“Mohon maaf atas keterlambatan kami, jika boleh memberi usul saya ingin mengusulkan jika penghitungan harta dan aset ini lebih baik dimulai dari keluarga anak termuda dulu saja, karena milik anak tertua … akan memiliki jumlah yang paling besar.”
*
Kalimat yang begitu mencengangkan, keluar dari mulut seorang Rudi. Bahkan wanita hamil yang di sampingnya pun dibuat tercengang sampai sedikit menjauhkan tubuhnya dari sang suami.
“Rud …? Kamu ngomong apa sih?” Satya menghampiri anak perempuannya dan kemudian menggandengnya. Dia menatap Rudi dengan perasaan yang aneh dan malu yang luar biasa.
Sementara itu, Cherika yang sempat shock karena kedatangan mereka berdua, dibuat geli oleh ucapan Rudi. Tak terkecuali keluarga Meisya yang lainnya, karena mereka semua tahu apa pekerjaan Rudi yang sebenarnya. Bagi mereka, bagaimana mungkin seorang kurir pengantar paket bisa memiliki jumlah harta yang melebihi milik mereka semua.
“Baiklah, kalau begitu … kita mulai saja dari Papaku sebagai anak bungsu nenek.” Cherika tersenyum bahagia, baginya tak masalah untuk menunjukkan di paling awal atau paling akhir, karena ia tahu jika orangtuanya lah yang akan memiliki harta terbanyak di antara paman dan bibi yang lainnya.
“Ya sudah, Surya … kamulah yang menjadi pembuka untuk menunjukkan berapa keseluruhan hartamu.” Nenek Darwati menyambut baik usulan itu. Karena di antara semua anaknya, anak keempatnya lah yang paling ia sukai. Yakni Surya, ayah dari Cherika.
Surya pun dengan percaya diri berjalan ke depan, lalu ia menghubungkan tabletnya pada proyektor yang memantulkan isi dari layar tablet ke arah white screen yang telah disediakan.
“Jadi … ini adalah keseluruhan harta dan aset yang kami miliki. Mulai dari saham, properti, bisnis dan yang lainnya. Setelah dihitung, maka jumlah dari seluruh harta milik keluarga kami adalah sekitar empat ratu milyar rupiah.” Dengan bangga ia menunjukkan jumlah keseluruhan hartanya.
“Wah, kau hebat sekali bisa membangun kerjaan bisnismu sendiri hingga menjadi besar seperti ini. Ibu bangga padamu, Surya,” puji nenek Darwati pada anak bungsunya itu.
“Ah, ini tidak ada apa-apanya, Bu. Semua ini berkat keluarga Wang yang mau bergabung pada bisnis perhotelan kami, sehingga kami bisa mengembangkan usaha kami sejauh ini.” Surya mencoba merendah untuk meninggi. Tanpa ia ketahui ada seseorang yang hadir di sana tengah menertawakan ucapannya barusan.
“Ya, walaupun kau mendapat investasi dari keluarga Wang, itu adalah sebuah pencapaian yang sangat besar. Di keluarga kita belum ada yang bisa berhasil mendekati keluarga Wang. Dan kau berhasil mendapat investasi dari bisnis mereka, itu adalah sebuah pencapaian yang sangat besar.” Nenek Darwati begitu memuji putra bungsunya itu.
Memang, bagi keluarga Satya Wijaya, mendapatkan kerja sama dari lima keluarga yang menjadi keluarga terkaya di Indonesia adalah cita-cita dan merupakan sebuah kehormatan. Keluarga Wang adalah keluarga yang berada di peringkat lima terkaya di Indonesia, maka itu merupakan sebuah pencapaian besar jika ada salah satu anggota keluarga Satya Wijaya bisa menjalin kerja sama bisnis dengan keluarga ini.
“Baiklah, itu artinya … keluarga dari anak keempat memiliki jumlah harta kekayaan sebesar empat ratus milyar rupiah. Aku menjadi tidak sabar, berapa milik keluarga paman Satya yang menjadi anak tertua, dan katanya memiliki jumlah yang paling besar itu. Apakah akan melebihi dari jumlah kekayaan orangtuaku?” Cherika mulai ingin memanasi suasana.
“Kemarin saja, untuk bayar klinik ke dokter kandungan mereka berhutang lima belas juta pada kami.” Luki menimpali istrinya. Mereka berdua adalah suami istri yang selalu kompak untuk hal saling sindir menyindir.
“Apa? Mereka berhutang pada kalian? Lima belas juta?” timpal keluarga yang lain dengan terkejut.
Semuanya memandang rendah pada keluarga Satya, terutama pada Meisya dan Rudi.
Meisya menatap pada ayahnya. “Cherika memfitnah kami, aku dibodohi.” Meisya berbisik pada ayahnya.
Satya hanya bisa mengusap punggung anaknya. Sementara itu, Kinanti, ibu dari Meisya, sejak tadi ia menatap sinis pada menantunya dan menjaga jarak. Bagi Kinanti, sumber rasa malu yang mereka dapatkan itu berasal dari menantunya semata.
“Aku tidak pernah berhutang pada mereka. Meisya saat itu hanya terbawa suasana dan mau membayar pada kalian. Tapi di hari ini, aku akan membuat kalian membayar semua uang yang telah Meisya bayarkan pada kalian.”
Cherika mencibir, ia benar-benar merasa tak habis pikir pada Rudi yang benar-benar tebal muka. “Kau ini … masih menyangkal, padahal istrimu ini sudah susah payah menutupi hutangmu.”
“AKU TIDAK PERNAH BERHUTANG!” Rudi benar-benar membentak Cherika.
Semua yang ada di sana menjadi hening. Luki membawa Cherika ke belakangnya. “Atas dasar apa kau berani membentak istriku?”
“Dia itu ibl1s! Dia sudah memfitnahku, dan dia tidak ada bedanya denganmu!”
“Oh, ya! Dasar tukang hutang tidak tahu diri! Makhluk rendahan yang sombong! Cuih!” Luki bahkan berani meludah pada Rudi di depan semua keluarga.
“Luki! Kau sudah keterlaluan!” Nenek Darwati merasa jijik dengan perilaku cucu menantunya itu.
“Aku berani bertaruh, di antara keluarga Meisya dan keluarga istrimu, siapa yang memiliki jumlah harta lebih besar maka dia yang menang. Lalu yang kalah, harus mengakui kebenarannya. Jika keluarga Meisya yang kalah aku bersedia berlutut dan mengaku jika aku pernah berhutang pada kalian. Tapi jika keluarga kalian kalah, maka kalian harus berlutut dan mengaku jika kalian telah berbohong dan memfitnah kami. Selain itu, siapapun yang kalah, harus memberikan setengah dari jumlah keseluruhan hartanya pada yang menang, bagaimana?” tantang Rudi yang membuat Satya melotot karena keluarga mereka yang akan menjadi taruhannya.
“Rud! Kau gila?” ujar Satya.
“Kau sengaja mau membuat keluarga kami malu dan bangkrut, hah?” Kinanti sudah kehabisan kesabaran.
Plak
Ia menampar menantunya tersebut.
Semua keluarga tercengang, bahkan Meisya pun terkejut bukan main.
“Kau benar-benar membuat keluarga kami menanggung malu! Bahkan kau juga berani-beraninya menggunakan keluarga kami sebagai taruhan! Di mana otak kamu, hah?” bentak Kinanti habis-habisan.
Rudi terdiam menunduk, ia tak bisa menjelaskan. Ia hanya menatap Meisya, berharap Meisya dapat menenangkan kedua orangtuanya. Karena di rumah, Rudi sudah benar-benar meminta Meisya untuk tetap tenang dan percaya padanya apapun yang terjadi. Asalkan semua rencana Rudi berjalan dengan lancar, maka ia akan berhasil mendapatkan uangnya kembali. Namun masalahnya, Meisya sendiri tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh Rudi?
“Ibu …. Ke mari lah!” pinta Meisya.
“Sudah … sudah …! Kinanti, kau ini sebagai ibu mertua benar-benar tak tau tata krama dan tidak berkelas sama sekali. Pantas saja kau gagal mendidik anakmu hingga ia hamil di luar nikah dan menikahi pria sembarangan yang juga tak tau diri,” ejek nenek Darwati.
Air mata Kinanti semakin luruh dan ia pun menangis dalam pelukan putrinya. Sudah ia merasa malu karena tingkah menantunya, ditambah ibu mertuanya sendiri malah menjelek-jelekkan dirinya. Inilah yang membuat Kinanti sering enggan bila diajak berkumpul pada perkumpulan keluarga suaminya.
“Daripada tersu berdebat, lanjutkan saja acaranya. Ayo Santoso, kau yang selanjutnya!” ucap Nenek Darwati. Santoso adalah nama dari anak ketiganya.
Seperti yang dilakukan oleh Surya tadi, Santoso juga menunjukkan jumlah kekayaannya yang berjumlah, seratu delapan pulun milyar rupiah. Nenek Darwati cukup senang, walau tak sebanyak anak pertama, tapi setidaknya jumlahnya berada di atas seratus milyar.
Kemudian sama halnya dengan anak yang kedua, Subroto. Anak yang kedua memiliki jumlah kekayaan tiga ratus dua puluh milyar, jumlah yang hampir mendekati milik keluarga Satya.
Cherika semakin percaya diri, jika keluarganya yang akan memenangkan hal ini. Karena kepemilikan harta dari keluarganya pasti yang paling tinggi dari yang lainnya.
“Baiklah, aku sudah tidak sabar lagi. Silakan untuk keluarga Subroto duduk kembali, dan kita sambut keluarga yang ‘katanya’ paling kaya di keluarga kita ini, Keluarga Om Satya.” Cherika sengaja menggunakan kalimat yang provokatif untuk memanasi suasana dan menjatuhkan Rudi dan juga Meisya.
Satya benar-benar gugup, bagaimana mungkin, jumlah kekayaan keluarganya hanya delapan belas milyar saja. Ini semua gara-gara mulut besar Rudi, begitu dalam hati kedua orangtuan Meisya mengumpati menantunya.
“Emmm …. Ini jumlah harta kekayaan milik kami.” Om Satya menunjukkan pada layar laptop yang ia hubungkan pada proyektor. Melalui white screen, semua dapat melihat jika harta milik keluarga Meisya hanya delapan belas milyar.
“A … apa ini? Ini … uang sewa kontrakan?” ledek Surya pada kakaknya sendiri.
“Hanya segini yang kami punya.” Satya benar-benar tak sanggup menahan malu.
“Hei, Rudi! Mana yang katanya keluarga Meisya adalah keluarga terkaya di antara kami? Hah? Kau hanya besar mulut saja, kan, pastinya?” ledek Luki.
“Sudah! Sudah!” Nenek Darwati tampak ketus pada anak pertamanya. “Memang benar-benar tidak bisa dibanggakan. Kau ini anak pertama tapi tidak bisa memiliki apa-apa. Kau hanya memiliki menantu besar mulut yang tak berguna seperti dia.” Nenek Darwati benar-benar membuang muka dan merasa tak sudi menatap pada Rudi.
“Kenapa kalian tidak pergi saja sudah! Aku muak melihat wajah kalian semua!” usir sang nenek pada keluarga Satya.
Kinanti benar-benar menangis dan sangat membenci keluarga suaminya, namun di sisi lain ia juga membenci terhadap menantunya. Karena menantunya itulah, keluarganya menjadi menanggung malu berkali-kali lipat.
“Tunggu!” Rudi menahan langkah kaki Meisya dan kedua orangtuanya yang hendak pergi meninggalkan ruangan ini.
Cherika memutar bola matanya. “Ada apa lagi, Rud? Apa kau ingin kami menagih hasil taruhan pada om kami? Aku merasa kasihan pada Om Satya, jadi aku tidak akan menagih setengah hartanya. Sekarang aku hanya ingin menuntut dirimu agar menunaikan janjimu. Berlututlah dan mengaku jika kamu berhutang pada kami!”
“Meisya, bukankah kau belum menunjukkan jumlah tabunganmu?” tukas Rudi mengabaikan ucapan Cherika.
Meisya terkesiap. Mana mungkin ia berani menunjukkan jumlah tabungannya, yang bahkan tak mencapai satu milyar.
“Emmm …. Rud …. Kenapa harus tabunganku?” tanya Meisya ragu.
“Bukannya, yang tadi ditunjukkan itu hanyalah jumlah harta milik ayah dan ibumu, mereka belum melihat simpananmu.”
Meisya pun deg-degan. Tapi Rudi menganggukkan kepalanya sebagai isyarat agar istrinya itu percaya padanya.
Tring
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Meisya.
M-Banking
[Saldo masuk sejumlah Rp. 1.000.000.000.000,00
Pada Tanggal XX Oktober 20XX Pukul 10:35]
“I … ini …?”