"Aini, tunggu." Suara Afwan tercekat di kerongkongan, bergegas hendak menyusul tubuh perempuan yang tengah berjalan menjauh dengan pandangan penuh luka.
"Biarkan dia pergi." Langkah Afwan terhenti, tangan putih berkuku merah mencekal lengannya. seraut wajah Mirna tampak tidak suka.
"Dia istriku, Mirna. Aku takut terjadi apa-apa."
Mirna tersenyum sinis.
"Biarkan perempuan itu berlalu dari hidupmu. Tersenyumlah, karena kamu tak harus lagi berpura-pura mencintainya."
"Tapi," jawab
"Cukup Mas, dia tak pantas untukmu. Hanya aku yang layak ada dihatimu." Mirna tersenyum penuh kemenangan. Membuat Afwan hanya bisa membisu. Matanya lekat menatap tempat hilangnya bayangan mobil yang membawa Aini pergi.
***
Aini belum pernah merasa begitu hancur. Aini juga belum pernah merasakan hatinya begitu terluka dan kecewa. Pandangannya kabur saat dia setengah berlari memasuki mobil, lelehan air mata yang membasahi pipinya ibarat lebatnya hujan di musim penghujan. Deras tak tertahankan.
Tangan Aini gemetar saat membuka pintu mobil, suara panggilan Afwan yang memanggilnya di luar tak dihiraukan. Suara laki-laki itu seperti tertelan oleh gemuruh sakit yang memenuhi dadanya.
Selamat tinggal, Mas. Seperti juga diriku yang hanya buih di matamu, akupun akan menghapus apapun tentangmu dalam hidupku. Selamat tinggal cinta, selamat tinggal....
Dalam pandangan yang mengabur, Aini melajukan mobilnya dengan kencang. Hari belum begitu siang, jalanan masih ramai dan belum sepenuhnya sepi. Apalagi jalan Setiabudi termasuk jalan padat di kota Bandung-Jawa Barat. Rindang pohon peneduh jalan yang menyambut Aini di sepanjang jalan tak membuat Aini merasa sejuk.
Sesekali Aini menahan isaknya, membuat tangannya harus mencengkram kuat kemudi mobil karena jalanan mulai berbelok. Selepas melintasi kampus Universitas Pendidikan Indonesia, jalanan mulai sedikit sempit dan menanjak. Kepala Aini berat, dadanya terasa penuh dengan kesedihan.
Sehina itukah aku di hadapanmu, Mas? bibir Aini bergetar mengingat kalimat Afwan di hadapan Ibu mertua yang ingin segera menceraikannya. Teringat juga perempuan hamil dalam pelukan suaminya, di saat dia lelah memeluk malam dalam sunyi, diam-diam Afwan memadu cinta dengan perempuan lain. Sakit.
Aini menggigit bibir saat mobil melintasi wahana bermain anak yang hadir di sekitar wilayah yang dilaluinya. Tak terasa Aini telah memasuki daerah Lembang, daerah yang terkenal dengan panorama alam dan daerah wisatanya yang eksotis. Angin terasa dingin dan Sepoi. Mata Aini makin mengabur, saat diliriknya plang beberapa tempat wisata edukasi untuk anak, hatinya meringis.
Dulu dia selalu bermimpi membawa anaknya kemari bersama Afwan, laki-laki paling manis dan romantis dalam hidupnya. Mengajak mereka berenang, memberi makan kelinci, menangkap bebek atau cuma memetik tomat di kebun yang disediakan pengelola. Dulu Aini berpikir hal itu mungkin dan yakin terjadi.
Aini yakin, di rahimnya akan hadir benih dari seorang Afwan. Dengan tulus dan telaten dia menunggu laki-laki yang dicintainya melewati serangkaian proses yang menurut dirinya terapi atau pengobatan.
Sialnya, Aini begitu yakin, sehingga saat mendapati laki-laki itu telah menanam benih di rahim perempuan lain, Aini hancur. Aini terluka.
Dulu setiap Afwan memeluk dan menciumnya, tanpa lebih dari semua itu, Aini masih menganggap hal manis dan romantis. Bagi Aini, Afwan adalah laki-laki sempurna, semua chat dan panggilan sayangnya adalah hal yg paling indah dalam hidupnya.
Aini menggigit bibir. Ternyata semua itu palsu. Senyum pria itu penuh dusta. Dia hanya menunggu waktu untuk membuangnya. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencampakkannya. Aini mulai terisak.
Bagaimana mungkin aku melabuhkan hati pada seseorang yang cintanya tak pernah ada? Bagaimana mungkin aku rindu pada laki-laki yang bahkan sekian lama membohongiku hanya karena dia enggan menyentuhku? Sakit. Lebih sakit dari pada Aini tahu kalau ia dikhianati atau bahkan di duakan cinta.
Mobil mulai berbelok ke jalan yang lebih kecil. Dibawah rindang pohon dan sejuknya angin pegunungan, mobil Aini melaju dengan kencang. Selang beberapa menit Aini sudah sampai di tempat yang tujunya, menghentikan dan memasukan mobilnya di halaman sebuah rumah yang cukup luas dan asri.
Seorang laki-laki tua memakai caping menyambutnya. Tak lama keluar juga perempuan setengah baya menggandengnya.
"Neng, kok gak bilang-bilang mau berkunjung teh? Bibi jadi belum nyiapin apa-apa buat menyambut Eneng." BI Darsih dan Mang Engkus menyambutnya di halaman. Dua pembantu setia yang menemani Papa di rumah besar ini. Sejak Mama meninggal beberapa tahun lalu, sepasang suami istri inilah yang setia menemani Papa di hari tuanya.
"Gak usah disiapin apa-apa Bi." Aini menjawab pelan. Suasana hatinya sedang kacau.
"Nanti Bibi bikin sambil terasi kesukaan Neng Aini." Bi Darsih menjawab dengan semangat yang dibalas Aini hanya dengan senyuman. Jiwanya masih mengawang pada sosok Afwan. Aini menghembuskan napas pelan. Mengusir gumpalan Mega yang memenuhi relung hatinya.
"Bi, Papa bagaimana?" tanya Aini pelan, sesaat kakinya menjejakkan di teras.
"Papa, Belum stabil Neng. Masih belum kuat ke luar kamar,tapi bibi yakin kedatangan Neng Aini yang tidak di duga akan membuat Pa Surya menjadi lebih baik," jawab Bi Darsih mengantar Aini sampai di pintu kamar Papanya.
Aini termenung sejenak. Ada goresan ragu saat tangannya terulur membuka pintu. Selama ini Afwan selalu menemaninya tiap menjenguk Papa. Laki-laki itu akan dengan setia menemani Aini dan menjelma jadi menantu yang sangat manis. Merawat Papa mertua, menjadi teman ngobrol yang baik, memberikan bahu dan dadanya buat Aini berlabuh.
Bahkan aku tidak tahu kalau semua itu palsu. Pun, juga tak menyadari kalau cinta laki-laki itu akhirnya hanya akan menjadi racun dalam hidupku. Kuatkan hatiku Ya Allah. Aini kembali merintih saat langkah kakinya kian mendekat ke arah Papa.
Mata Aini terpaku, saat mendapati wajah tirus dan lelah Papanya yang tengah tertidur lelap. Dia mengulurkan tangan dan bersimpuh di sisi pembaringan. Sekuat tenaga menahan isaknya agar tidak pecah.
Aini tidak menduga kalau datang menemui Papanya sebagai seorang pecundang.
"Papa, maafkan aku. Menantu kebanggaan mu itu ternyata tak lebih dari seorang penipu." Aini berbisik lirih, membelai pipi keriput Sang Papa.
"Aku pulang, Papa. Anakmu kembali."
Aini tersedu.
***
Semalaman Aini menemani Papa. Aini pun tidur di kamar Papa, beralaskan kasur lipat yang sengaja di gelarnya di bawah tempat tidur Papa.
Entah mengapa Aini merasa lebih damai. Meringkuk di bawah kaki laki-laki tua dan ringkih, rasanya lebih menyenangkan dari pada harus tidur di pelukan d**a bidang Afwan. Laki-laki tua dengan komplikasi beberapa penyakit itu tak pernah mendustainya. Cintanya tulus, manis dan indah. Tutur katanya sebening embun. Sejati dan tanpa dusta.
Aini mengulurkan tangan, meraih tangan Papa yang memberi isyarat mendekat. Pagi tadi, Aini memberinya sarapan bubur dan obat. Aini juga tidak lupa menyeponnya dan mengganti pakaian Papa dengan pakaian yang bersih dan hangat. Membereskan setiap sudut kamar laki-laki yang sangat dikasihinya dengan teliti.
Wajah Papa tampak berbinar bahagia. Dia masih sangat lemah tapi kehadiran Aini membuat mata tua itu berbinar cerah.
"Aini," panggil Papa pelan.
Aini mengangguk, dengan cepat mendekat.
"Mana Afwan? Kenapa kamu menginap di tempat Papa tanpa ditemani suamimu?"
Deg.
Aini sejenak menelan ludah.
"Papa sudah merasa baikan. Fadhil rutin menemui dan mengontrol kesehatan Papa." Papa melanjutkan kalimatnya. Dia menyebut nama dokter pribadi yang selama ini setia merawatnya.
"Pulanglah, jangan cemaskan Papa. Tempatmu bukan di sini," kata Papa lirih.
"Papa, Aini ingin di sini. Aini ingin bersamamu..."
Tuhan, kuatkan hatiku. sekuat tenaga Aini menahan buliran Air mata yang seperti berdesakan ingin melompat dari kelopak matanya.
Betapa inginnya Aini mengadu dan tersedu, menceritakan segala lara dan derita rumah tangganya. Tapi mungkinkah? Bahkan Aini melihat tatapan Papa begitu layu.
"Tidak, Aini. Suamimu lebih berhak atas dirimu. Setelah ijab kabul atas namamu, maka manusia yang paling berhak atasmu adalah dia."
Aini tersedu. Antara ingin berteriak dan kenyataan bahwa Papanya sakit keras.
"Aini ingin bersamamu, Papa. Afwan sudah mengizinkan." Aini berbohong.
"Afwan? laki-laki itu selalu yang terbaik dalam hidupmu, Aini. Di sisa hidupku, Papa bahagia kau berada dalam lindungannya. Papa bahagia...." Suara Papa lirih, sebait harapan dan senyum menghias wajah tuanya.
Ya Allah, bagaimana aku harus menjelaskan pada Papaku, kalau aku hancur?
"Nak, terimakasih kau sudah menjadi anak yang berbakti. Papa bahagia, Papa mohon sempurnakan kebahagian Papamu dengan menjadi istri yang Soleh."
Deg. Serrr.
Istri yang Soleh? Bahkan aku sudah menghapus nama itu dalam hidupku. Desah Aini sendu.
"Nak, pulanglah. Surgamu bukan di sini, tapi ada pada seorang Afwan, suamimu."
Aini makin tersedu. Buliran air mata tak terbendung di ujung jari keriput Papa.
"Pulanglah, Nak." Papa terus meminta.
Aini menggeleng lebih keras. Tangisnya makin sesenggukan menyayat hati. d**a Aini dipenuhi debur kesedihan dan rasa bingung. Entah berapa lama Aini tersedu, saat matanya tiba-tiba menangkap sosok kukuh yang sangat di kenalnya di depan pintu kamar Papa.
"Mas Afwan?" Wajah Aini mendadak beku.
"Afwan? Afwan suamimu Aini? Masuklah." Papa tampak sumringah. Aini gelagagapan.
"Sebentar, Papa."
Aini segera bangkit, perlahan menarik tangan Afwan menjauh dari kamar Papa. Tatapan Aini tajam dan dingin bak bongkahan es.
"Untuk apa kemari, Mas? Pergilah, Jangan hadir kembali dalam hidupku."
"Aini, kita masih suami istri. Kita masih terikat ikatan yang Syah." Suara Afwan terbata.
"Ikatan katamu, Mas? ikatan yang kau bangun atas dusta dan kepura-puraan. Dengar, Mas jika menikahi ku hanya karena alasan balas dudi, aku mewakili Papaku, aku bebaskan kau dari hutang budi mu. Pergilah, tunggu aku di persidangan."
"A-aini?" Suara Afwan lagi-lagi tercekat. Dadanya berdesir melihat paras dingin Aini. Aini tak pernah marah, Afwan baru menyadari kalau perempuan lembut itu bisa Sekokoh karang. Celakanya, Aini terlihat begitu cantik.
"Aini, Afwan...masuklah." Terdengar suara papa kembali memanggil. Suaranya parau. Aini sejenak terdiam.
"Masuklah, mas. Biar aku menunggu di sini," kata Aini pelan.
"Aini? Ayo masuk bersamaku."
Aini melengos. Menghindari tatapan Afwan ke arah lain. Wajahnya sendu.
"Aku tak pantas untukmu, Mas."
Serrr. Lagi-lagi d**a Afwan berdesir halus.
Ada apa dengan hatiku? Afwan termenung.