Rindu menghentak kesal. dipukulnya jok motor yang tak bersalah itu dengan cukup kuat. Kalau saja berteriak di area parkir bisa meredakan marahnya pasti ia lakukan. Tapi Rindu masih gunakan akalnya untuk bertingkah. Jangan sampai keinginannya memaki atasannya itu ia keluarkan sekarang. Lalu ada orang lain yang mendengar dan bertambah kacau urusannya.
Sudah cukup ia dipermalukan di depan Dela juga Ayana.
Napasnya menderu kesal. Matanya memperhatikan sekeliling. “Argh!” Ia tak tahan juga. “Nyebelin!!!” Maunya berkata; dasar bos sialan, nyebelin, kurang kerjaan! Tapi itu semua ia tahan. “Ya Tuhan! Beri aku sabar yang banyak! Jangan dulu aku diberikan tua pikirannya karena bos gila!!!
Tapi ingatan Rindu tak bisa menyingkirkan sosok serta ucapannya yang masih terngiang sejak tadi.
Semuanya bermula di jam sibuk di mana antrian cukup panjang dan ada salah satu nasabah prioritas yang ingin didahulukan. Sudah menjadi rahasia umum kalau nasabah yang memiliki previllage khusus pastinya teller akan menutup satu jalur tersendiri untuk melayani mereka. Bukan apa, biasanya setoran yang mereka beri di atas lima ratus juta rupiah.
Untuk meminimalisir gangguan yang ada, maka fokus di satu teller itu perlu.
Della dan Ayana segera mengupayakan hal tersebut. Lalu Rindu yang bertugas pun mengambil alih karena Dela dan Ayana juga harus mengurus hal lainnya. ia juga terbiasa menangani nasabah prioritas. Tak ada kendala sebenarnya. Semua hitungan pas, slip setoran juga oke, dan validasi yang mereka lakukan pun sama dengan jumlah uang yang ada.
Permasalahannya …
Astaga, Tuhan! Andai saja Rindu tak menahan dirinya untuk melampiaskan kekesalan langsung di depan Marta. Iya, di depan Marta di mana ada Bujang di sana.
Ada prosedur khusus yang biasanya dilakukan jika setoran di atas dua ratus juta. Selain validasi langsung ke head teller, dalam hal ini Ayana, juga diketahui oleh DBM atau BM. Yang Rindu lakukan sudah sesuai prosedur tapi yang buat semuanya jadi ribet adalah Bujang.
“Sudah kamu hitung?” tanya Bujang tanpa melihat ke arah Rindu. matanya fokus pada slip setoran yang kini ada di tangannya. Di depannya ada Marta yang mendampingi Rindu. Ia sendiri sebenarnya heran tapi karena perintah langsung, Marta belum berani bertanya.
“Sudah, Pak.”
“Manual?”
“Berikut dengan mesin.”
Bujang mengangkat pandangannya dan tepat memandangi manik mata Rindu yang terlihat tak ada ragu di sana. ia mengangguk sekilas lalu kembali melihat slip setoran yang ada. “Kamu tau salahnya di mana?”
Kening Rindu berkerut dalam. “Salah?”
“Iya, salah.” Bujang meletakkan slip setoran yang ada. “Saya tanda tangani karena ini Bu Margareth yang datang. Beliau nasabah yang potensial ada di sini. jangan sampai kamu kecewakan beliau.”
Rindu diam menyimak namun masih belum terima mengenai salahnya di bagian apa. Mengenai slip setor yang masih ada di meja Bujang, Rindu pun mendekat untuk mengambilnya. “Memang salahnya di mana, Pak? Saya sudah double cek tapi enggak ada kesalahan.”
Bujang menyeringai. “Bu Marta bisa keluar dulu? Bawa slipnya ke bawah. Serahkan saja ke Ayana. Saya sudah copy untuk beritahu calon head teller kita ini, Bu.”
Rindu rasanya tak terima Bujang mengatakan hal itu. Ia mengingat segala hal yang dilakukan untuk mengecek slip setoran serta uang yang ada. Tak ada yang salah tapi kenapa Bujang seperti itu?
“Baik, Pak.” Sebenarnya Marta sendiri bingung tapi ia tak bisa membantah Bujang kali ini. Sejak pagi entah kenapa mood sang bos terlihat buruk. Padahal dari segi pekerjaan yang Marta tau, tak ada kendala malah yang ada kantor pusat mengirimkan apresiasi bagi para staff teladan di bulan lalu. Penilaian untuk bulan ini baru dimulai tanggal lima belas nanti.
Jadi apa yang membuat Bujang aneh seperti sekarang?
Tak lama terdengar pintu ditutup pertanda kalau Marta sudah keluar dari ruangannya. Bujang masih belum mau menurunkan sorot matanya pada Rindu. Gadis itu juga seperti tak ada takutnya sama sekali. Malah terkesan menantang untuk berdebat saat ini juga.
“Kamu perhatikan copyan slip ini.” Bujang sodorkan copyan slip tadi. “Periksa di mana salahnya.”
Rindu sebenarnya enggan tapi tetap saja ia lakukan karena dirinya juga penasaran, apa sih yang dimaksud Bujang? Padahal ia sudah memeriksa berkali-kali dan tidak ada yang salah. Jadi kenapa justru Bujang bertanya, ada kah yang salah? Aneh, kan?
“Enggak ada, Pak,” sahut Rindu sembari mengembalikan slip tadi.
“Sambil duduk, perhatikan baik-baik. Enggak sopan bicara dengan saya sembari berdiri.”
Rindu melotot. Ia juga tak bisa duduk begitu saja kalau tak punya kepentingan di sini, kan? Kenapa sekarang justru ia dipersalahkan hanya karena duduk? Dibilang tak sopan pula! Wah … Bujang ini benar-benar sentiment padanya! Rindu menarik dengan perasaan tertahan agar tak terlihat kalau sebenarnya ia sudah jengkel dengan perlakuan Bujang.
“Sekali lagi dilihat di mana salahnya,” kata Bujang kembali menyodorkan slip copyan tadi.
Mungkin karena sudah keburu kesal, keburu emosi berkuasa, juga tak ingin berlama-lama di ruangan Bujang yang meski nyaman tapi bagi Rindu sama sekali tak ditemui kenyamanan. “Enggak ada, Pak. maaf, mungkin saya ini terlalu bodoh untuk tau di mana salah slip yang menurut saya enggak ada kesalahannya ini.”
Bujang menyeringai kembali. “Saya bingung kenapa Bu Sonia malah mereferensikan kamu sebagai head teller? Percobaan di sini selama tiga bulan dan saya harus menilai? Sementara slip seperti ini saja kamu enggak tau salahnya di mana.”
Rindu terperangah. Bujang bicara tanpa jeda tapi isinya menyudutkan?
“Atau kamu harus periksa matamu, Rin? Siapa tau minus?” tanya Bujang penuh simpati. “Saya bukan lagi mengejek kamu tapi rasanya kalau slip seperti ini bisa lolos dari pengawasan kamu, berarti bisa jadi kamu enggak konsentrasi atau kamu memang butuh kacamata bantu.”
“Enggak.” Rindu menyela dengan cepat. “Mata saya sehat, Pak.”
“Ah, berarti konsentrasi kamu? Atau … kamu menganggap godaan dari Yusup itu serius?”
Rindu tak habis pikir dengan ucapan Bujang yang baru saja ia dengar. Apa kaitannya dengan Yusup?
“Kalau memang slip ini bermasalah kenapa hanya saya yang Bapak interogasi? Kak Ayana seharusnya juga dong.” Rindu tak terima masih diperlakukan seperti ini oleh Bujang.
“Lho?” Bujang jadi terkekeh mendengar perkataan Rindu barusan. “Kamu menyalahkan Ayana? Kamu itu kandidat pengganti Ayana, lho, di sini. bagaimana bisa kamu justru menyalahkan seseorang yang bukan seharusnya menanggung tanggung jawab kamu.”
“Selama saya belum resmi, berarti masih ada PIC yang bertugas, kan, Pak?” tanya Rindu dengan berani. “Seharusnya Bapak juga harus bertanya ke Kak Ayana.” Ia tak akan mau kalah dan dipersalahkan begitu saja. Lagian Rindu sudah melakukan pemeriksaan berulang. Lantas apa lagi, sih, salahnya?
Bukannya dikasih tau tapi kesannya malah seperti adu ilmu?
Mana bisa! Rindu masih kacung kampret, kan? Sementara Bujang?
Tak adil namanya!!!
“Kalau Ayana saya panggil ke sini kamu pasti lebih malu, Rin.” Bujang sedikit menegakkan punggung. “Sebagai head teller, lepas dari apa pun permasalahan kamu, kamu ha—“
“Saya enggak ada masalah apa pun, Pak,” sela Rindu dengan cepatnya.
Bujang mengerjap pelan. “Bagus kalau begitu. Enggak peduli kalau kamu ada masalah apa, begitu nasabah menghampiri meja kamu, kamu mesti beri pelayanan terbaik. Konsentrasi dan berusaha juga untuk mendengarkan masukan dari mereka.”
Rindu tau hal itu dengan pasti.
“Dan jangan sampai masalah sekecil ini kamu luput, Rin,” tunjuk Bujang pada bagian tanda tangan customer yang memang tak ada. “Bahaya.”
Rindu mengerjap heboh. Ditariknya segera kertas fotocopyan slip tadi. Ia berulang kali mengecek slip yang dibawa wanita berblazer merah itu tapi … ia ingat kalau ada tanda tangannya meski kecil. “Ini ada, kok, Pak.” Rindu masih belum terima juga. “Ini, lho, Pak. Meski copyan tapi saya masih bisa jelas melihatnya.”
“Saya tau,” Bujang menautkan kedua tangannya. Dipangkunya ujung dagu di antara tautan tangannya tadi. Matanya belum lepas menatap Rindu yang ia juga tau kalau kesal ada di dekatnya. Ia sendiri juga punya banyak pekerjaan. Rasanya malah ingin sekali protes ke Sonia dan kantor pusat atas usulan nama Rindu ada di sini.
Kompeten dari mana kalau kesalahan kecil seperti ini dia tak bisa perbaiki, ditambah justru seperti orang yang tak ingin mendengar nasihat serta arahan? Apa namanya kalau bukan pembangkang?
“Kalau tanda tangan sekecil dan sesamar ini bisa menjadi pemicu kesalahan lainnya, Rin.” Bujang menghela pelan. “Kamu bisa, kan, minta tanda tangan kembali? Di slip setor ini uangnya ada tujuh ratus lima puluh lima juta seratus dua puluh enam lima ratus rupiah. Nominalnya besar.”
Rindu menggertakkan rahang. Tak percaya kalau Bujang memperlakukannya seperti ini.
“Memang kamu akan ebrtanggung jawab? Meski Bu Margareth sering sekali ke sini tapi bukan berarti beliau bisa dibiarkan melalukan kesalahan, kan? Meskinya kita sudah antisipasi lebih dulu. Kita enggak tau kapan kawan berubah menjadi lawan. Kapan rekan berubah jadi musuh. Dan kapan kesialan itu menimpa kamu.”
Melihat anak buah barunya itu terdiam meski sorot matanya tak terima, Bujang biarkan saja.
“Jangan ulangi lagi. minta tanda tangan nasabah yang jelas. Itu validasi utama, kan?”
“Baik, Pak.”
“Ya sudah. Itu saja yang ingin saya bicarakan.”
“Maafkan saya, Pak.”
Bujang memilih kembali sibuk dengan laporannya.
Rindu bersiap untuk keluar dari ruangan Bujang. “Saya permisi.” Namun belum genap langkahnya keluar dari ruangan itu, ia dihentikan ucapan Bujang yang menurutnya agak keterlaluan.
“Saya kasih kamu kesempatan sekali lagi. kalau ada kesalahan, yang mana kamu itu sudah bisa saya katakana senior. Senior itu harusnya enggak mengabaikan dasar-dasar pengecekan. Apa mentang-mentang kamu senior jadi meremehkan?”
“Enggak, Pak,” Rindu langsung menoleh.
“Bagus kalau begitu. Saya anggap hari ini kamu memang enggak konsentrasi. Nama kamu harum di luaran sana, karyawan teladan juga, kan? Katanya kamu teliti dan pekerja keras. Tapi kalau kesalahan kecil begini saja bisa luput, bagaimana saya menilai kamu?”
Tangan Rindu terkepal kuat jadinya. Semua ucapan Bujang yang belum berlalu seharian ini sangat menganggunya! Kalau memang dirinya salah, ia sudah minta maaf, kan? masa iya kurang permintaan maafnya? Tak perlu dengan kata-kata yang membuatnya kesal, kan?
“Argh!!!”
“Rin, kamu kenapa?” Yusup yang sejak tadi memperhatikan Rindu jadinya mendekat.
“Lho, Abang Yusuf di sini? Ngapain?”
Yusup menunjuk motornya yang terparkir tak jauh dari posisi motor Rindu.
“Ah, iya.” Rindu meringis jadinya. Ia lupa kalau Yusup tadi berbarengan kedatangannya di pagi hari. “Saya duluan, Bang.”
“Kamu … kenapa teriak-teriak?” Yusup belum mau Rindu lepas begitu saja. soalnya sejak tadi gadis ini bertingkah aneh. Tak mungkin ia kesurupan, kan?”
Enggak apa-apa, Bang.” Rindu segera memakai helmnya. Menstater motornya dan langsung meninggalakn Yusup begitu saja. sialnya … saking buru-buru keluar dari area parkir, motornya hilang keseimbangan. Tergelincir tepat di arah belokan keluar dari parkir.
“Argh! Sialan!!!” maki Rindu dengan geramnya.