Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.
Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.
Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.
Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.
Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipakai menghubungi sahabat-sahabat Aini.
Semua jawabnya sama, tak menemukan Aini.
Apa aku harus mencari ke rumah sakit atau kantor polisi terdekat? Tidak, meski ingin tapi Afwan sekuat tenaga menggeleng.
Dia tidak siap dengan fakta yang menyakitkan megenai Aini. Afwan takut, terjadi sesuatu pada perempuan terindah yang pernah ada dalam hidupnya.
Kalau sampai ada apa-apa dengan Aini, seumur hidup Afwan tidak akan pernah memaafkan dirinya.
Afwan kembali menyeka sudut matanya. Ada yang hancur lebur di sudut -sudut jiwanya.
Angin malam Dan bau tanah menampar wajahnya. Sesekali Afwan mengedarkan pandang ke jalanan yang mulai sepi, sesekali dia juga menelepon ponsel Aini yang dipegang Fadhil. Jawabannya sama. Aini belum kembali.
Terdengar nada cemas di sebrang sana, apa mungkin Fadhil juga cemas seperti dirinya? Afwan menghela napas, membuang pikiran yang bukan-bukan dan juga...rasa cemburu.
Afwan menghembuskan nafas dengan kasar dan menghirupnya dalam berharap aliran oksigen bisa membantunya membuang perasaan tak nyaman tentang sosok Fadhil. Ini bukan saat yang tepat untuk berprasangka, keselamatan Aini nomor satu, karena logikanya jika tidak terjadi apa-apa Aini tidak akan tega pergi keluyuran begitu saja dan meninggalkan Papanya yang tengah sakit keras.
Ya Rabby, temukan Ainiku. Selamatkan dia. Rintih Afwan putus asa,langkahnya gontai memasuki mobilnya kembali.
Hari menjelang pukul dua malam. Udara dingin menusuk tulang Afwan yang hanya memakai kemeja kantor dan celana bahan. Grrr, gemerutuk gigi Afwan terlihat samar...Afwan merapatkan tangannya di d**a mengusir dingin.
Drrt.
Tiba-tiba,sebuah pesan masuk di ponselnya dari nomor tak dikenal, sepertinya membuat nafas Afwan seketika terhenti.
[ Anda suami Bu Aini? Tolong dia ada di klinik bersamaku.Tadi saya menemukannya pingsan dan baru siuman.]
Mata Afwan terbelalak. Sebuah alamat tertera di pesan berikutnya.
Afwan terbelalak. Rasanya ribuan air galon yang sejuk mengaliri sekujur tubuhnya.
Aini, tunggu. Mas akan menemuimu. d**a Afwan serasa pecah, kelegaan dan cemas bercampur menjadi satu.
❤️❤️❤️
Wajah Aini pucat. Dia sudah bisa duduk, dan bisa diajak bercakap-cakap saat Afwan dengan d**a seakan meledak karena bahagia menemuinya.
Aini pingsan di depan halte Bus saat keluar sebentar dari mobil untuk membeli minum. Beruntung seseorang menemukannya dan membawa ke klinik terdekat.
Sepasang suami istri setengah baya yang kebetulan melintas dengan baik hati membawa Aini ke poliklinik terdekat untuk memberi perawatan.
Entah berapa kali Afwan mengucapkan terimakasih. Saat dia mau mengganti biaya administrasi, sepasang suami istri baik hati itu menolaknya.
"Anda suaminya?"
"Iya,Pak. Terimakasih anda sudah menyelamatkan istri saya." Mata Afwan berkaca-kaca.
Bapak dan Ibu penolong yang diketahui bernama Bu Ratna dan Pak Azam hanya tersenyum tulus.
"Sama- sama Mas. Oh ya, mobil Mbaknya saya parkir di halaman klinik ini di sebelah timur. Kalau misal Mas nya belum bisa bawa sekarang, besok pagi bisa." Pak Azam menerangkan Ramah sekali.
"Mas, Mbaknya di jaga ya. Kata dokter yang tadi periksa,Mbaknya kecapean dan stres."
"Oh,iya Pak.Terimakasih." Afwan sekali lagi tersenyum.
"Mas, karena anda sudah datang. izinkan kami pamit."
Bu Ratna dan Pak Azam pamit.
"Masyaa Allah, terimakasih ya Pak, Bu sudah menolong istri saya. Semoga amal baik bapak dan Ibu dibalas sama Allah yang Maha Kuasa."
"Amiin."
Bu Ratna bangkit memeluk Aini.
"Makasih ya Bu.Sudah menolong saya." Aini tersenyum penuh rasa terimakasih.
"Mbak Aini, Ibu tinggal. Sudah ada Masnya. Kata perawat, malam ini juga bisa pulang kok."
Aini mengangguk. Membalas pelukan Bu Ratna.
Bu Ratna dan Pak Azam berpamitan diantar Afwan sampai di lobi. Setelah Bu Ratna dan Pak Azam pergi, gegas Afwan kembali ke dalam kamar perawatan.
Perlahan meraih kursi dan duduk di dekat ranjang Aini. Wajah cemasnya berganti dengan raut lega mesti terlihat lelah. Aini diam memilin tangannya.
"Aini, maafin Mas. Lagi-lagi Mas telah melukai hatimu." Suara Afwan lirih. Aini hanya tersenyum.
"Aini..."
Aini hanya melirik wajah Afwan.
" Kita pulang malam ini juga. Mas akan mengantarmu."
"Tidak usah,Mas."
Aini menggeleng, membuat Afwan menautkan alis.
"Kamu sudah bisa bawa mobil sendiri?"
"Dokter Fadhil dan Bi Darsih akan menjemputku. Tadi selain menghubungimu, Bu Ratna juga menghubungi nomorku yang dipegang dokter Fadhil."
Afwan sedetik membeku.
"Kenapa harus Fadhil, Aini. Bukankah ada aku suamimu?"
Aini tersenyum pahit.
"Pulanglah, mas. Sepertinya Mirna menunggumu."
"Aini?"
Afwan menggeleng.
"Mas, Mirna sedang hamil besar, tak baik membuatnya menunggumu dalam cemas.Pergilah, aku baik-baik saja."
Ya Allah, Aini...begini caramu menyakitiku? Bahkan di saat hatimu hancur dan terluka justru tak juga melunturkan ahlakmu yang mulia.
Afwan hanya mampu mengangguk pelan. Dia tak berdaya menghalangi Aini pergi saat setengah jam kemudian Bi Darsih diantar dokter Fadhil menjemput Aini.
"Mas, aku pulang. Cepatlah kembali, mungkin Mirna tengah menangis mencemaskan mu." Kalimat Aini kembali sukses membuat Afwan membeku. Apalagi bayangan kukuh Dokter Fadhil membuat dadanya diamuk rasa cemburu.
Aini tersenyum ke arah Afwan. Langkah kakinya mengikuti Bi Darsih dan Dokter Fadhil yang menyapa Afwan dengan ramah menuju mobil di halaman rumah sakit.
Afwan mematung di halaman klinik yang mulai sepi. Hanya mampu menatap Aini yang memasuki mobil dokter Fadhil dengan perasaan...entah.
Aini sekilas melirik Afwan dan tersenyum samar.
Cinta juga butuh istirahat. Aku lelah dengan cintamu, Mas. Aku ingin pergi, desis Aini terluka.