Sepi

910 Kata
Seandainya cinta hanya sebatas kecantikan dan keelokan lahiriyah semata, semestinya Afwan adalah laki-laki yang pantas bahagia. Mirna cantik dan sempurna, tapi apa artinya cinta jika tak ada ketulusan dan rasa saling percaya? Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya. "Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya." "Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana. "Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas." Afwan hanya menghela napas. "Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan ingin segera mengakhiri percakapan ini. Berbohong, di ruangan ini tak ada klien. Afwan malah sedang duduk sendiri dan sedikit santai setelah membaca laporan masuk dari Andi tangan kanannya. Tapi rentetan pesan dan panggilan masuk dari Mirna sepertinya membuat kepalanya pusing. Terdengar Mirna menghela napas di ujung sana. Afwan yakin pasti ekspresi wajahnya marah dan merenggut. Selalu begitu, tiap keinginannya tak terpenuhi. Sepertinya Mirna semakin posesif seminggu ini. Apalagi sejak tahu, Afwan belum juga mentalak Aini. "Awas, ya Mas harus pulang cepat. Aku tidak mau Mas pulang telat," jawab Mirna mengakhiri kalimatnya. Tanpa basa-basi, persis seorang majikan yang tengah menginstruksikan bawahannya untuk masuk kerja tepat waktu. Kalau tidak, akan dipecat atau dipotong gaji. Dulu, Afwan merasa suka dengan nada perintah dan tegas Mirna, dan bersiap memenuhi dan mengabulkan apa titahnya, tapi entah mengapa semakin hari nada suara itu makin terdengar menyebalkan. Afwan bahkan rindu nada bicara Aini yang lembut, memohon dan malu-malu. Aku rindu kalimat Aini yang manis dan memuja, aku rindu ....gelendot manjanya saat memohon cinta dariku. Aku rindu segala apapun tentangnya kini. Afwan menghapus kasar wajahnya. Masih pantaskah aku rindu pada segala kemanisan cinta dan hati Aini? setelah apa yang aku katakan dihadapan Mama tentang rasaku pada perempuan itu? Desah Afwan kembali. Bahkan, senyum Aini benar-benar telah lenyap saat Afwan meminta izin untuk pulang kemarin, saat dia menyusul Aini di rumah Papanya di Lembang, Bandung Barat. "Tak harus minta izin untuk pergi dalam hidupku. Aku telah membebaskan mu untuk pergi dalam hidupku sesuka yang kau mau. Satu-satunya yang kuminta darimu, izinkan aku menyelesaikan sandiwara cinta kita dihadapan Papa sampai dia sembuh dan kuat menerima kenyataan, kalau putrinya sudah saatnya ditendang dan dibuang." Deg. Afwan merasa kalimat Aini menamparnya. Ada dingin yang perlahan menyelimuti hatinya. Afwan termangu, sampai tak menyadari kalau Mirna sudah mengakhiri panggilannya dengan sedikit kesal. Tut. Gawai sunyi. Mirna telah menutup panggilannya menyisakan kelegaan dan perasaan bebas. *** Afwan melangkah memasuki ruangan yang terasa begitu hampa. Setelah sekian lama Afwan berangkat dan pergi dari rumah Mirna, rasanya Afwan rindu untuk pulang ke rumahnya.Tiga Minggu sudah Aini tak kembali ke rumah ini. Rumah yang selama bertahun menjadi tempatnya merajut harapan dan cinta, pada sosok seorang Afwan. Rumah yang setiap sudutnya melukiskan betapa dalam cinta dan luas ketulusan yang perempuan itu persembahkan untuk dirinya. Duh. Afwan menghembuskan napasnya perlahan, saat merasakan setiap pojoknya terasa sunyi dan sepi. Tak ada debu di rumah ini, karena asisten rumah tangga, meski datang paruh waktu tetap menjaga dan merawatnya dengan baik. Mata Afwan lepas menatap ke luar, menembus tirai tipis yang menyelimuti jendela kaca. Dibawah lampu penerang rumahnya, tampak samar aneka bunga kesukaan Aini masih bermekaran di teras rumah. Tak ada yang berubah dengan mereka, yang berubah adalah hati pemiliknya yang tak lagi seindah bunga di taman rumahnya. Afwan kembali menatap gawai yang tergeletakkan di meja kamarnya. Sederet panggilan Mirna merajai layar ponselnya. [Mas, kok gak pulang?] [Mas, beliin buah dan kue di toko langganan ku.] [Mas, kok aku pipis melulu. Pulang cepat ya, Mas. Aku takut ke WC sendiri.] Afwan hanya membaca chat Mirna sekilas. Tak sedikitpun tangannya tergerak untuk membalas istri manjanya. [ Mas.] [ Mas...Maaaaaas.] Pesan kembali masuk. Menjengkelkan. [ Mas, aku muntah lagi. Pokoknya pulang cepat, urutiiiin. Emot menangis.] Afwan menghela napas menatap deretan pesan Mirna. Ada perasaan kesal yang tiba-tiba menjalari hatinya. Drrrrrt. Pesan tak kunjung dibalas akhirnya Mirna memutuskan untuk menghubunginya via video call. Afwan melengos, membiarkan dering telepon Mirna memenuhi sepinya kamar. Afwan tidak tertarik mengangkatnya. Entah mengapa rasa pada perempuan cantik dan manja, yang selama ini menghipnotis jiwanya, perlahan memudar seiring kerinduannya pada sosok lembut Aini yang terus mengetuk kesendiriannya. Langit hitam menjelaga di luar sana. Bulan sabit tampak enggan mengintip dibalik awan. Malam ini tak banyak bintang, mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Deru angin terdengar sengau menyelinap lubang angin di kamar Arfan. Suaranya lirih seperti kidung sepi di hati Afwan. Perlahan Afwan merebahkan tubuh di kasur yang terasa dingin. Ada perasaan sunyi luar biasa saat menyentuh bidang kosong di sisinya. Tiga Minggu yang lalu, dia masih mendapati tubuh hangat Aini yang berbaring dengan mata yang tampak sembab. Afwan mendengus halus, hatinya betul-betul berdenyut saat tak sengaja tangannya menyentuh lingerie yang dibeli Aini tiga Minggu yang lalu. Lingerie itu masih teronggok di sudut kasur, sepertinya Aini lupa memasukannya ke lemari. Afwan meraihnya. Perlahan memeluk dan menciumnya. Gemetar tangannya meraih gawai dan mengetik sesuatu. [Aini, pulanglah.] Terkirim, sepi. Tak ada notifikasi balasan. [Aini, jawablah. Aku rindu...] Send jangan? Send. Jangan. Gemetar Afwan menghapus kembali pesannya. Kehadiran Mirna dan buah cinta mereka, seakan menjadi dinding yang menjulang begitu tinggi antara dirinya dan Aini. Sialnya, dia merasa tersiksa. Detak jam terasa nyaring, lagi-lagi Afwan menghembuskan napas sedihnya. Hatinya sepi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN