Sampai di rumah, aku meletakkan undangan di atas meja samping televisi. Iyan yang kebetulan melihat benda berwarna pink itu pun bertanya, "Itu apa, Bund?"
"Undangan pesta ulang tahun."
"Dari mana?"
"Cahaya."
Kuletakkan tas di atas sofa yang memang ada di depan televisi. Lalu aku duduk di samping Iyan. Rasa lelah membuatku menyandarkan punggung pada sofa. Seharian ini telah banyak yang aku kerjakan sehingga sangat menguras energi juga pikiran.
"Cahaya?" Iyan mengulang dengan nada bertanya.
"Iya. Anak perempuan yang pernah Bunda ceritakan. Putri kecilnya Om Surya yang selalu mengira jika Bunda ini adalah maminya. Kasihan sekali karena Cahaya sudah tak mengenali ibunya semenjak dia lahir ke dunia. Jadi, kalian anak-anak Bunda harus bersyukur setidaknya kita masih bisa diberikan kesempatan untuk bersama."
"Kapan acara pestanya, Bund. Terus yang diundang Bunda saja atau ...."
"Tentu kalian juga. Mana mungkin Aya hanya mengundang Bunda. Baca saja undangannya ada tulisan untuk kakak-kakak Aya. Iyan tidak keberatan, kan, jika Aya menganggap kalian kakaknya."
"Tak masalah, Bund. Lagian kita juga tidak mempunyai saudara perempuan."
"Baguslah. Sesama umat manusia, kita harus saling membantu juga saling menyayangi. Acara ulang tahun Cahaya hari minggu. Bisa, kan, kita menghadiri?"
Iyan menganggukkan kepala. Aku tersenyum lega. Setidaknya Iyan mau menerima keberadaan Aya. Kasihan sekali gadis kecil itu. Aku sendiri awalnya juga keberatan ketika Aya harus menganggapku sebagai maminya. Namun, setelah mendengar semua cerita dari mulut Pak Surya mengenai Aya dan mami gadis itu, hati ini menjadi trenyuh. Tak sanggup membayangkan andai anak-anakku yang harus kehilangan sosok seorang ibu. Oh, Tuhan. Aku berharap semoga kelak aku bisa mendampingi mereka sampai nanti mereka menikah, memiliki anak juga sampai memiliki cucu.
"Bunda. Kenapa Bunda menangis?"
Pertanyaan Iyan menyadarkanku akan lamunan. Buru-buru aku seka air mataku agar tak semakin tumpah. Aku tidak ingin Iyan melihatku bersedih hati.
"Bunda tidak apa-apa. Ya, sudah Bunda mandi dulu, ya?" pamitku karena ingin menghindar dari Iyan.
Aku beranjak berdiri dan gegas masuk ke dalam kamar. Sebaiknya memang aku segera mandi agar tubuh kembali segar. Banyak hal yang harus aku lakukan. Membersihkan rumah juga memasak untuk makan malam anak-anak.
Kebetulan sekali anak kedua dan ketigaki masih berada di rumah Ibu. Jadi setelah mandi nanti aku masih harus menjemput mereka. Ah, beginilah rasanya hidup dan tinggal dekat dengan keluarga. Di saat aku sedang kerepotan karena banyak pekerjaan di kedai, ada Ibu juga adikku yang bisa aku minta pertolongan untuk menjaga Rey dan juga Mondy. Sementara Iyan, anak pertamaku yang menginjak usia remaja, sudah terbiasa berada di rumah sendirian setelah pulang sekolah.
***
Malam ini pada akhirnya aku bisa kembali merebahkan badan setelah seharian sibuk beraktifitas. Anak-anak juga sudah tertidur semuanya. Ketika aku mendongak menatap pada jam yang menempel di dinding, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Tak lantas aku bisa tidur juga istirahat karena masih ada satu tugas lagi yang harus aku kerjakan.
Malas membuka laptop, dengan bersandar pada kepala ranjang aku meraih ponsel dan mulai membuka sebuah akun di salah satu platform online baca n****+.
Oh, ya. Aku belum pernah bercerita jika sebenarnya aku memiliki pekerjaan sampingan menjadi seorang penulis n****+. Dulunya aku ini adalah seorang editor pada sebuah perusahaan penerbitan. Lima belas tahun aku bekerja di sana sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan tak lagi bekerja.
Seringnya aku membaca naskah baik itu naskah n****+ atau pun naskah untuk sebuah tabloid, membuatku jadi iseng menyalurkan hobi yang terpendam selama ini, yaitu menulis. Terlebih dengan banyaknya platform menulis n****+ saat ini seolah membuka lebar peluang buatku untuk menyalurkan hobi. Jika sekarang, menulis n****+ online bukan lagi sebuah hobi melainkan sebuah pekerjaan yang aku geluti karena hasil yang aku dapat juga fantastis nilainya. Dapat aku gunakan sebagai tambahan uang tabungan. Memiliki tiga orang putra, sudah aku perhitungkan berapa banyak biaya yang harus aku siapkan. Terutama dalam hal pendidikan. Jadi, selagi aku masih muda dan dapat bekerja, maka aku akan gunakan waktu ini dengan sebaik-baiknya. Tak apa aku harus berjuang dan bekerja keras sekarang. Asalkan anak-anakku tidak kekurangan apa pun juga. Cukup dengan kekurangan kasih sayang ayahnya saja. Jangan sampai dari segi materi akan kekurangan juga.
Sedang fokus mengerjakan sebuah cerita ketika getaran ponsel memberitahukan jika ada satu buah pesan yang aku terima. Satu nama yang tertulis membuatku bertanya-tanya. Ada apa gerangan malam-malam begini mengirimi aku pesan.
Pak Surya. Satu nama yang langsung berhasil menghentikan aktifitasku saat ini juga. Membuka pesan yang Pak Surya kirimkan.
"Belum tidur?"
Kuhela napasku. Sudah terlanjur aku baca. Jika tidak aku balas rasanya juga tidak sopan.
"Belum." Balasan yang akhirnya aku kirimkan.
Tak lama kembali chat aku terima.
"Ini sudah malam. Sedang apa?"
Huft. Jika aku tanggapi tak akan ada habisnya. Sekali ini saja aku jawab. Setelahnya akan aku abaikan.
"Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan."
Setelah menekan tombol send aku masih menunggu jika sekiranya Pak Surya akan memberikan balasan lagi. Benar dugaanku. Beliau membalas apa yang tadi aku katakan.
"Jangan suka begadang. Jaga kesehatan. Ini sudah malam sebaiknya segera istirahat. Bukankah besok masih harus jualan? Oh, iya. Tari jangan lupa untuk datang di pesta ulang tahun Aya. Dia sangat antusias sekali karena berharap kau akan mendampingi."
Kuhela napasku. Tak lagi mau membalas pesan dari Pak Surya. Sejujurnya aku tak ada niatan untuk memberikan harapan palsu pada Aya. Tidak sama sekali. Niatku selama ini tulus karena ingin membantunya. Itu saja. Tak ada pikiran untuk aku akan menggantikan posisi maminya.
Bahkan menikah tidak ada dalam rencanaku ke depan. Fokusku sekarang hanya ingin membesarkan anak-anak. Itu saja. Karena kebahagiaan yang hakiki itu adalah ketika aku melihat putra-putraku bahagia.
Tak lagi ada mood untuk melanjutkan tulisanku. Juga tak ada niat untukku membalas pesan terakhir yang Pak Surya kirimkan padaku. Meletakkan ponsel di atas nakas. Sebaiknya memang aku tidur saja karena badan ini rasanya sudah letih dan capek juga. Biarlah untuk tulisanku akan aku lanjutkan esok pagi sebelum beraktifitas. Karena ketika aku sudah disibukkan oleh rutinitas maka waktuku akan tersita semua di sana. Dan biasanya ide menulis itu akan lancar di saat tak ada pengganggu. Namun, sekarang ini aku sudah tak ada daya untuk melakukan itu. Merebahkan diri di atas ranjang. Menarik selimut hingga batas dagu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memejamkan mata.
###
Selamat membaca.
Jangan lupa follow akun Author.
Juga Follow cerita ini dengan klik tombol love di halaman sampul.
Terima kasih.