Seseorang harus dipaksa terlebih dahulu agar bisa, lalu terbiasa
••••
Aku menutup mataku rapat - rapat. Hari ini adalah hari di mana pengumuman penerimaan masuk perguruan tinggi Islam se Indonesia diumumkan. Semua pasti sama deg - degannya sepertiku. Terutama ketika nanti melihat hasilnya.
Buffering masih tertera di layar laptopku, dan seiring tanda itu berputar, semakin kencang pula degupan jantungku. Ini kesempatan terakhirku. Jika aku tidak diterima di perguruan tinggi ini, aku tidak tahu lagi harus mendaftar kemana. Semua jalur penerimaan masuk sudah kuikuti, dan hasilnya semua sama. Aku gagal. Padahal dari 4 perguruan tinggi negeri yang kudaftar, ada salah satu universitas yang sangat kuinginkan untuk masuk kesana.
Maka dari itu, kali ini aku harus lolos, meskipun aku tidak tau bagaimana tata cara pembelajaran di perguruan tinggi Islam itu. Yeah, aku tidak pernah membayangkan untuk memasukinya.
Ini semua karena rekomendasi dari teman Papaku, yang ajaibnya aku hanya menurut saat Papa mendaftarkanku lewat jalur masuk terakhir. Daripada nggak kuliah, malu sama teman - teman yang sudah diterima, begitu kiranya kata Papa ketika aku menolak. Dan berakhirlah aku di sini, di depan layar laptopku, menunggu tanda buffering itu selesai. Tapi tanpa sadar, aku terus berdoa agar diterima.
Mataku mengintip sedikit, dan buffering sudah selesai berputar.
"Bismillah."
Pelan-pelan aku membuka mata.
"ALHAMDULILLAH!"
Dan tidak kusangka, aku diterima. Mama dan Papa serta kakakku bergegas merangsek kamarku. Mereka memasang wajah sumringah sembari menatap layar monitorku yang tertera namaku disana dengan embel-embel selamat.
"Aaaaaaaa anak mama... Selamat, Sayang."
Mama histeris di tempatnya sambil berangsur memelukku.
"Pinter sayang." Kali ini giliran Papa yang memelukku.
Sedangkan reaksi kakakku hanya.. "Akhirnya lolos juga." begitu. Dan ia keluar kamar dengan entengnya.
Aku mendengus. Cih, dasar kakak durhaka.
"Akhirnya kamu diterima di universitas itu, Sayang." Mama menatapku tanpa menghilangkan senyumnya.
"Iya Ma. Tapi perguruan tinggi Islam.. " kataku.
"Ya enggak apa-apa, Sayang. Malah bagus, kamu bisa mengembangkan ilmu agamamu disana."
Iya, harusnya aku bahagia kan? Apalagi perjuangan tesnya yang begitu susah. Ada beberapa mata pelajaran keagamaan yang tidak kumengerti sama sekali, dan terpaksa harus kukerjakan. Saat itu aku hanya bisa pasrah, dan berdoa.
"Kapan registrasinya?" Tiba-tiba mama bertanya.
Aku buru-buru kembali mengecek layar laptop. "Seminggu lagi."
"Oke. Semangat, Sayang." Mama memelukku lagi.
Tanpa kuduga, kakakku masuk ke kamar sambil memelototi ponselnya.
"Dek.. dek... dek.. "
"Apa?" aku bertanya enggan.
"Kamu udah tau belom kalau sekarang semua perguruan tinggi Islam menerapkan sistem mondok di pesantren untuk mahasiswa baru?" seru kakakku mengagetkan seluruh penghuni yang ada di kamarku.
Iya, termasuk aku.
"Apa?!"
~ ~ ~
Biar kuceritakan sedikit kisahku. Aku lahir dalam keluarga sederhana yang kelebihan kasih sayang. Sejak kecil aku sudah biasa dimanja. Mungkin karena aku bungsu dari dua bersaudara. Atau karena sifat orangtuaku yang begitu baik, mereka begitu memanjakanku.
Aku bersekolah di sekolah umum Negeri sejak TK hingga SMA. Dengan basic ilmu yang kupunya, tentu saja aku tidak pernah berkenalan dengan ilmu di sekolah berbasic agama seperti Fiqih, Akidah akhlak, maupun bahasa Arab.
Bahkan saat mengerjakan soal ujian masuknya kemarin, aku hampir menangis membaca soal bercetak tulisan Arab, dengan jawaban Arab pula. Dan dengan pasrah aku hanya menghitung kancing baju sebagai jawabannya.
Lihat bukan bagaimana aku yang sangat minim dengan pelajaran agama. Lalu sekarang, bagaimana caranya aku beradaptasi di pondok pesantren?
"Aku enggak mau mondok!"
Kedua orangtuaku bersitatap setelah mendengar seruanku. Ini sudah kalimat sama ke-5 yang kulontarkan. Mereka terus keukeuh menginginkanku untuk mondok.
"Sayang, kalau kamu enggak mau mondok, berarti kamu enggak kuliah dong? Mau kamu jadi lulusan SMA doang?" Mama menimpali.
"Iya, Sayang. Kehidupan di pesantren memang awalnya enggak enak kok, tapi lama kelamaan kamu pasti terbiasa." Papa ikut berbicara.
Aku mencebikkan bibirku mendengar perkataan mereka.
"Seseorang harus dipaksa terlebih dahulu agar bisa, lalu terbiasa."
"Ma, Pa.. aku enggak mau mondok." Mataku berkaca-kaca menggumamkan kalimat itu. Sungguh tidak pernah terbayang di pikiran akan kehidupanku di pesantren. Pasti disana banyak sekali larangannya, pasti disana tidak bisa bebas berkeliaran, pasti akan banyak hafalan, banyak kekangan. Dan aku benci itu.
"Pokoknya kamu harus mondok. Titik."
Begitu keukeuh mereka.
Tapi, mereka kalau sifat keras kepala mereka menurun padaku.
~ ~ ~
Sehari sebelum registrasi masuk, aku melakukan aksi penolakan. Aku mogok makan. Semua hidangan yang tersaji di pagi itu sama sekali tidak membuatku goyah. Kalau mereka saja tetap keukeuh dengan keputusannya untuk membuatku mondok, maka aku juga sama dengan keputusanku.
"Abel, kamu yakin enggak mau makan?"
Itu sudah pertanyaan ke sekian kalinya dari bibir Mamaku yang cantik itu. Mama membujukku yang kini tengah melakukan aksi penolakanku di kamar. Seharian aku tidak keluar kamar. Sebenarnya aku bingung apa yang harus kulakukan untuk membuat keputusan mereka berubah, jadi kupikir ini cara terakhir agar aku bisa menang.
"Aku enggak mau makan kalau kalian tetap menyuruhku mondok!" Aku berseru dari balik pintu.
Kupeluk guling kesayanganku sambil berbaring membelakangi pintu.
Kudengar Mama masih berusaha mengetuk pintu kamarku. Ia pun tetap keukeuh pada pendiriannya.
"Kita diskusikan baik-baik, ya, Sayang."
Aku menggeleng berulang kali, meski sadar Mama tidak melihat gelenganku. "ENGGAK! POKOKNYA ENGGAK!" teriakku. Membayangkan harus menetap di pesantren selama empat tahun sampai lulus kuliah sangat menyiksaku. Mataku memerah, seperti dicolok. Sudut mataku mengeluarkan setetes cairan di sana.
"Kenapa sih Mama tega sama Abel?" tanyaku. Airmata di sudut mataku kini merembes memenuhi semua kelopak mata. Aku menangis sesenggukan.
"Aduh, gimana ini, Pa?"
Mama sepertinya sedang bertanya pada Papaku. Setelah itu, aku tidak mendengar kalimat apapun. Senyap. Sepertinya mereka sudah lelah membujukku.
Aku masih tersendat-sendat meraup napas. Tangisanku justru makin kencang. Aku memang cengeng sejak kecil, dan harusnya mereka tahu itu. Entah mengapa rasanya kedua orangtua dan kakakku sedang berkonspirasi menyusun rencana untuk mengirimku ke pesantren. Aku kesal dibuatnya.
Klik
Aku tersentak mendengar pintu kamarku terbuka. Mereka pasti menggunakan kunci cadangan untuk membukanya. Aku masih membelakangi pintu ketika kudengar derap langkah kaki memasuki kamar. Setelah itu harum bunga mawar dari parfum kesukaan Mama tercium. Aku semakin menenggelamkan kepalaku pada bantal.
"Aku enggak .... mau ... mondok.." kataku tersendat-sendat.
"Sayang, hei, lihat Mama sini."
Mama duduk di kasurku. Ia mengusap rambutku pelan. Dan seiring usapannya, airmataku semakin deras.
Tapi aku bukanlah anak yang pembangkang sejak dulu. Sejak kecil aku selalu menuruti perkataan Mama, dan tumbuh menjadi gadis penurut. Kurasa ini pertama kalinya aku membangkang.
Aku membalik badanku dan langsung menelusupkan kepalaku ke perut Mama. Masih menangis, aku berkata, "Mama, Abel enggak mau mondok! Kita batalin aja registrasinya."
"Kamu enggak mau kuliah di situ?" tanya Mama. Reflek aku mengangguk.
Mama mengangkat kepalaku untuk menatapnya, kemudian dengan lembut mengusap airmata dan keringatku. "Kamu enggak usah berangkat kalau kamu memang enggak mau."
Mendengar hal itu, aku sontak bangkit. "Yang benar, Ma?"
Mama mengangguk. "Iya, kalau kamu mau diledek sama teman-teman kamu karena kamu sendiri yang enggak kuliah."
Senyumku seketika hilang.
"Aku enggak masalah dengan perguruan tinggi Islam itu, Ma. Tapi yang jadi masalah adalah di sana diterapkan sistem mondok."
Papa dan Kakakku yang sejak tadi di ambang pintu ikut memperhatikan kami.
"Mama senang loh ketika dengar kamu diterima di perguruan tinggi itu. Di sana bagus. Simbah kamu juga lulusan situ." Mama rupanya masih membujukku.
"Dek, ayolah. Biar Mama dan Papa senang. Kita hanya ingin yang terbaik untuk kamu." Kakak di sana ikut menyahut.
Aku menunduk.
"Sayang, kalau ilmu agama kamu semakin bertambah, bukannya bagus?" tanya Mama masih mengelus kepalaku. "Kamu juga bisa memantapkan diri dengan jilbab kamu. Toh kamu sudah berhijab. Sayangnya kamu masih suka mengumbar aurat meskipun sudah berhijab, dan Mama enggak suka."
Benar kata Mama. Selama ini aku memang sudah berhijab. Aku memakai jilbab dari SMP sampai sekarang. Sayangnya terkadang aku masih melepasnya, jika kbm renang. Atau ketika beli kecap ke warung depan komplek. Aku masih belum teguh pada jilbabku.
Mataku beralih pada Papaku. Wajahnya yang sama tampannya dengan Kakakku itu dipenuhi senyuman. Ia mengangguk.
Mungkin memang benar jika keputusanku untuk mondok. Tapi .... mengapa masih ada yang mengganjal?
"Nanti Mama bantu carikan pesantren terbaik!" Mama tersenyum lebar.
"Apalagi Mama dengar, kalau kamu enggak di pesantren, kamu enggak bisa lulus Tes BTA PPI," sambungnya.
Aku mengernyit. "Tes apa?"
Kakakku yang sejak tadi di ambang pintu, kini melangkah menyusul Mama untuk duduk di sampingku. "Tes khusus yang menguji kemampuan baca tulis Al Qur'an dan praktek pengalaman ibadahnya sehari-hari. Kakak dengar, dari 100 orang, yang lulus cuma 5 orang!" jelasnya. Ia berujar dengan antusias membuatku tersenyum kecil.
"Kalau kamu enggak mondok di pesantren, gimana mau lulus? Kamu harus berada di pesantren untuk belajar semua itu, Sayang," kata Mama. Kali ini Mama mengelus bahuku.
"Bagaimana?" tanyanya sambil menaik turunkan alis.
Setelah itu, aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan semuanya. Aku bingung dengan hatiku sendiri. Di satu sisi, benar dengan ucapan Mama untuk menambah ilmu agama. Namun di sisi lain, sepertinya aku tidak akan betah di sana, apalagi kalau harus berpisah dengan Oppa-Oppa kesayanganku yang tertempel di dinding kamarku. Aku dilema.
~~~~
"Baju, cek. Sepatu, cek. Seragam, cek. Buku, cek."
Aku mendengar Mama mengabsen satu persatu bawaanku yang akan dibawa ke pondok pesantren. Mama sangat antusias untuk mengantarku ke pesantren.
Aku menghela napas. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri dilema panjang semalam. Keputusan untuk melanjutkan registrasi yang akhirnya kupilih. Sekali lagi dengan konsekuensi mondok di pesantren.
Kutatap sekeliling kamarku. Pasti aku akan sangat merindukan kamar ini. Tatapanku jatuh pada poster BTS yang tertempel di dinding. Aku merabanya. Di pesantren pasti tidak boleh untuk fangirling lagi. Lalu bagaimana nasibku dan Oppa-oppaku ini?
Aku menghela napas sekali lagi. Oh iya, pasti nanti aku juga tidak diijinkan untuk menonton drama Korea lagi. Hah, membayangkan tidak menonton drama itu membuatku semakin kehilangan semangat.
"Ma... Aku masih mau nonton Oppa-oppa." Aku memandang Mama yang masih ribet. "Aku juga masih pengen streaming live BTS. Aku masih pengen dengerin lagu Korea," lanjutku.
Mama menoleh.
Aku mengerucutkan bibirku. Tapi sepertinya Mama tetap pada pendiriannya. Ia menggeleng.
Yah, aku gagal merayu Mama untuk terakhir kalinya.
"Hati-hati di jalan ya, Sayang. Nurut sama Ustaz dan Ustazah di sana, nurut sama Pak Kyai sama Bu Nyai. Jangan mikirin Oppa-oppa terus." Papa terkekeh. Ia memelukku erat.
Aku mengangguk di pelukannya.
Begitu pelukan dilepas, kini gantian kakakku yang ngaku-ngaku mirip Song Jong Ki itu memelukku.
"Benar kamu mondok di pesantren, dek. Biar enggak kebanyakan mikirin Oppa-oppa koreyah mulu." Ia tertawa di akhir kalimat. Aku memukul punggungnya.
"Udah, udah. Buruan, nanti ketinggalan kereta." Mama memperingatkan kami.
Mau tak mau kulepaskan pelukan kakakku.
Aku melambai sekali lagi sebelum mobil taksi online membawa kami meninggalkan kampung halaman.
Perjalanan yang akan ditempuh dengan kereta itu memakan waktu 2 jam lamanya. Di Purwokerto. Iya, di sanalah aku akan menghabiskan 4 tahun lamanya menuntut ilmu.
Perlahan aku memejamkan mata menenangkan pikiranku sejenak. Berharap akan ada kejadian baik di pesantren nanti. Yah, semoga.
~ ~ ~
Mendekati adzan ashar, Mama membangunkanku. Aku membenarkan jilbabku sebelum turun dari kereta. Begitu di stasiun, teman Mamaku menjemput kami dengan mobil dan langsung mengantar kami ke pondok pesantren.
"Pondok pesantren modern An-Najjah," ejaku membaca plang besar yang tertampang nyata di depan kami begitu kami masuk area pesantren.
Mataku mengedar. Santri-santri berseliweran melewati kami. Mereka rupanya habis solat ashar di masjid. Santri-santri itu mengenakan pakaian yang sederhana, tanpa motif, yang menurutku agak kuno. Aku memandang miris diriku yang memakai tunik kekinian dan pashmina instan yang akhirnya akan berakhir seperti mereka.
"Ayo, Sayang." Mama merangkulku membawaku menuju ruang administrasi.
Ah, belum ada sehari saja aku udah nggak betah. Apalagi 4 tahun?
"Ma.. Aku pulang aja ah..." Aku meremas lengan Mama yang menggandengku.
"Kamu jangan malu-maluin Mama, deh. Jelas-jelas kamu udah setuju kemarin."
Kami berada di depan ruang bertuliskan Nyai Minah. Aku menggeleng. Nyaris menjatuhkan airmata saat dipelototi Mama.
Iya, aku memang cengeng.
"Udah, ayo masuk."
Aku menggeleng kuat-kuat. Kini aku sudah seperti anak SD yang ketakutan ditinggal Mamanya.
Aku masih menolak dengan kuat, saat pintu di depan kami dibuka. Dua orang lelaki keluar dari ruang itu. Kutebak mereka adalah Ustaz disini dari penampilan mereka.
Tapi yang membuatku tercengang yaitu saat lelaki yang berjalan paling belakang, melewati kami. Aku menganga.
Sial. Lelaki itu mirip Jungkook BTS!
"Ma! Aku mau mondok disini!"
~ ~ ~