlakuan Bujang sore ini. Bahkan ditanya Ayana, Dela, juga Yuni pun ia tak menjawab. Memilih langsung mengambil tasnya, memastikan tak ada yang tertinggal, lalu absen tanpa suara. Mengabaikan beberapa panggilan serta sapaan yang tertuju padanya. Seharusnya ia tak boleh bersikap seperti itu tapi mau bagaimana lagi? Ucapan Bujang membuat kemarahannya makin jadi. “Kalau aku resign, Mami gimana? Pasti Mami malah makin giat bekerja untuk di rumah.” Rindu tak terbayang kalau sampai ia resign dari kantornya. “Tapi … ah, elah! Kenapa, sih, Bujang ini!!! Tuhan!!! Dosa apa yang bikin aku punya bos macam Bujang! Aku sumpahin jadi bujang lapuk terus-terusan!!! Enggak punya pacar. Susah nyari istri! Biar aja!!!” maki Rindu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN