Chapter 5

1804 Kata
Nasi goreng untuk Nona Chayra sudah siap. Aku membawanya ke meja makan, bersama dengan itu, Tuan Althaf muncul dan duduk di kursinya. Senyumku tersungging tipis, tetapi dia sama sekali tidak membalas. Tidak ingin mempermasalahkan tersebut, aku memilih masuk ke dapur untuk membantu Mbak Rista menyajikan sarapan. "Udah, nggak papa. Kamu mending urus Nona Chayra, gih." Mbak Rista menolak lagi pertolonganku. Namun, ucapannya benar juga. Aku meninggalkan Nona Chayra yang sedang mandi tadi, seharusnya sekarang dia sudah mengenakan pakaiannya. Benar saja. Saat aku sampai di kamarnya, Nona Chayra sudah meneteng tasnya hendak keluar. Namun, perhatianku tertuju pada tatanan rambutnya. Sedikit berantakan, karena dia sendiri yang mengikatnya. Ditinggal ibu, dia memang menjadi mandiri. "Kemari, Nona Chayra." Aku mengajaknya ke depan meja rias. Setelah Nona Chayra duduk, ikat rambutnya aku lepas. Sisir diraih, merapikan rambutnya. "Mommy, I want like that!" Nona Chayra menuju sebuah boneka barbie miliknya yang rambutnya diikat dua. "Boleh. Tapi, Nona Chayra janji ya, stop panggil 'Mommy' ke Tante Via? Mommy-nya Chayra itu, ini ...." Aku menunjukkan sebuah foto di meja rias. Seorang wanita cantik blasteran Indonesia-Rusia sedang menggendong bayi kecil. "No. I don't like her." Nona Chayra memekik nyaring, tubuhnya menegang beberapa detik, lalu melemas. "She leave me alone." Pun suaranya, ikut melemah. "Okey. Okey." Rambutnya aku usap lembut, lalu dibagi dua bagian untuk diikat. "Tapi, Nona Chayra tau, nggak? Tante itu panggilan Nona Chayra ke orang yang sangat sayang sama Nona Chayra, seperti Tante Via. Nona Chayra nggak perlu panggil Tante Via sebagai Mommy lagi, okey? Nanti Oma marah gimana? Nona Chayra nggak mau Oma marah kan?" Kepala Nona Chayra bergerak naik-turun teratur. Aku mengusap pundak kecilnya, kemudian mensejajarkan wajah kami di cermin. "Nona Chayra tau, nggak? Ciri-ciri Puteri Tidur yang cantik itu bagaimana?" "Ramah. Selalu tersenyum. Baik hati." Dia menjawab malas, mood-nya masih buruk setelah aku membahas ibunya. Ini jelas bukan hal baik, karena selamanya, Nona Chayra mungkin bisa trauma terhadap ibunya sendiri. "Tante Via lihat Puteri Tidur loh." "Mana?" Meski masih dominan malas, tetapi nada bicaranya sedikit meningkat. "Itu." Aku menunjuk ke arah cermin, pada bayangan Nona Chayra. "Tapi Puteri Tidurnya lagi cemberut, jelek. Coba senyum." Bibir tipis Nona Chayra tertarik, membentuk senyuman. "Ih, Puteri Tidur yang ini cantik banget." Tanganku begitu gemas menarik pipinya yang bulat. Nona Chayra terkekeh ringan. Semangatnya sudah kembali. Tas sekolahnya aku yang bawa, sementara Nona Chayra berlari kecil keluar kamar. "DADDY!" Tepat sebelum belokan masuk ruang makan, suara nyaring Nona Chayra terdengar merengek. "Itu pesenannya Chara, Daddy kenapa makan? Ish! Aish! Aish! Keluarin lagi, nggak? Keluarin!" Nona Chayra menarik lengan kemeja Tuan Althaf yang sisa satu sendok lagi menghabiskan nasi goreng buatanku. "Tante, Daddy habisin sarapannya Chayra! Aish!" Merasa usahanya tidak membuahkan hasil, Nona Chayra cemberut lagi, dengan kedua tangannya terlipat di depan d**a. Inisiatif sendiri, aku mengangkat Nona Chayra duduk di samping Tuan Althaf. "Tante buatin sebentar, ya?" ucapku. Saat akan pergi, ekor mataku masih bisa melihat senyum Tuan Althaf sebelum dia menyantap bagian terakhir dari nasi goreng Nona Chayra. Jadi, haruskah aku marah sekarang karena aku sudah susah payah memperbaiki mood Nona Chayra, tetapi ayahnya malah merusaknya lagi? Atau aku harus bahagia karena suamiku menyukai masakan buatanku? Perasaanku campur aduk. Sangat gemas ingin menghukum pria semena-mena itu. *** Tersisa enam piring lagi yang perlu dilap, baru aku boleh istirahat. Tidur kurang lima jam semalam membuat kepalaku mulai pening. "Via?" "Iya, Nyonya?" Aku memutar kepala menghadap Nyonya Erisha yang berdiri di ambang pintu dapur. "Yang lain ke mana?" "Eum ... Mbak Rista sama Mbak Nani keluar beli bahan kue, Nyonya. Mbak Asna di belakang. Mbak Lisya sama Mbak-" "Cukup! Cukup!" Sambil menunjukkan telapak tangannya, Nyonya Erisha memotongku, tampak sedikit kesal. "Kamu bisa buat bubur? Alfan baru keluar dari rumah sakit." "Bisa, Nyonya," jawabku pelan, sejujurnya sedikit takut mengenai perlakuan Tuan Alfan. "Segera ya. Dan juga, setelah makan bubur, pastikan dia minum obatnya. Anak itu sudah besar, tapi kelakuannya masih seperti anak kecil." Nyonya Erisha memijit pelipisnya beberapa kali. Ini ternyata penyebab kekesalannya. "Lebih bagus lagi, kamu jaga dia sampai selesai minum obat." "Baik, Nyonya." "Sekarang!" titahnya tegas. Aku tidak menjawab, memilih menundukkan kepala lebih dalam. Setelah kepergian Nyonya Erisha, memasak bubur lebih didahulukan. Setelah berada di atas kompor, kegiatan melap piring dilanjutkan. Sembari itu, aku berusaha memikirkan bagaimana harus bersikap saat bertemu dengan Tuan Alfan nanti. *** "Permisi, Tuan." Setiap langkahku selalu hati-hati saat masuk ke kamar Tuan Alfan. Tampak, dia berbaring di tempat tidurnya sembari mengecek ponsel. Aku hanya berharap dia terus fokus pada smartphone-nya sambil makan bubur dan minum obat. "Tuan, ini buburnya. Nyonya Erisha bilang, Anda harus memakannya sekarang, setelah itu minum obat," jelasku, pelan. "Bacot! Keluar lo!" Bantal di samping Tuan Alfan dilempar ke arahku. Terlalu tiba-tiba sehingga aku tidak sempat mengelak. Tarik napas, perbanyak sabar. "Saya tidak diizinkan untuk keluar sebelum memastikan Anda minum obat." Tuan Alfan menjauhkan ponselnya, dan fokus padaku yang memilih menunduk untuk menghindarinya. "Bentar. Lo cewek gembel yang ditabrak Papa, kan?" Astaga, ingatannya terlalu tajam untuk pertemuan pertama kami. Tapi meski begitu, seharusnya dia tidak jijik lagi karena penampilan dan wajahku sudah jauh lebih baik. "Lo nggak kirimin gue doa-doa buruk kan? Gara-gala lo pasti, makanya gue kecelakaan dan muka gue hancur! Pasti lo kan penyebabnya?" Nada suaranya meningkat, tak ayal membuatku semakin takut. Sabar, Via. "Tuan." Sedikit keberanian, aku menengadahkan kepala. "Ucapan itu adalah doa. Dan doa yang terlontar kepada orang lain-baik atau buruk-pasti akan kembali pada orang itu sendiri." "Gue nggak butuh ceramah lo!" "Bukan. Saya bukan mau ceramah. Tapi ... Tuan bisa nyalakan senter ponsel Anda?" Alis Tuan Alfan terangkat, menyepelekan. Namun, dia tetap melakukannya. "Saya boleh pinjam sebentar?" Dia melepaskan ponselnya meski terlihat berat. Aku berdiri di hadapan cermin, mengarahkan cahaya senter ke bayanganku sendiri. "Ucapan, atau doa kepada orang lain," aku menunjuk cermin, "itu seperti cahaya ini. Pasti akan memantul, dan kembali pada diri sendiri." "Gue nggak butuh ceramah lo!" "Bukan ceramah, Tuan." Aku tersenyum tipis, kemudian mengarahkan senter ke wajah Tuan Alfan. "Hanya pencerahan." Wajah kesalnya memancing senyumku. Dia meraih smartphone-nya dengan kasar. "Wajah saya sembuh setelah saya rutin berobat, Tuan coba deh buat rutin berobat. Saya yakin, tidak lama lagi, bekas luka di tubuh Anda akan sembuh." Mangkok berisi bubur aku letakkan di hadapannya. "Mulai berobatnya dengan makan bubur dulu." Tidak langsung memakan bubur pemberianku, karena sifat angkuh masih menempel pada dirinya. Namun, Tuan Alfan luluh dan menyendok sedikit demi sedikit sampai tidak tersisa. Aku yakin, dia tidak menyadari bagaimana caranya Tuan Alfan menghabiskan bubur karena dia sibuk memasang wajah gengsi. Padahal aku tahu betul, Tuan Alfan sangat suka buburnya. "Obatnya di mana, Tuan?" tanyaku setelah Tuan Alfan meminum airnya. "Laci." Bungkusan obat aku sodorkan padanya. Tidak peduli jika matanya menyiratkan kekesalan. "Terakhir, Tuan. Anda tinggal minum obatnya, dan saya akan pergi, tidak akan mengganggu Tuan lagi." Dia segera meminum obatnya. "Puas lo? Cepetan keluar! Enek liat muka lo itu!" Seperti kata Nyonya Erisha, Tuan Alfan itu memang sudah besar, tapi kelakuannya bahkan lebih menyebalkan dari Nona Chayra. Tidak masalah. Aku bisa memperlakukannya seperti anak kecil, jika itu bisa meluluhkannya. Bekas makan aku bawa. Di depan lift, berpapasan dengan Selvy. Aku terpukau memandangi penampilannya. Sangat anggun. Jika begini sainganku, bagaimana caranya memenangkan hati Nyonya Erisha? "Aku mau jenguk Alfan," ucapnya sembari tersenyum lembut. Sepertinya, dia tidak seburuk yang aku pikirkan-pelakor. "Silakan, Nona." Aku hendak masuk lift. Sesuatu dipaksa masuk ke dalam genggaman tanganku yang memegang nampan. "Nona?" tanyaku, heran. "Dari Althaf." Pintu lift tertutup, padahal aku ingin bertanya lebih lanjut. Mengecek bungkusan kecil pemberian Nona Selvy, mendapati sepaket pil KB. Mataku melotot, setengah malu, juga takjub. Jadi, Nona Selvy mendukungku bersama Tuan Althaf? *** Kedua kakiku terasa berat diangkat. Pandangan sudah mulai berputar. Aku harus tidur sekarang. Menguap lagi, ah, aku sangat mengantuk. Bahkan, aku nyaris kehilangan kesadaran saat mendongengkan Nona Chayra. Sedikit lagi aku akan berbelok menuju lorong yang terhubung dengan kamar pelayan, tetapi suara nyaring menginterupsi langkahku. "Via." "Iya, Nyonya?" Sepaksa mungkin, aku menampilkan wajah ramah di hadapan Nyonya Erisha. "Saya salut sama cara kamu membujuk Alfan meminum obat, saya sendiri pusing menangani anak itu. Kamu bisa untuk bujuk dia minum obat lagi malam ini?" Ya Allah .... "Bisa, Nyonya." "Ma." Suara Tuan Althaf tiba-tiba muncul. Dia berlari kecil, berdiri di antara aku dan Nyonya Erisha. Wajahnya pun tampak begitu lelah setelah seharian bekerja. "Kenapa?" tanya Nyonya Erisha. "Saya perlu bicara dengan Via, mengenai perkembangan Chayra. Tangan Alfan belum diamputasi kan? Dia masih bisa minum obat sendiri." Nyonya Erisha bungkam. Lalu berbalik begitu saja. "Ayo, Via." Tuan Althaf ... seharusnya dia mengerti bahwa aku sangat menderita sekarang, dan itu disebabkan olehnya. "Tuan, Anda ingin bicara masalah apa? Chayra menurut saya tidak melakukan kesalahan." Di dalam lift, aku merasa sudah separuh tidur, sehingga protesan tersebut terdengar begitu lemah. "Ada." "Saya mengantuk, Tuan." "I know. Ini tidak lama." Pintu lift terbuka. Aku berjalan sempoyongan di belakang punggung Tuan Althaf. Sampai aku di kamar Tuan Althaf, aku langsung saja duduk di kursi meski tidak dipersilakan. Tuan Althaf pun sepertinya tidak masalah, malah tersenyum ringan. "Ini baru jam sembilan, Mama tidak mungkin biarkan kamu istirahat di kamar kamu sekarang," ucapnya. Aku memaksa mataku terbuka lebih lebar. Melihat Tuan Althaf sibuk membuka pakaian kerjanya. Pandanganku sisa 5 Watt saat merasakan bibirku dikecup singkat. "Tidur di ranjang, Little Wife." Tidak menunggu perintah dua kali, aku langsung berjalan ke samping tempat tidur, dan langsung melempar tubuhku begitu saja. Lalu terlelap. *** Aku terbangun, merasakan embusan udara hangat menerpa wajah secara berkala. Mengerjap beberapa kali, lalu menemukan sebuah wajah tenang di hadapanku. Tuan Althaf. Senyumku tidak bisa dicegah, tahu bahwa sekarang tubuhku dikunci oleh lengannya yang kokoh dan kedua kakinya. Pandanganku beredar, lalu terkunci pada jam dinding. 11.34. Aku harus pergi. Hati-hati, aku melepas tangan Tuan Althaf, juga kakinya. Beringsut agar tempat tidur tidak terlalu kentara bergerak. Namun saat hendak turun, tanganku dicekal. "Mau ke mana?" Aku meraih jilbab di atas nakas, dan memakainya. "Ke kamar, Tuan." Dengan matanya yang menyipit, Tuan Althaf mencari jam. "Belum jam 12." Dia ikut bangun. "Masih ada setengah jam lagi." Aku diam. Bahkan saat jilbabku ditarik lepas olehnya, aku belum mengatakan apa-apa. "Selvy sudah kasih pilnya?" Malu, aku mengangguk. "Kamu rutin minumnya ya? Saya tidak suka cabut pas lagi enak-enaknya." Tubuhku bergerak tidak nyaman karena ucapannya. Ingin segera pergi, tapi belum waktunya. Aku harus bagaimana? "Sebentar." Tanpa izin, dia memaksa wajahku menghadap padanya. "Wajah kamu memerah. Kamu malu?" "Apa sih, Tuan!" Aku memukul kedua tangannya di wajahku agar terlepas. Dia terkekeh. Manis. "Kamu tidak perlu panggil saya 'Tuan' kalau hanya ada kita berdua." Kepalaku begitu mudahnya-Tuan-Althaf tarik dalam dekapannya. Untuk sebentar, kami biarkan waktu berjalan dalam keheningan. "Ibadah yuk?" Aku lemot mencerna ajakannya itu. Kalau dalam pernikahan, hubungan suami-istri juga ibadah kan? Apa itu maksudnya? "Tapi, Tuan, saya belum minum pilnya." "Maksud saya, sholat tahajud." Ya Allah ... aku malu. Wajah ini, aku sembunyikan di dadanya. Tawa-Tuan-Althaf terdengar menjengkelkan. Tapi aku suka. Bagaimana? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN