Welcome to the real life!
…
Kejadian memalukan seperti sandal tertukar atau pembalut ketinggalan kuharap nggak akan terjadi lagi.
Satu hal yang paling membuatku kesal yaitu, kenapa setiap aku bertemu Ustaz Sam pasti ada saja hal memalukan dariku?
Aku mengencangkan pengikat kepalaku. Malam ini aku akan menyusun daftar kegiatanku selagi di pesantren. Aku menuliskan semua yang sekiranya bisa kulakukan.
Dari bangun tidur, aku harus solat subuh berjamaah di masjid. Lalu dilanjut murojaah sampai jam setengah 7 pagi. Selanjutnya dibebaskan, apakah ada jadwal ke kampus atau tidak. Lalu sarapan. Selepas dari kampus aku harus kembali ke pondok dan mengaji. Lalu jamaah maghrib, mengaji lagi, sampai isya. Setelah isya diberi waktu untuk makan malam. Lalu mengaji lagi sampai jam 10 malam .
Dari jam 10 malam, terserah, apakah waktu itu digunakan untuk belajar atau tidur.
Aku menghela napas kasar. Huft.. Kehidupan di pesantren memang seperti ini kan? Melelahkan. Aku nggak suka!
"Mamaaaa... Abel pengen pulang aja....."
Aku mengangkat kertas bertuliskan jadwal itu. Kalau begini terus, aku nggak ada waktu untuk nonton drama Korea kesukaanku dong? Hueee!! Aku nggak sanggup!
"Abel lagi apa?"
Tiba-tiba Adinda, teman sekamarku yang baru kemarin sampai disini, menanyaiku. Ia mengintip kertas di genggamanku yang langsung kusembunyikan.
"Enggak kok, hehe. ." sangkalku.
Ia mengedikkan bahu dan berlalu.
Aku mengabaikannya dan memandang kertas itu lagi.
"Eh, jadwal piket udah keluar!"
Melongokkan kepala di pintu, Anisa berseru dengan kerasnya. Mendengar hal itu, aku kembali menghela napas panjang. Kemudian menenggelamkan kepala ke atas meja kecil yang sengaja disediakan untuk santri belajar.
"Ada piket yaahhh... " keluhku.
"Abel, sini!"
Anisa kembali melongokkan kepala. Ia melambai-lambaikan tangannya. Gadis itu antusias sekali.
Dengan enggan aku berjalan keluar kamar. Kami berjejeran menatap jadwal piket yang tertera di pintu kamar. Aku memerosotkan bahu begitu melihat namaku tertera di paling atas.
Derita absen abjad awalan. Senin. Aku mendapat jatah piket hari Senin.
"Hah? Senen?! Ah, sireo!"
Aku menggeleng dramatis.
"Kamu sama aku Bel!" Anisa merangkul pundakku.
Aku menatapnya prihatin.
"Keterangannya, sapu, pel, sapu halaman,buang sampah." Dina berkata dengan cepat. Gadis itu berbalik dan menampakkan raut yang sama seperti kami.
Huft....
Kini aku perlu menambah tulisan Piket hari Senin di Daftar kegiatanku sehari-hari.
Welcome to the real life, Arabela!
~ ~
"Arabela!"
Aku tersentak kaget. Baru juga lima menit aku memejamkan mataku. Kini aku menjadi tersangka, dan semua santriwati di pondok putri menatapku.
Padahal aku sudah duduk di barisan belakang dan dirasa cukup aman untuk tidur tanpa ketauan. Namun tetap saja, Nyai Minah yang tengah berada di depan mengisi materi, memergokiku.
Di sini sekarang aku kebingungan, menatap materi di papan tulis yang berisi huruf Arab.
"Coba apa kamu jelas dengan apa saja barang bawaan untuk MOSBA?"
Skakmat!
Semua barang bawaan itu ditulis dengan tulisan Arab. Dan aku nggak mengerti. Tulisan Arab gundul semua!
Dina berbisik di sebelahku. "Kardus segiempat, buku tulis, minuman orange."
Duh, aku beruntung memiliki teman sekamar yang agak jenius sepertinya. Hehehe..
"Kardus segiempat, buku tulis, minuman orange." Aku berkata dengan lantang.
Sebagian santriwati ada yang menatapku kasihan, ada yang masa bodoh.
Nyai Minah menyipitkan matanya sebentar, kemudian melanjutkan bicaranya. "Awas kalau saya lihat kamu tidur lagi."
Aku menghembuskan napas lega. Lalu berterima kasih lewat kedipan pada Dina. Ia mengacungkan jempol.
"Selain ada OSPEK kampus, kalian para santri baru juga harus mengikuti Masa Orientasi Santri Baru atau yang disingkat MOSBA ini. Fahimtum?"
Semua serempak menjawab. "Fahimna!"
"Jadi tidak boleh ada yang menyepelekan. Oke?"
"Oke!"
"Baik, sekian. Bu Lurah, pimpin doa!"
Nyai Minah bersiap meninggalkan tempat mengaji dan begitu juga dengan kami.
Lurah yang dimaksud oleh Nyai Minah itu adalah Ketua Santriwati disini. Istilah gampangnya, jika di sekolah ada Ketua OSIS, disini ada Lurah.
Dan mbak-mbak yang menjadi Lurah kami itu mukanya sangar. Serem.
Begitu sih kata Dina.
"Eh, besok udah MOSBA aja, cepet banget deh." Anisa menggandeng lenganku.
Aku mengangguk kecil. "Aku nggak ada kardus, gimana dong?"
"Mia juga nggak punya.." Mia menanggapi.
Aku mencebikkan bibir.
"Kita cari aja di koperasi barangkali ada," usul Dina.
Di antara kami kurasa Dina yang paling mengerti banyak hal tentang pesantren. Oh iya, aku baru ingat kalau dia sudah pernah mondok saat SMP dulu.
Kami berempat berjalan beriringan menuju koperasi. Saat perjalanan, mereka banyak berbicara banyak hal, sedangkan hanya aku yang diam dan sesekali menanggapi.
Obrolan mereka seputar Dina yang mondok di SMP, Kakak Dina yang mondok disini dan tengah menggarap skripsi , Anisa yang ternyata berhenti sekolah dulu selama setahun, dan terakhir giliran aku yang ditanyai.
"Kok Nyai Minah kenal kamu ya, Bel?"
Aku melengos. "Nggak tau."
Aku juga mengingat-ingat mengapa Nyai Minah mengetahui namaku. Oh iya, kemungkinan saat aku dan Mama di ruangnya.
Iya, dia memanggil namaku waktu itu.
Namun perjalanan kami harus terhenti di tengah jalan saat seorang santri menghentikan kami dengan mengarahkan tangannya padaku.
"Kamu yang namanya Arabela?"
Aku menatap santri itu sangsi. Siapa sih?
Ketiga temanku mencolek pundak dan lenganku, dan berisyarat dengan gerak mata. "Siapa?" Mereka seperti mengirimkan kata itu.
Aku mengedikkan bahu. "Maaf, Siapa ya Mas?"
Pemuda itu tersenyum kecil. Lalu berjalan meninggalkan kami begitu saja. Kami bersitatap.
"Aneh. "
Anisa mengisyaratkan dengan gerakan tangannya. "Edan kayaknya.. "
Kami tertawa. Dan melanjutkan perjalanan.
Koperasi sudah di depan mata. Namun ada satu yang membuatku harus memelankan langkah.
Ustaz Sam dan Ustadzah Kurnia tengah berbincang dengan penjaga koperasi itu. Dan Ustaz Sam tertawa keras sekali. Di sana Ustazah Kurnia memasang raut yang sama.
Kok sakit ya?
~