Setelah merasa cukup dengan pertemuannya bersama sang mommy siang itu, Sena pun pamit. Namun, ketika ia hendak pamit dengan Selena, gadis itu tampak tidak lagi terlihat. Padahal ia tahu, sebelumnya sang adik masih mengobrol dengan asisten pribadinya —Bayu.
"Mungkin Selena sudah kembali ke kamar," ucap Malika mencari jawaban aman.
"Ya, mungkin. Semoga saja ia tidak benci melihatku."
"Jangan berprasangka buruk. Adikmu tidak seperti itu."
Memiliki dua anak yang memiliki sifat dan karakter seperti suaminya, bukanlah hal mudah bagi Malika mendidik dan mengasuh putra dan putrinya tersebut. Acap kali bertengkar sejak masih kanak-kanak, Malika harus berjuang dan menerima setiap tingkah laku keduanya yang lain dari pada anak-anak seusia mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, pertengkaran itu berubah menjadi hal yang sama sekali tidak Malika duga. Persaudaraan di antara Sena dan Selena, justru semakin akrab di usia mereka yang beranjak dewasa. Dengan usia yang terpaut lima tahun, keduanya bisa sama-sama berpikir dewasa dan menghadapi sesuatunya dengan berpikir panjang dan logis.
Sena yang memiliki wajah dan sifat bak pinang dibelah dua dengan sang suami, Arka, tentu lebih mudah untuk Malika bimbing dan ajari sesuatu. Belajar dari pengalamannya menghadapi sosok seorang Arka Mahesa, dengan cara itu juga ia melakukan kepada putra sulungnya itu.
Lain halnya dengan Selena. Gadis berusia dua puluh lima tahun, yang sudah dengan berani mendobrak keinginan sang daddy untuk menjadikannya seorang pengusaha seperti Sena —sang kakak— tentu lebih sulit untuk Malika hadapi.
Selena lain dari perempuan seusianya. Ia tidak tomboy, tetapi sifatnya yang cuek membuatnya dijuluki 'si dingin' oleh teman-teman di sekolah dulu. Sifatnya terbawa sampai ia dewasa hingga kemudian memutuskan untuk menjadi seorang seniman dengan membuka galeri sesuai passion yang dimilikinya.
Kesempurnaan hidup sebagai orang tua tentu Arka dan Malika rasakan. Namun, semua kelebihan yang keduanya nikmati, tidak seiring dengan keinginan mereka yang mendambakan pernikahan bagi Sena atau Selena.
Hubungan Sena dengan Bianca yang sejatinya tidak mereka restui, sepertinya akan jauh panggang dari api. Sena terlihat hanya bermain-main dan tidak serius untuk menikah. Tak berbeda jauh dengan Selena yang terlebih memiliki sifat cuek sejak dulu. Sepertinya putri mereka itu pun tak akan cepat mendapatkan jodoh meski usianya sudah berada di seperempat abad.
"Aku pamit pulang, Mom. Minggu depan aku akan usahakan datang lagi kemari."
"Tidak usah berjanji kalau kamu tidak bisa menepatinya. Dengan mendengar kamu sehat dan baik-baik saja, itu semua sudah cukup bagi Mommy."
"Aku pastikan kali ini tidak akan mengingkarinya. I promise, Mom!" ucap Sena sembari mendekat, lalu memeluk tubuh ibunya itu.
"Ya. Mommy akan menunggu kalo begitu." Di dalam dekapan Sena, Malika pun berdoa supaya Tuhan selalu memberikan keselamatan dan kesehatan bagi putranya itu.
Setelah keduanya melepas pelukan, Sena pun pergi meninggalkan Malika, masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah Bayu buka.
"Permisi, Nyonya," pamit asisten pribadi putranya tersebut seraya mengangguk.
"Hati-hati, Bayu."
"Baik, Nyonya."
Mobil pun melesat pergi meninggalkan halaman rumah keluarga Mahesa yang sangat luas itu. Diiringi tatapan dari kedua mata Malika, mobil itu akhirnya tak lagi terlihat setelah keluar pagar. Setelahnya, wanita itu pun beranjak masuk ke rumahnya.
"Mas Sena sudah pergi?" tanya Selena yang muncul tiba-tiba dari arah taman. Padahal sebelumnya ibu dan kakaknya itu sudah memeriksa area tersebut ketika hendak pamit pulang.
"Ya, baru saja. Dari mana kamu ini, Selena?" tanya Malika menatap pilu sang putri.
"Duduk di tepi kolam."
"Bohong. Tadi Mommy dan kakakmu ke sana enggak ada."
"Mungkin pas aku lagi ke toilet," jawab Selena asal.
Malika mengajak putrinya untuk duduk di ruang keluarga. Menepuk sofa empuk di sebelahnya, wanita itu meminta sang putri untuk duduk.
"Jangan begitu kepada kakakmu. Mau bagaimana pun juga ia lebih tua darimu dan seharusnya kamu hormati."
"Mom, apakah selama ini aku tidak pernah menghormati Mas Sena? Mommy tahu betul aku tidak pernah bersikap kurang ajar meski aku adalah orang yang cuek dan tidak peduli orangnya," sahut Selena sedikit kesal.
"Ehm, ya, maafkan, Mommy. Mommy hanya tidak enak melihat kalian tiba-tiba bertengkar seperti ini."
Selena menatap wajah sayu sang ibu. Mendadak ia teringat dengan ucapan Bayu kepadanya tadi.
'Nyonya terlihat cemas ketika melihat kalian terlibat adu pendapat seperti itu.'
Selena perlahan mendekat, lalu memeluk tubuh Malika dari samping.
"Aku yang seharusnya meminta maaf sama Mommy. Seharusnya aku memang menahan emosi dan enggak boleh kesal. Maafkan aku, Mom."
Malika membalas pelukan putri bungsunya itu.
"Tidak, Sayang. Mommy juga bersalah. Mommy tidak seharusnya menasehatimu seperti tadi. Ya ... sekali lagi, Mommy hanya tidak ingin lihat kalian berdua bertengkar hanya karena hal sepele."
"Ya, Mom. Aku mengerti."
Keduanya pun kemudian sama-sama tertawa. Dua perempuan kesayangan Arka itu, lalu saling melepas pelukan meski tawa masih mengikuti mereka.
"Sudah, sudah, bagaimana kalo kita menikmati dessert? Kamu tadi belum selesai bukan makannya?" ucap Malika mengajak sang putri kembali ke ruang makan.
"Aku udah enggak pingin makan, Mom. Tapi, untuk dessert boleh lah. Yuk!"
Keduanya pun beranjak bangun. Lalu tanpa ada yang mengomando, kedua tangan saling berpegangan seraya melangkah meninggalkan ruang keluarga.
"Kamu benar sudah lebih baik?"
"Ya, setelah minum obat aku memang sudah mendingan, Mom. Tapi, pas tadi ngobrol sama Mas Sena, tiba-tiba kepalaku kembali pusing," kekehnya menggoda sang mommy.
"Kamu ini!" seru Malika sembari memukul pundak putrinya pelan.
Tidak mengaduh, Selena justru tertawa.
***
"Anda sudah pulang, Tuan?" tanya Kinan saat melihat Sena sudah kembali di waktu yang masih terbilang siang.
Sena berjalan bersama Bayu di belakangnya. Lalu, memilih duduk di ruang tamu ketika Kinan sedang membersihkan jendela ruang tamu.
"Ya, saya sedikit lelah hari ini."
Kinan berjalan mendekat dengan wajah yang tetap menunduk.
"Tapi, maaf Tuan, saya belum menyiapkan makanan untuk Anda. Tadi saya hanya menyiapkan sedikit makanan untuk saya dan dua orang pekerja yang lain." Kinan merasa tak enak hati.
"Dua pekerja? Siapa maksud kamu?" Tiba-tiba Sena menatap heran Kinan.
"Satpam rumah dan seorang tukang kebun, Tuan."
"Oh. Saya kira siapa." Sena kembali duduk santai.
Dirinya jelas terkejut ketika Kinan mengatakan sudah memberi makan kepada dua pekerjanya. Sebab selama ini ia tidak pernah mengurusi masalah makanan satpam dan tukang kebun. Pembantu yang ia pekerjakan setiap hari, hanya ia fokuskan untuk membersihkan rumah, tak lebih dari itu.
Sepertinya, ada bagusnya juga ia menampung Kinan sekalian membantunya bersih-bersih rumah. Setidaknya dua orang pekerjanya yang lain, bisa diurusi dengan layak.
"Eh, iya, Tuan. Tapi makanannya sudah habis sekarang."
"Tidak apa-apa. Saya sudah makan di rumah orang tua saya."
Kinan masih berdiri di depan Sena. Seolah menunggu perintah yang akan lelaki itu berikan.
"Kenapa kamu masih berdiri di sana? Apakah pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Sena yang tadi hampir memejamkan matanya.
"Eh, s-saya belum selesai."
"Ya sudah, lanjutkan saja. Kamu tidak perlu mengurusi saya. Lakukan saja apa yang menjadi tugas kamu di rumah ini. Kalau saya mau meminta sesuatu, saya pasti akan bilang."
"Ba-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi."
Kinan pun pergi meninggalkan Sena yang kembali memejamkan mata. Ia kembali ke salah satu jendela yang sedang ia bersihkan.